JAKARTA – Kasus terbakarnya Gudang Munisi Daerah (Gudmurah) milik Kodam Jaya di Desa Ciangsana, Kabupaten Bogor masih meninggalkan keprihatinan. Sementara penyebab pastinya masih belum diketahui, publik juga mempertanyakan keberadaan kawasan permukiman yang dinilai tidak aman.
Pada Sabtu (30/3/2024) sekitar pukul 18.00 ketika sebagian besar masyarakat menikmati hidangan berbuka, terdengar suara dentuman. Diawali dentuman-dentuman kecil, tapi kemudian terdengar dentuman lebih besar muncul.
Saat itu, warga yang tinggal di daerah dekat lokasi kejadian mulai merasa panik. Kompleks Kota Wisata termasuk yang merasakan dentuman tersebut.
“Rumah terasa goyang seperti gempa,” kata Rahmad Hidayat, salah seorang warga yang tinggal di Cluster Nashville.
Jarak perumahan Kota Wisata dengan lokasi kejadian hanya sekitar 500 meter. Sejumlah rumah yang terkena dampak mengalami beberapa kerokan, seperti kaca pecah, plafon rusak, dan sebagainya. Beberapa warga bahkan sempat mengungsi ke tempat yang dirasa lebih aman, seperti masjid.
Pihak TNI mengatakan tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut, namun sebanyak 133 keluarga dievakuasi. Namun hingga kini, belum diketahui pasti apa yang memicu ledakan di Gudmurah Kodam Jaya Ciangsana.
Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya) Mayor Jenderal Mohamad Hasan menuturkan, sumber ledakan berasal dari Gudang amunisi nomor enam. Sebagai informasi, terdapat 16 gudang pelusi di kawasan tersebut.
Soal Tata Ruang jadi Masalah
Yang kini menjadi pertanyaan publik adalah, mengapa gudang peluru terletak di dekat permukiman warga?
Soal pemukiman warga yang dinilai berada di daerah berbahaya, bukan hanya kali ini dipertanyakan. Pada Maret 2023, kebakaran melanda Depo Pertamina Plumpang, Jakarta Utara. Sebanyak 33 orang dilaporkan meninggal dan 49 lainnya mengalami luka-luka.
Sementara itu, sebanyak 1.085 warga terdampak juga harus mengungsi yang disebar ke delapan posko pengungsian yang ada di wilayah Jakarta Utara.
Dua kejadian tersebut memiliki kesamaan, yaitu permukiman yang berada di kawasan yang dianggap berbahaya.
Terkait kompleks pergudangan amunisi yang berdiri sejak 1982, jarak dengan permukiman dinilai tak ideal. Awalnya jarak kompleks Gudmurah dengan permukiman warga adalah 5 km, namun kini kurang dari 500 meter.
Persoalan tata ruang belakangan ini memang menjadi persoalan, sebagaimana diterangkan Khairul Fahmi dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS). Ia mengatakan persoalan tata ruang menjai sumber masalah dari ledakan gudmurah di Ciangsana yang berdampak pada warga sekitar.
“Seiring dinamika pertumbuhan penduduk, dinamika ekonomi, pembangunan yang ambisius. Kawasan yang awalnya relatif kosong kemudian jadi semakin padat. Nah, kemudian apakah sebaiknya gudang ini dipindahkan? Saya kira solusi jangka pendek dan termudah, ya, memang dipindahkan. Tapi menurut saya itu bukan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan,” jelas Khairul.
Lain lagi dengan cerita fasilitas Depo Pertamina Plumpang yang terbakar tahun lalu. Antara depo ini dan pemukiman warga hanya dipisah oleh tembok tinggi dan satu ruas jalan dengan panjang sekitar dua meter. Tangki-tangki besar milik Pertamina terlihat jelas dari area pemukiman.
Kondisi yang berdekatan membuat kebakaran dengan cepat merambat dan meluluhlantakkan wilayah pemukiman. Rumah-rumah hancur, sementara sejumlah mobil di wilayah tersebut juga hangus terbakar.
Depo Plumpang sebenarnya sudah dibangun sejak awal 1970-an, saat tidak banyak penduduk yang menghuni di lingkungan tersebut. Tapi seiring berjalannya waktu, lokasi itu justru berubah menjadi padat penduduk.
Padahal Depo Plumpang masuk dalam Objek Vital Nasional (Obvitnas) bidang ESDM, menurut Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM RI Nomor 270 Tahun 2022. Aktivitas di depo ini cukup sibuk, karena menyuplai sekitar 20 persen kebutuhan BBM harian. Thruput BBM depo ini rata-rata sebesar 16.504 kiloliter per hari dengan wilayah distribusi utamanya area Jabodetabek.
Melihat objek vital yang berdampingan dengan rumah warga, pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga berujar, ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah tidak melakukan pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang di sekitar obvitnas.
“Karena pertumbuhan permukiman tidak muncul tiba-tiba dalam waktu singkat, tetapi perlahan dalam waktu tahunan dan sengaja dibiarkan oleh pemerintah daerah. Sedangkan, pengelola obvitnas tidak punya kemampuan untuk mengamankan lahan miliknya maupun upaya penertiban jika terjadi penyerobotan lahan oleh masyarakat,” kata Nirwono.
Butuh Pendampingan Psikososial
Insiden seperti yang terjadi di Gudmurah maupun Depo Plumpang tidak hanya menimbulkan kerugian materi, tapi dari sisi psikologis juga hampir pasti mengalami trauma.
Menurut sejumlah penelitian, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara hilangnya kekayaan pribadi, dukungan sosial, dan kesehatan fisik dengan meningkatnya stres psikologis pascabencana.
Dampak bencana menurut Gregor (2005) sangat terasa pada sebagian orang akibat kehilangan keluarga dan sahabat, kehilangan tempat tinggal, dan harta benda, kehilangan akan makna kehidupan yang dimiliki, perpindahan tempat hidup serta perasaan ketidakpastian karena kehilangan orientasi masa depan, serta keamanan personal.
Baik anak maupun orang dewasa, dampak bencana bisa bervariasi, dari jangka pendek sampai jangka panjang. Dampak emosional jangka pendek yang masih dapat dilihat dengan jelas meliputi rasa takut dan cemas yang akut, rasa sedih dan bersalah yang kronis, serta munculnya perasaan hampa.
BACA JUGA:
Pada tragedi kebakaran Depo Pertamina Plumpang tahun lalu, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP Provinsi DKI Jakarta memberikan Layanan Dukungan Psikososial (LDP) kepada anak-anak pengungsi penyintas kebakaran Depo Pertamina Plumpang di Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) Rasela, Kelurahan Rawa Badak Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara.
“Pendampingan psikososial ini diberikan untuk membantu mengurangi beban emosi korban serta mencegah timbulnya dampak psikologis yang lebih mendalam khususnya pada anak-anak,” kata Kepala Dinas PPAPP Tuty Kusumawati, bersumber dari Antara.