Soal Perempuan dalam Politik Indonesia Harus Jadi Hal Biasa, Bukan Lagi Isu Sensisitif yang Perlu Dibahas
Lima menteri perempuan Kabinet Kerja menghadiri Puncak Peringatan Hari Ibu 2017, di Raja Ampat, Papua Barat, Jumat (22/12) pagi. (Foto: Setpres)

Bagikan:

JAKARTA - Politik dan perempuan adalah dua hal yang dinilai sulit disatukan, tapi sedang terus diupayakan. Keterlibatan perempuan dalam politik masih dipandang sebelah mata, padahal mereka memiliki peran penting untuk kebijakan jangka panjang.

Perempuan bukanlah aktor yang dominan di ranah politik berbagai negara, termasuk di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode 2019-2024 hanya 120 orang perempuan yang mampu menduduki kursi DPR RI dari total 575 orang. Artinya, jumlah tersebut baru mencapai 20,87 persen dari total anggota DPR RI dari hasil Pemilu Legislatif 2019.

Keterwakilan perempuan dalam perpolitikan di Indonesia. (X/@kpp_pa)

Angka ini memang menunjukkan tren kenaikan baik dalam jumlah maupun persentase dibandingkan pemilu tiga edisi sebelumnya. Tapi meski partisipasi perempuan dalam politik mengalami perkembangan dalam beberapa tahun terakhir, namun keterwakilan perempuan dalam politik masih rendah.

Disebabkan Budaya

Kurangnya representasi perempuan dalam bidang politik antara lain disebabkan oleh kondisi budaya patriarki. Di negara yang menganut nilai patriarki seperti di Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatas karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga.

Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, politikus Partai Gerindra mengatakan pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen. Meski demikian, bukan berarti ini menjadi sebuah kewajiban karena yang terpenting menurutnya adalah sosok yang mampu menjalankan tugas sebagai wakil rakyat.  

“Data di seluruh dunia membuktikan, dengan adanya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan dalam bidang apa pun baik di bisnis maupun pemerintahan, menunjukkan tren yang sangat bagus, positif atau added value-nya terlihat dengan jelas,” ujar wanita yang akrab disapa Sara kepada VOI.

Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, keterwakilan perempuan  dalam politik adalah penting namun tidak wajib. (Dok. VOI)

“Tetapi apakah itu menjadi suatu keharusan? Ini bisa diperdebatkan, karena menurut saya kembali lagi, selama dia (laki-laki atau perempuan) bisa menjalankah tugas itu yang penting,” sambungnya.

“Tapi tentunya akan sangat baik jika kita melihat keterwakilan perempuan di kabinet yang cukup menggambarkan kemampuan perempuan-perempuan Indonesia,” kata Sara lagi.

Melupakan Sejarah

Bicara soal emansipasi perempuan, tak bisa lepas dari sosok pahlawan bangsa RA Kartini. Bisa dikatakan, Kartini-lah yang mengawali perjuangan agar perempuan bisa mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki, salah satunya adalah membuka akses pendidikan. Dengan mendapat kesempatan pendidikan yang sama seperti laki-laki, kaum perempuan diharapkan juga memiliki kesempatan yang sama di bidang lainnya.

Satu abad lebih setelah Kartini mengembuskan nafas terakhirnya pada 13 September 1903, perjuangan untuk mencapai emansipasi perempuan masih terus diupayakan.

Sara menilai pandangan bahwa perempuan tidak berdaya disebabkan karena masyarakat Indonesia yang kerap melupakan sejarah. Padahal RA Kartini hanya satu di antara sekian pahlawan perempuan yang memiliki peran penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pahlawan emansipasi wanita RA Kartini. (Wikimedia Commons)

“Yang sering dilupakan adalah kenapa perempuan berada di titik dianggap tidak berdaya? Karena kita tidak belajar sejarah. Bangsa kita ini literasinya rendah, kalau literasi rendah otomatis tidak baca sejarah. Membaca dan memahami sejarah adalah dua hal berbeda. Kalau kita belajar sejarah, kita akan melihat tokoh perempuan di Indonesia, bagaimana hebatnya mereka,” Sara menjelaskan.

“Jadi bukan karena perempuan tidak punya kemampuan, tidak memiliki kapasitas, bukan karena perempuan tidak mau, tetapi karena bangsa ini secara menyeluruh sudah melupakan sejarahnya,” wanita kelahiran Januari 1986 ini.

Sejak era pascareformasi, kehadiran perempuan di kabinet pemerintahan terus meningkat. Di masa pemerintahan BJ Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarnoputri (2001-2004) masing-masing ada dua orang menteri perempuan. Kemudian di era Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009) terdapat empat orang menteri perempuan dan lima orang di periode berikutnya.

Sementara saat Joko Widodo menjabat pada periode pertama terdapat delapan menteri perempuan, dan di periode 2019-2024 ada lima menteri perempuan, sebelum masuk Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial.

Tapi Sara mengatakan keberadaan perempuan di kabinet atau sebagai pemimpin di bidang lainnya masih dianggap sebagai sesuatu yang ‘wah’ bagi masyarakat. Ia mendambakan saat di mana perempuan menjadi pemimpin, di bidang apa pun, adalah hal lumrah yang tidak perlu dipandang sebagai sesuatu berbeda.

“Bahwa saya masih duduk di sini untuk menjelaskan persoalan perempuan, di sinilah masalahnya,” tegasnya.

“Saya merindukan di mana perempuan sebagai pemimpin adalah hal yang normal. Saat kita tidak membicarakan lagi kepemimpinan perempuan, selesai,” pungkas Sara.