JAKARTA – Sejumlah tokoh meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar jangan turut campur terlalu jauh mengenai pencalonan presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2024. Bahkan, mantan wakil presiden Jusuf Kalla (JK) menyarankan meniru sikap Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketika masa jabatannya sebagai presiden akan berakhir, menurut JK, baik Megawati maupun SBY tidak mau melibatkan diri terlalu jauh dalam urusan politik.
“Supaya lebih demokratis lah,” kata JK saat bertemu awak media di Jakarta pada 6 Mei lalu.
JK menilai sikap Jokowi yang tidak mengundang Nasdem dalam acara pertemuan para ketua umum partai politik pendukung pemerintah di Istana Negara pada 5 Mei lalu kurang tepat.
“Kalau memang yang dibicarakan urusan pembangunan semestinya Nasdem diundang. Berarti ada pembicaraan politik,” kata JK.
Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pun mengungkapkan hal sama. Surya Paloh, seperti yang disampaikan Ketua DPP Partai Nasdem Sugeng Suparwoto, sudah menitipkan pesan kepada Menko Marves Luhut Binsar Pandjatian agar Presiden tidak menunjukkan sikap meng-endorse figur tertentu sebagai Capres dan Cawapres.
“Kalau kayak begini ada sebuah situasi yang menjadi tidak berimbang, dalam image bahwa seolah-olah misalnya pemerintah atau Presiden yang berpihak pada calon tertentu,” ujar Sugeng di Sekretariat Perubahan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (5/5/2023).
Bagaimanapun, Presiden harus memastikan kontestasi Pemilihan Umum, khususnya Pilpres 2024 bisa berjalan adil dan berimbang.
Komunikolog London School of Public Relation (LSPR) Iwel Sastra menilai Jokowi bisa terlibat politik praktis jelang Pemilu 2024. Namun, momennya bukan saat ini.
“Melainkan nanti kalau para Capres sudah terdaftar di KPU, rakyat bisa memaklumi kalau Presiden petahana ikut kampanye mendukung Capres dari PDIP. Bahkan boleh saja resmi ada namanya di TKN (Tim Kampanye Nasional)," kata Iwel dalam tulisan Effendi Gazali, ‘Komunikolog Indonesia: Presiden Memang Seyogyanya Tetap Guru Bangsa’ yang diterima VOI pada 8 Mei 2023.
Saat ini, tugas Jokowi harus tetap menjadi Presiden bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lanjutkan Tradisi Halalbihalal
Effendi Gazali, pakar komunikasi sekaligus anggota Komunikolog Indonesia pun menyarankan agar Presiden Jokowi menggelar halalbihalal dengan mengundang seluruh ketua umum partai politik tanpa membeda-bedakan partai yang mendukung pemerintah ataupun yang bukan.
Secara tidak langsung, ini menjadi sikap presiden untuk meneruskan tradisi positif yang telah dilakukan oleh Presiden Soekarno.
Melansir nu online, pasca kemerdekaan, tepatnya pada 1948, Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa. Para elite politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara, pemberontakan terjadi di sejumlah tempat, antara lain pemberontakan DI/TII dan PKI di Madiun.
Bung Karno kemudian memanggil KH Abdul Wahab Chasbullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang ketika itu menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Agung merumuskan konsep untuk mempertemukan para elite politik.
Tujuannya hanya mencari wadah untuk berdialog guna menyelesaikan konflik yang terjadi pada elite politik di pemerintahan.
Lalu, Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno menyelenggarakan silaturahim pada momen Hari Raya Idul Fitri. Terlaksana lah acara silaturahim bertajuk halalbihalal. Para elite politik yang tak mau bersatu dikumpulkan dalam suatu meja.
“Para elite politik tidak mau bersatu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal,” jelas Kiai Wahab Chasbullah seperti riwayat yang diceritakan KH Masdar Farid Mas’udi.
Seluruh kegiatan halalbihalal tidak lepas dari watak masyarakat Indonesia yang mengedepankan adat ketimuran seperti ramah, santun, toleran, dan tolong menolong.
Effendi Gazali pun berpendapat, “Saat ini terasa betul kerinduan rakyat Indonesia akan pemimpin-pemimpin yang tetap berperan sebagai bapak bangsa, guru bangsa, menteri bangsa, dan presiden bangsa Indonesia.”
“Pasti sejuk rasanya menyaksikan berita halalbihalal presiden bersama para elite politik jadi breaking news di televisi dan seluruh media lainnya. Sesudah itu, tentu bisa saja presiden melakukan pertemuan hanya dengan koalisinya ke masa mendatang," Effendi menambahkan.
Komunikolog Indonesia menilai Presiden Jokowi adalah salah satu Presiden Indonesia dengan legasi yang sudah terukur. Dihargai dunia karena mampu mengatasi COVID-19 secara meyakinkan, mampu menjadi pemimpin G-20, dan pembangunan infrastruktur terbukti manjur saat mudik Lebaran.
“Tinggal mengobati kerinduan rakyat melihat Bapak Jokowi menegaskan citranya sebagai presiden dan guru bangsa, yang bisa bertemu dengan seluruh ketua umum partai membahas Indonesia ke depan. Halalbihalal kemarin sebetulnya adalah tradisi dan kesempatan terindah," tutur Effendi.
Presiden Jokowi dalam sejumlah kesempatan juga kerap mengingatkan para elite politik untuk menjaga stabilitas politik dan menghindari gesekan jelang Pemilu 2024.
"Jangan sampai ada gesekan di tahun politik. Semuanya harus menjaga stabilitas keamanan. Negara ini harus aman. Setuju? Sehingga pemerintah bisa menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita semuanya," ucapnya saat membuka acara Bahaupm Bide Bahana Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) di Pontianak pada November 2022.
BACA JUGA:
Ketika menghadiri acara Rapat Koordinasi Nasional Partai Bulan Bintang (PBB) pada 11 Januari lalu, Jokowi kembali mengingatkan komitmen persatuan dan kesatuan. Jangan mengorbankan kepentingan bangsa untuk kepentingan pribadi atau golongan.
"Sekali lagi mari kita bersama-sama kalau menang itu menanglah dengan intelek, kalau menang itu menanglah dengan santun, dan kalau kita ingin menang itu menanglah kita dengan cara-cara yang bersahabat," ucapnya.