Bagikan:

JAKARTA – Jagad maya tengah dihebohkan oleh kasus penganiayaan yang dilakukan pengasuh anak selebgram asal Malang, Aghnia Punjabi. Nia, begitu sang selebgram disapa, mengunggah foto anaknya yang babak belur setelah dianiaya pengasuh.

Dari foto tersebut terlihat JAP, anak Aghnia yang baru berusia 3 tahun 5 bulan, mengalami memar cukup parah di bagian mata kiri, luka goresan di telinga kanan dan kiri, serta kening.

Awalnya, Si Suster mengaku JAP mengalami cedera akibat jatuh. Namun karena tidak percaya, Aghnia mengecek CCTV di kamar dan terlihat anaknya mengalami kekerasan dengan cara dipukul, dijewer, dicubit, bahkan ditindih.

Aghnia Punjabi, selebgram asal Malang, yang mengetahui anaknya dianiaya suster saat ia berada di Jakarta. (Instagram/@emyaghnia)

Melihat kekejian yang dilakukan susternya, IPS (27), Aghnia lantas melaporkan perbuatan tersebut ke Polresta Malang Kota dan akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

"Untuk tersangka yang sudah diamankan dengan inisial IPS perempuan 27 tahun perkara tindak pidana kekerasan pada anak," kata Budi Hermanto dikutip dari akun @polrestamalangkotaofficial.

Tindak penganiayaan tersebut terjadi pada Kamis, 28 Maret 2024 sekitar pukul 04.18 WIB. Saat itu Aghnia dan suaminya berada di Jakarta selama dua hari karena urusan pekerjaan. Menurut kabar, JAP ditinggal di rumah bersama IPS dan kerabat Aghnia. Saat kejadian, JAP mengunci kamar dari dalam sementara asisten rumah tangga Aghnia yang lain dan saudaranya sedang makan sahur.

Kurang Empati

Foto yang diunggah Aghnia, langsung dibanjiri komentar warganet. Sebagian besar dari mereka memberikan dukungan moril kepada selebgram ini. Tapi di tengah perasaan hancur melihat anaknya disiksa, Aghnia juga harus menerima perlakuan kurang mengenakkan dari warganet.

Tidak sedikit yang menyalahkan Aghnia karena meninggalkan anaknya untuk bekerja. Komentar menghakimi selebgram ini tidak hanya satu atau dua saja ditemui.

“Tetap yang salah ibunya si, lebih berat karier daripada anak,” tulis @nusaimahnadiah di kolom komentar akun Instagram Aghnia Punjabi.

Komentar serupa juga ditemukan di beberapa akun lainnya. Cukup memprihatinkan memang, ketika seorang ibu merasa berduka justru dihakimi atas apa yang dialaminya. Padahal, dukungan sebagai bentuk solidaritas adalah hal yang dibutuhkan Aghnia saat ini.

Hal yang hampir sama juga pernah dialami selebgram Tamara Tyasmara yang kehilangan putra semata wayangnya, Dante, meninggal dunia akibat ditenggelamkan kekasih Tamara di sebuah kolam renang di kawasan Jakarta Utara.

Saat itu, alih-alih berempati, netizen malah menyerang Tamara dan mempertanyakan naluri keibuannya hanya karena dianggap kurang menunjukkan raut wajah sedih seusai ditinggal anaknya.

Aghni dan Tamara hanya secuil dari banyak kasus di mana seorang ibu pasti disalahkan ketika hal yang tidak mengenakkan terjadi pada anaknya. Masyarakat menjadi kurang berempati terhadap kesulitan yang dialami orang lain.

Empati adalah kemampuan untuk memahami perspektif atau pandangan dari orang lain, seolah-olah menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan.

Ilustrasi - Kekerasan terhadap anak. (Antara)

Kemampuan berempati sebenarnya sangat dibutuhkan dalam berhubungan dengan orang lain. Namun, orang dengan gangguan kepribadian narsistik cenderung tidak punya empati terhadap orang lain.

Menurut Psychology Today, pengidap gangguan narsistik enggan menunjukkan rasa empati karena takut hal tersebut dianggap sebagai salah satu kelemahan.

“Jadi sebagai bentuk perlindungan diri, mereka lantas tidak menunjukkan rasa empati,” demikian ulasan Psychology Today.

Mempertanyakan Women Support Women

Di sisi lain apa yang dialami Aghnia, dan mungkin ibu lainnya yang disalahkan atas kejadian yang menimpa anaknya, menyadarkan bahwa slogan women support women hanya mimpi belaka. Menurut pakar, perilaku saling menjatuhkan antar sesama perempuan berakar dari seksisme dan misoganis yang bersarang kuat dalam budaya masyarakat kita.

Hidup di masyarakat patriarkis membuat perempuan sering menjadi target diskriminasi dan kekerasan. Perilaku misoginis dan seksis tak hanya dilakukan oleh laki-laki, karena perempuan juga bisa berperilaku seksis dan mengekspresikan kebencian terhadap sesama perempuan. Sehingga, alih-alih mendukung satu sama lain, perempuan justru bisa mempermalukan, mengecilkan, hingga menjatuhkan sesama.

Nilai-nilai ini telah mengakar dan memengaruhi banyak budaya masyarakat kita. Bahkan dari lingkungan keluarga sehingga hal ini sudah meresap kea lam bawah sadar. Akibatnya, mungkin di antara kita tidak sadar bahwa perilaku sesungguhnya seksis dan misoginis.

Saat ini yang dibutuhkan Aghnia hanya dukungan dari sesama perempuan, ketika ia sendiri juga sedang berupaya menyembuhkan luka batin dan fisik putrinya, bukan malah menghakimi.