Bagikan:

JAKARTA – Kurang dari setahun lagi masa jabatan Joko Widodo sebagai presiden ketujuh Indonesia berakhir. Namun di ujung masa jabatannya, Jokowi dinilai melukai masyarakat dengan memberikan gelar jenderal kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto.

Rabu (28/2/2024), Jokowi secara resmi menganugerahkan kenaikan pangkat secara istimewa kepada Prabowo menjadi Jenderal TNI Kehormatan Purnawirawan dalam Rapat Pimpinan TNI/Polri di GOR Ahmad Yani, Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.

Prabowo yang semula berpangkat Letnan Jenderal (Purn) atau bintang tiga, kini berpangkat Jenderal (Hor) atau bintang empat.

Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto bersama Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dan Menhan Prabowo Subianto menggunakan mobil mengecek alutsista di Mabes TNI, Jakarta, Rabu (28/2/2024). (Antara/Bayu Pratama S/foc)

Juru bicara Kementerian Pertahanan RI Dahlil Anzar menegaskan, rencana memberikan pangkat jenderal kehormatan justru diusulkan Markas Besar TNI kepada Jokowi atas dasar dedikasi dan kotribusi Prabowo di bidang militer dan pertahanan.

Meski begitu, keputusan ini tetap saja mengundang kontroversi. Alasan pertama, Jokowi dianggap tidak menghormati korban pelanggaran HAM 1998 yang sampai sekarang masih berjuang mencari keadilan. Kedua, dari segi etika, keputusan Jokowi juga dipertanyakan karena masyarakat saat ini tengah menjerit menyusul kelangkaan dan mahalnya harga beras.

Berjasa Bagi Indonesia

Sebelum Prabowo Subianto, sudah ada tujuh purnawirawan TNI AD yang lebih dulu mendapat gelar jenderal kehormatan. Mengutip laman Akademi Militer (Akmil), tujuh penerima pangkat Jenderal TNI adalah Soesilo Soedarman, Susilo Bambang Yudhoyono, Surjadi Soedirja, Agum Gumelar, Luhut B. Pandjaitan, Hari Sabarno, dan Hendro Priyono.

Pemberian gelar jenderal kehormatan yang diberikan Jokowi kepada Prabowo diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009. Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai pemberian pangkat kepada Prabowo sudah sesuai dengan UU tersebut. Fahmi menekankan, dalam UU itu ada istilah pengangkatan atau kenaikan pangkat istimewa, bukan kehormatan seperti yang disebutkan media massa.

"Nah kenaikan pangkat istimewa atau pengangkatan pangkat istimewa itu adalah hak yang menyertai pemberian bintang jasa oleh negara," kata Fahmi, dikutip dari Tempo.

Aturan kenaikan pangkat Prabowo menjadi jenderal kehormatan ini juga dijelaskan TNI Jenderal Agus Subiyanto. Dikatakan Agus, penyematan pangkat kehormatan tersebut karena Prabowo telah menerima gelar kehormatan Bintang Yudha Dharma Utama pada Agustus 2022.

Presiden Joko Widodo menyampaikan pengarahan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/2/2024). (Antara/Sigid Kurniawan/tom)

Untuk diketahui, Prabowo telah memegang empat tanda kehormatan bintang militer utama, yaitu Bintang Yuda Dharma Utama, Bintang Kartika Eka Paksi Utama, Bintang Jalasena Utama, dan Bintang Swa Buwana Paksa Utama.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Andriadi Achmad mengatakan, pemberian gelar kehormatan yang dilakukan Jokowi kepada Prabowo tidak ada kaitannya dengan politik, seperti yang digaungkan sebagian kalangan. Ia menilai Prabowo layak mendapat gelar jenderal kehormatan bintang empat karena telah memberikan banyak jasa bagi Indonesia.

“Menurut saya sah sah saja Jokowi memberikan jenderal (kehormatan) kepada Prabowo Subianto. Beberapa jenderal kehormatan pernah diberikan kepada Sudirman, AH Nasution, dan Soeharto (Jenderal kehormatan bintang 5). Lalu, dimasa Gus Dur dan Megawati juga beberap Jenderal kehormatan seperti Agum Gumelar, Luhut Binsar Panjaitan, AM Hendropriyo, dan SBY,” tutur Andriadi ketika dihubungi VOI.

“Artinya Jenderal bintang 4 atau 5 (Kehormatan) diberikan kepada seseorang yang berjasa terhadap bangsa dan negara. Menurut saya pertimbangan Jokowi memberikan Jenderal Kehormatan kepada Prabowo karena Jasanya sebagai Menhan saat ini dan pernah mengabdi sebagai Komandan Jenderal Koppassus dan Pangkostrad sebelum reformasi 1998,” imbuhnya.

Melawan Arus Aspirasi Publik

Namun di satu sisi, pemberian gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo Subianto merupakan satu dari sederet kontroversi yang terjadi memasuki pengujung kepemimpinan Jokowi.

Bukan hanya soal rekam jejak Prabowo di masa lalu, yang diduga melakukan pelanggaran HAM dalam kasus penculikan aktivis pada menjelang era reformasi pada 1998, pemberian pangkat ini juga membuat Jokowi dinilai tidak peka dengan situasi rakyat.

Dalam keterangan tertulis, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan mengkritik pemberian gelar jenderal kehormatan bintang empat kepada Prabowo. Ia menilai ini tidak etis lantaran mengabaikan kesulitan rakyat di tengah mahalnya harga beras dan sembako lainnya.

Warga mengantre beras murah dalam kegiatan operasi pasar GPM yang digelar Bulog di Ponorogo, Rabu (28/2/2024). (Antara)

“Dari sisi etika kepublikan, langkah Presiden Joko Widodo memberikan bintang kehormatan itu juga bermasalah. Presiden seharusnya lebih memikirkan nasib sebagian besar rakyat yang saat ini sedang mengalami kesulitan ekonomi serius, karena naiknya harga beras dan harga-harga sembako lainnya,” kata Halili Hasan dalam siaran pers Setara Institute.

Ia menuding langkah Jokowi sarat dengan kepentingan politik dan mendesak Jokowi membatalkan pemberian bintang kehormatan kemiliteran untuk Prabowo. Halili juga menyebutkan bahwa secara yuridis, kenaikan pangkat Prabowo itu tidak sah.

Undang-undang Nomor 34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia tidak mengenal bintang kehormatan sebagai pangkat kemiliteran. Bintang sebagai pangkat militer hanya berlaku untuk perwira tinggi TNI aktif, bukan purnawirawan.

Demikian pula jika merujuk pada UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Bintang yang diterima Prabowo seharusnya sebagai tanda kehormatan, yang menurut Pasal 7 Ayat 3 UU tersebut adalah Bintang Gerilya, Bintang Sakti, Bintang Dharma, Bintang Yudha Dharma, Bintang Kartika Eka Paksi, Bintang Jalasena, dan Bintang Swa Bhuwana Paksa, bukan bintang sebagai pangkat kemiliteran perwira tinggi bagi purnawirawan.

Halili Hasan menganggap keputusan ini semakin memperjelas bahwa Jokowi lebih sering menampilkan tindakan politik dan pemerintahan yang tidak hanya bertentangan dengan hukum dan mengabaikan HAM, tapi juga melawan arus aspirasi publik.