Bagikan:

JAKARTA – Perayaan Idulfitri erat kaitannya dengan momen halalbihalal. Tradisi ini menjadi salah satu alasan seseorang melakukan mudik Lebaran.

Biasanya halalbihalal dilakukan dengan mengunjungi rumah tetangga, saudara, maupun kerabat di momen Lebaran. Pada acara halalbihalal ini, tiap orang saling memaafkan dan bersamal-salaman.

Halalbihalal seakan menjadi tradisi yang terus berkembang, bahkan tidak jarang menjadi ajang “open house” yaitu ketika sebuah rumah mengundang orang untuk bersilaturahmi.

Setelah sempat ditiadakan karena pandemi COVID-19, tradisi halalbihalal kembali meriah setelah kondisi dinyatakan aman terkendali.

Halalbihalal memiliki sejarah panjang di Indonesia. Tradisi ini pun disebut sebagai tradisi asli Indonesia yang tidak bisa ditemukan di negara lainnya di dunia.

Ilustrasi halalbihalal, bersalaman usai momen Lebaran. (Antara/Adeng Bustomi)

Tradisi halalbihalal diyakini sudah ada sejak masa Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah salat Idulfitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana.

Pada pertemuan ini diadakanlah tradisi sungkem atau saling memaafkan. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halalbihalal.

Bukan Bahasa Arab

Kata halalbihalal terdengar seperti berasal dari bahasa Arab. Namun sebenarnya, halalbihalal bukan berasal dari Arab, melainkan tradisi yang dibuat di Indonesia.

Kata halalbihalal bahkan sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI halalbihalal berarti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Selain itu halalbihalal juga dapat diartikan silaturahmi oleh KBBI.

Perlu diketahui bahwa kegiatan halalbihalal tidak ada dalam Al-Quran dan Hadis, namun keduanya menganjurkan kegiatan silaturahmi yang harus dilakukan tanpa melihat perayaan atau momen tertentu. Artinya, Al-Quran mengajarkan bahwa halalbihalal tidak hanya dilakukan saat Lebaran saja. Bisa dibilang halalbihalal adalah tradisi khas masyarakat Indonesia.

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi saat bersalam-salaman dengan para pegawai saat halalbihalal di Balai Kota Surabaya, Rabu (3/5/2023). (Antara/HO-Diskominfo Surabaya)

Seorang ulama terkenal Indonesia, Quraish Shihab, di dalam buku Lentera Hati (1994) menyebut kegiatan halalbihalal bertujuan menciptakan keharmonisan antara sesama, meski kegiatannya menimbulkan tanda tanya dari segi kebenaran dan bahasa.

"Bentuknya memang khas Indonesia, tetapi hakikatnya adalah ajaran Islam," kata Quraish Shihab.

Diperkenalkan Presiden Sukarno 

Tidak diketahui pasti siapa yang menjadi pelopor halalbihalal di Indonesia, karena kegiatan ini diyakini sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun.

Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin dalam buku Menelisik Hakikat Silaturahmi (2022), tradisi ini bermula ketika anak-anak muda masjid Kauman Yogyakarta kebingungan mencari tema untuk mewadahi dua momen istimewa. Dua momen itu adalah perayaan kemerdekaan Republik Indonesia 1945 dan momen hari raya Idulfitri.

“Bagaimana supaya kedua peristiwa ini terangkum menjadi satu, lalu diadakanlah sayembara kecil-kecilan untuk menemukan tema yang akan ditulis di spanduk. Saat itu muncul berbagai kreasi untuk memaknai suasana batin Idulfitri,” kata Nasaruddin Umar.

Halalbihalal dipelopori oleh Presiden Sukarno atas saran Kyai Wahab Chasbullah. (Dok. PDI Perjuangan Jawa Timur)

Lalu muncul gagasan untuk mengusung tema halalbihalal dari salah seorang seniman. Gagasan ini intinya saling memaafkan dan menghalalkan. Melalui momen tersebut, warga yang pernah dikucilkan dan membuat marah karena bekerja sama dengan Belanda diminta untuk dimaafkan.

Tapi pendapat lain disampaikan Sejarawan J.J Rizal dalam artikel di Tempo pada 30 Oktober 2006. Menurut Rizal, halalbihalal dipopulerkan oleh Presiden Sukarno usai mengadakan acara silaturahmi di Istana yang mengundang para tokoh berbeda ideologi di hari Lebaran 1946.

Menurut sejumlah sumber, acara ini diinisiasi oleh Kyai Wahab Chasbullah, salah satu ulama ternama Nahdlatul Ulama (NU). Sang Kyai memperkenalkan istilah halalbihalal kepada Bung Karno sebagai bentuk cara silaturahmi antar pemimpin politik yang saat itu masih berkonflik.

Atas saran KH Wahab, Sukarno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara menghadiri silaturahmi yang diberi jurul halalbihalal. Para tokoh politik duduk satu meja dan mulai menyusun kekuatan serta persatuan bangsa ke depan. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal.

Terlepas dari sejak kapan tradisi ini bergulir dan siapa yang mempopulerkannya, halalbihalal merupakan tradisi baik yang mampu merekatkan hubungan umat Muslim. Setidaknya semangat inilah yang harus terus dipertahankan masyarakat Indonesia supaya tidak terpecah belah.