Bagikan:

JAKARTA - Pengamat Militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi merespons pemberian pangkat Jenderal kehormatan Prabowo dari presiden Joko Widodo (Jokowi).

Menurut Khairul, penyebutan pemberian pangkat Jenderal kehormatan itu tidak tepat dan menimbulkan persepsi keliru, karena sudah tidak dikenal dalam UU No. 34 tahun 2004.

"Pangkat kehormatan sudah tidak dikenal dalam UU No. 34 tahun 2004. Kemudian PP Nomor 39 tahun 2010 yang mengatur tentang administrasi prajurit TNI sebagai turunan dari UU Nomor 34 tahun 2004 juga sudah membatalkan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya yang berkaitan dengan administrasi prajurit," kata Khairul saat dihubungi, Rabu 28 Februari.

Karena itu, Khairul menyebut yang harus diluruskan adalah pemberian pangkat istimewa, pangkat istimewa itu sesuai dengan UU Nomor 20 tahun 2009.

"Di UU itu ada istilah pengangkatan atau kenaikan pangkat istimewa, bukan kehormatan seperti yang beberapa media keliru sebutkan. Nah kenaikan pangkat istimewa atau pengangkatan pangkat istimewa itu adalah hak yang menyertai pemberian bintang jasa oleh negara," jelas Khairul.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, sambung Khairul, adalah pemegang empat tanda kehormatan bintang militer utama. Pertama bintang yudha dharma utama, bintang kartika eka paksi utama, bintang jalasena utama, dan bintang swa bhuwana paksa utama.

Menurutnya, pemberian pangkat istimewa itu layak diberikan kepada Prabowo Subianto.

Ditanya soal masa lalu Prabowo Subianto yang pernah diberhentikan, Khairul menegaskan Prabowo diberhentikan secara hormat dan tidak memiliki bukti pelanggaran HAM.

"Faktanya, status Prabowo adalah diberhentikan dengan hormat. Karena itu dia juga tidak kehilangan hak dan kewajiban apa pun yang berkaitan dengan statusnya sebagai prajurit TNI. Termasuk menerima tanda kehormatan bintang militer dan pangkat istimewa," jelas Khairul.

Khairul menegaskan tidak ada fakta hukum dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan dan menghukum Prabowo sebagai pelaku pelanggaran HAM Berat.