JAKARTA – Presiden Joko Widodo kembali membuat keputusan yang dianggap kontroversial setelah memberikan gelar Jenderal Kehormatan (HOR) kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Fakta bahwa Prabowo pernah diberhentikan dan kariernya dia masa lalu menimbulkan polemik atas keputusan Jokowi ini.
Prabowo menerima kenaikan pangkat secara istimewa dari Presiden Jokowi menjadi jenderal TNI dalam acara Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Juru bicara Menhan Dahnil Ahzar Simanjuntak mengatakan, penghargaan berupa kenaikan pangkat istimewa kepada Prabowo karena kontribusinya untuk kemajuan TNI dan pertahanan Indonesia.
“Hal yang sama pernah diperoleh oleh Pak Jenderal SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) kemudian Pak Luhut (Binsar Pandjaitan), Pak Hendropriyono dan beberapa tokoh yang lain. Pemberian jenderal penuh kepada Pak Prabowo didasarkan pada dedikasi dan kontribusi Pak Prabowo selama ini di dunia militer dan pertahanan. Oleh sebab itu, Pak Prabowo diputuskan, diusulkan oleh Mabes TNI kepada Presiden untuk diberikan (pangkat) jenderal penuh,” kata Dahnil, mengutip Antara.
Jokowi sendiri yang memimpin proses penyematan pangkat militer kehormatan. Ia mencopot tanda pangkat letnan jenderal dari pundak Prabowo, kemudian menyematkan tanda pangkat jenderal bintang empat.
“Saya ucapkan selamat kepada Bapak Jenderal Prabowo Subianto,” ujar Jokowi menutup pidatonya.
Keputusan Melampaui Batas
Namun apa yang dilakukan Jokowi menimbulkan pertanyaan dari masyarakat. Prabowo diketahui memiliki catatan hitam yang sampai sekarang tidak bisa dilupakan. Ia seringkali dikaitkan dengan kasus dugaan pelanggaran HAM. Isu ini pun hampir selalu menjadi senjata untuk menjatuhkan Prabowo, yang berpeluang besar menjadi suksesor Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia.
Pengamat politik Dedi Kurnia Syah menilai Jokowi telah merusak nilai penghormatan militer, termasuk merusak kualitas kepangkatan jenderal kehormatan dengan keputusannya ini.
Hal ini tidak lepas dari citra Prabowo Subianto yang dinilai memiliki masa lalu yang gelap, termasuk diberhentikan dari ABRI pada 1998.
“Jokowi sekaligus menggarami luka korban para aktivis yang hilang di mana Prabowo dipecat karena terbukti melakukan penghilangan paksa itu. Tentu keputusan Jokowi ini melampaui batas, hampir sulit diterima,” kata Dedi kepada VOI.
Ia menambahkan, para purnawirawan jenderal yang berada di lingkaran Jokowi seharusnya menolak keputusan ini.
Langkah Jokowi menyematkan gelar jenderal kehormatan kepada Prabowo juga mendapat reaksi dari Direktur Imparsial Gufron Mabruri. Ia menyebut Jokowi membuat keputusan yang anomali. Gufron mempertanyakan perimbangan Jokowi mengambil keputusan tersebut yang dinilai bakal berdampak luas.
"Pemberian gelar jenderal kehormatan bagi anggota atau perwira yang pernah diberhentikan dari dinas kemiliteran merupakan anomali, tidak hanya dalam sejarah militer tapi juga politik Indonesia secara umum," kata Gufron Mabruri, dikutip Kompas.
"Pemberian gelar jenderal kehormatan jelas menyakiti para korban pelanggaran HAM dan menganulir dugaan keterlibatannya dalam pelanggaran HAM berat masa lalu," ujar Gufron.
Keputusan Politis
Prabowo diberhentikan secara hormat dari ABRI melalui Keppres Nomor: 62/ABRI/1998 tentang pemberhentian Letjen Prabowo Subianto pada November 1998. Hal inilah yang memicu perdebatan publik setelah ia mendapat gelar jenderal kehormatan.
Pakar militer Beni Sukadis pun mempertanyakan tolok ukur Jokowi yang memberikan gelar tersebut. Ia yakin, di masa sebagian masyarakat sipil di Indonesia, Prabowo dianggap bertanggung jawab atas kasus dugaan pelanggaran HAM di pengujung Orde Baru.
“Apakah memang tepat atau hanya bagian dari upaya Jokowi untuk tetap memiliki pengaruh terhadap Prabowo sebagai presiden terpilih,” kata Beni, yang juga Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia.
Keputusan Jokowi memberikan gelar kehormatan kepada Prabowo memang tidak bisa lepas dari dugaan berbau politik. Mantan Wali Kota Solo ini disebut-sebut akan terlibat dalam pembentukan kabinet Prabowo, Capres nomor urut 2 yang sampai sekarang masih memimpin hitung cepat Pilpres 2024.
Adalah anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Dradjad Wibowo, yang sempat menyinggung soal Jokowi terlibat dalam pembentukan kabinet pemerintah berikutnya.
"Keterlibatan beliau (Jokowi) akan sangat signifikan," kata Dradjad.
BACA JUGA:
Menurut Dradjad, keterlibatan Jokowi pada masa transisi dinilai wajar karena kewenangan penyusunan RAPBN secara tata negara masih ada di tangah pemerintahan Jokowi. Namun, ia membantah keterlibatan Jokowi karena alasan permainan politik.
"Enggak, lebih ke alasan kelanjutan pembangunan dan alasan stabilitas politik," ujar dia.