TANGERANG - Pemahamaan keagamaan yang ekstrem acap kali jadi masalah. Pemikiran itu dapat muncul di mana saja. Dari ceramah, forum diskusi, hingga meja makan keluarga. Alih-alih merendah, narasi mengkafirkan seseorang jadi sesuatu yang lumrah. Rusaknya persaudaraan adalah buahnya.
Universitas Tangerang Raya (Untara) dan Yayasan Cakra Inti menyadarinya. Mereka melakukan gebrakan. Ajang halalbihalal dipilih mereka sebagai wadah. Sebuah wadah yang mengajarkan makna pluralitas. Moderasi beragama, namanya.
“Halalbihalal ini sebenarnya merupakan salah satu tradisi yang berkembang di Indonesia tak hanya di lingkungan masyarakat, Maaf memaafkan menjadi salah satu tradisi saat Hari Raya Idulfitri atau Lebaran di Tanah Air. Namun, masih ada yang menganggapnya sekadar formalitas. Ada yang memperlihatkan diri seolah sudah saling memaafkan.”
“Namun dalam hati tetap saja masih menyimpan amarah atau hanya mengikuti tradisi Jika tidak bisa dilepaskan, diikhlaskan, rasa itu lambat laun berpengaruh pada keseharian seseorang. Memendam amarah bisa menjadi energi negatif yang bahkan bisa sampai mengganggu kesehatan. Karenanya, pemahaman tentang esensi memaafkan menjadi hal penting,” terang Rektor Untara, M. Mardiyana dalam sambutannya pada acara Halalbihalal secara daring, 14 Mei.
Acara itu bukan acara halalbihalal seperti umumnya. Acaranya tak melulu seputar temu rindu dan saling memaafkan semata. Secara lihai empunya acara mengemas acara halalbihalal dengan pembicara yang andal di bidangnya. Utamanya pembelajaran terkait moderasi beragama.
Pembicara dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, misalnya. Perwakilannya, Suwendi menuturkan belakangan semakin banyak individu maupun kelompok yang melanggengkan pemahaman beragama yang berlebihan. Alias ekstrem.
Padahal keragaman adalah anugerah tuhan. Berbeda boleh saja, tapi jangan sampai menjadikan perbedaan sebagai alasan membenci sesama manusia.
Realita itu membuat moderasi beragama dianggap penting. Moderasi beragama sejatinya diartikan sebagai jalan tengah beragama. Lengkapnya, Suwendi menuturkan jika moderasi beragama adalah jalan supaya seseorang tidak ekstrem dan berlebih-lebihan menjalani ajaran agamanya.
BACA JUGA:
Suwendi menilai pemahaman moderasi beragama itu dinilai sesuai dengan ideologi Pancasila. Khususnya, sila ketiga: persatuan Indonesia.
Moderasi beragama dianggap sebagai perekat kebangsaan yang mampu jadi pelumas pluralitas Keindonesiaan. Antara lain dari aspek agama, suku, rasa, budaya, dan lain sebagainya. Nilai-nilai moderasi beragama itu jadi bekal berharga bagi segenap mahasiswa S1 maupun S2 dari Untara.
“Moderasi Beragama adalah cara pandang kita tentang bagaimana Beragama yang baik sesuai dengan Al-Quran dan Hadis, yang tidak dilakukan dengan sikap yang ekstrim. Moderasi beragama adalah proses pemahaman untuk mengetahui dan bersikap komitmen kebangsaan yang penuh perjuangan dan pengorbanan.”
“Moderasi beragama adalah bagaimana kita bersikap toleran dengan kemajemukan yang ada, tanpa mencampuradukkan Aqidah, berada pada posisi hubungan kemanusiaan, saling menghormati, saling menghargai dan tenggang rasa,” tutup Suwendi.