JAKARTA - Mudik Lebaran sudah menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia. Puluhan ribu bahkan jutaan orang memilih pulang ke kampung halaman untuk merayakan Idulfitri.
Kementerian Perhubungan memprediksi jumlah pemudik pada 2024 mencapai 193,6 juta orang atau setara dengan 71,7 persen dari jumlah penduduk. Jumlah ini meningkat 56 persen dibanding periode mudik lebaran 2023 yang sebanyak 123,8 juta orang pulang ke kampung halaman. Bahkan, nilai transaksi uang pada Idulfitri kali ini diperkirakan lebih dari Rpp157,3 triliun yang berputar di daerah tujuan mudik dan destinasi wisata.
Dalam survei potensi pergerakan masyarakat selama Hari Raya Idulfitri 1445, sebanyak 39,32 juta atau 20,3 persen penduduk berminat untuk mudik menggunakan kereta api, 37,51 juta (19,4 persen) penduduk memilih bus, 35,42 juta (18,3 persen) orang memilih mobil pribadi, dan 31,12 juta (16,07 persen) pemudik memilih sepeda motor.
"Pada 2024, moda darat masih menjadi konsentrasi transportasi mengingat penggunaan mobil pribadi, bus di jalan tol maupun non tol masih dominan," kata Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya.
Guna mengurai kemacetan akibat tingginya angka pemudik, Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas) membuat sejumlah peraturan seperti membelakukan ganjil genap contraflow dan sistem satu arah di Tol Trans Jawa. Selain menghadapi padatnya lalu lintas, para pemudik di berbagai daerah juga dibayangi ancaman banjir dan longsor akibat cuaca ekstrem.
Mudik 'Neraka' di Brexit
Setiap tahun banyak cerita memilukan saat mudik berlangsung, mulai dari kemacetan luar biasa, angka kecelakaan, dan cerita memilukan lainnya. Mudik bisa dibilang sebagai salah satu perjalanan paling melelahkan. Volume kendaraan yang menumpuk di waktu yang hampir bersamaan, membuat kemacetan terjadi di mana-mana.
Masyarakat mungkin masih ingat betul kejadian memilukan di puntu keluar Tol Brebes Timur atau Brebes Exit (Brexit) pada 2016 yang disebut sebagai salah satu momen terburuk saat mudik lebaran.
Sebanyak 17 orang dilaporkan meninggal dunia karena kendaraan mereka terjebat kemacetan selama puluhan jam di Tol Trans Jawa pertama itu.
Insiden ini terjadi beberapa hari sebelum Idulfitri 2016, yang ketika itu jatuh pada Rabu, 6 Juli.
Pemudik sudah mulai berbondong-bondong meninggalkan Jabodetabek sejak 1 Juli 2016 dan dari sinilah peristiwa Brexit terjadi. Mengutip Kompas, Brexit berada di kilometer 57,5 Jalan Tol Pejagan-Pemalang, Jawa Tengah. Tol ini adalah rangkaian tol yang membentang dari daerah Palimanan dan dibangun untuk mengurai kemacetan jalur Pantura. Tapi saat itu tol tersebut baru dibuka setengahnya, yakni Pejagan-Brebes Timur.
Di ujung tol yang belum tersambung hanya ada satu pintu tol, yaitu Brebes Timur. Hal ini membuat kendaraan menumpuk di sana. Kemacetan diperparah karena tak lama setelah pintu tol ada persimpangan yang mempertemukan arus kendaraan yang datang dari arah Cirebon lewat Pantura.
Pertemuan dua arus tersebut menimbulkan kemacetan hebat. Jalan tak bisa menampung volume kendaraan.
Panjang kemaceran di jalur Pantura lebih dari 20 km. sedangkan kemacetan di jalan tol terbentang sepanjang 25 km, yang mengular mulai dari Gerbang Tol Brebes Timur sampai kawasan Kanci, Cirebon.
Faktor lain yang membuat kemacetan parah adalah pihak kepolisian gagal mengantisipasi lonjakan volume kendaraan yang datang secara serentak pada arus mudik 2016.
Sepanjang jalur kemacetan banyak pengendara yang lelah, mobil kehabisan bahan bakar, dan lainnya.
Menurut berbagai sumber, ada 17 orang tewas dalam kemacetan ini dan puluhan lainnya dirawat di rumah sakit. Penyebab korban meninggal dunia bermacam-macam, mulai akibat serangan jantung, keracunan karbon dioksida, hingga kelelahan.
Setelah dua hari dua malam, kemacetan akhirnya terurai juga. Ini usai petugas kepolisian memberlakukan one way di Pantura.
Populer Sejak Orde Baru
Meski mudik selalu dihantui kemacetan, namun fenomena ini tak pernah menghilang di masyarakat Indonesia.
Mudik merupakan istilah umum untuk kegiatan pulang ke kampung halaman atau tanah kelahiran. Pergerakan manusia skala besar dari kota ke kampung halaman biasa terjadi di negara yang penduduknya terpusat di kota-kota besar untuk merantau. Saat ada perayaan keagamaan, maka mereka berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Ini terjadi juga di Cina saat perayaan Imlek.
Mudik berasal dari bahasa Melayu udik yang berarti hulu atau ujung. Dulu, tradisi masyarakat Melayu yang tinggal di daerah hulu sungai sering melakukan perjalanan ke daerah hilir sungai menggunakan perahu atau biduk untuk menemui sanak saudara yang jauh.
“Berasal dari bahasa Melayu, udik. Konteksnya di sini pergi ke muara, lalu pulang kampung. Ketika orang mulai merantau, lantaran ada pertumbuhan di kota, kata mudik mulai dikenal dan dipertahankan sampai sekarang, ketika mereka pulang ke kampungnya,” kata Antropolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Heddy Shri Ahimsa-Putra.
Konon fenomena mudik sudah ada sejak sebelum zaman kerajaan Majapahit dan Mataram Islam. Namun istilah mudik lebaran sendiri baru mulai populer pada 1970-an, susudah masa Orde Baru melaksanakan pembangunan pusat perekonomian di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, yang mengakibatkan penduduk desa berbondong-bondong merantau mencari pekerjaan.
Dituturkan Heddy, mereka yang hidup dan bekerja di kota, lama tidak berjumpa dengan keluarga dan kerabat. Padahal, selama di desa bisa dekat dengan keluarga dan kerabat.
BACA JUGA:
“Pasti kangen, menunggu libur yang lumayan panjang agar bisa kumpul, sangat ditunggu. Karena di Indonesia, masyarakat Muslim yang paling banyak, maka Lebaran Idulfitri jadi pilihan. Berbeda di Eropa dan Amerika, banyak warganya yang pulang kampung saat perayaan thanksgiving atau natal, sedangkan di kita, ya Idulfitri,” ucap Heddy.
Selain ajang melepas rindu terhadap keluarga, mudik juga menurut Heddy menjadi ‘ajang’ pamer atas keberhasilannya di perantauan bagi sebagian orang. “Motivasi lain karena ingin menunjukkan dirinya sudah berhasil secara ekonomi,” ujarnya.