Bagikan:

JAKARTA – Tantangan makan tahu dalam kondisi panas sempat viral di media sosial TikTok beberapa waktu lalu. Tren ini kemudian ditiru banyak orang, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran dari praktisi kesehatan karena memiliki banyak risiko.

Tantangan makan tahu panas ini pertama kali dipopulerkan oleh influencer China. Dalam unggahannya, ia memosting tahu yang dimasak ke dalam minyak panas pada wajan. Tak berapa lama kemudian, tahu dari wajan yang panas diambil menggunakan sumpit dan dicocol ke taburan bubuk cabai. Sebuah momen yang terlihat begitu dinikmati oleh wanita si pengunggah video.

 

Meski terlihat cukup mengerikan, ternyata tantangan tahu goreng tersebut banyak ditiru konten kreator di Indonesia, salah satunya adalah Tanboy Kun yang kerap membagikan konten mukbang dengan cita rasa pedas dan porsi yang super banyak. Memiliki lebih dari satu juta pengikut di akun Instagram, apa yang dilakukan pria dengan nama asli Bara Ilham sudah pasti menjadi inspirasi bagi para followernya.

Dan benar saja, challenge tahu goreng ini pun mendadak viral, ditiru oleh banyak kalangan mulai dari remaja hingga ibu-ibu. Maraknya tren challenge tahu goreng ini memunculkan polemik, baik dari sisi kesehatan maupun psikologi.

Para dokter sepakat, meniru tren tantangan tahu pedas memiliki risiko kesehatan. Sementara para pakar psikologi menilai orang yang senang mengikuti tren karena takut dicap ketinggalan zaman.

Berisiko Kanker

Ramainya tren tantangan tahu goreng ini ditanggapi oleh Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Dede Nasrullah. Menurut Dede, makanan yang disajikan hangat memang lebih nikmat, namun seseorang harus tetap memperhatikan suhunya karena memiliki risiko kesehatan yang berbahaya.

Risiko pertama adalah makanan panas bisa menyebabkan kanker kerongkongan. Ini terjadi karena inflamasi yang terjadi di saluran pencernaan atas. Suhu makanan yang tinggi memberi efek pada saluran pencernaan atas, rongga mulut, turun ke kerongkongan sehingga bisa terjadi inflamasi.

“Inflamasi ini yang akan memicu terjadinya kanker kerongkongan,” kata Dede, dikutip dari laman resmi UM Surabaya.

Selain itu, mengonsumsi makanan atau minuman panas dapat menyebabkan luka pada tenggorokan dan ini memengaruhi proses pencernaan makanan. Tenggorokan merupakan organ pencernaan yang harus dilalui makanan sebelum makanan sampai ke usus, sehingga memakan makanan panas menimbulkan risiko.

Dalam psikologi fenomena seseorang mengikuti tren disebut Bandwagon Effect. (Freepik)

Lebih lanjut Dede menuturkan, suhu makanan yang panas bisa mengiritasi lambung dan meningkatkan produksi asam HCL. Itulah sebabnya, perut akan terasa kembung dan begah saat kita mengonsumsi makanan panas. Selain itu seseorang juga dikatakan Dede lebih rentan terkena kanker lambung jika sering makanan makanan panas.

Tak hanya memengaruhi tenggorokan, lambung, dan perut, makanan yang dimakan dalam kondisi masih panas juga ternyata bisa menyebabkan terkikisnya email gigi. Padahal email gigi merupakan lapisan terluar gigi yang berfungsi melindungi gigi.

“Terakhir, lidah bisa melepuh dan mati rasa, lidah sebagai organ tubuh pertama yang merasakan panasnya makanan ataupun minuman sehingga menyebabkan lidah akan mati rasa dan pecah- pecah saat mengkonsumsi makanan panas,” pungkasnya.  

Takut Dicap Kurang Gaul

Tantangan tahu panas sebenarnya bukan satu-satunya challenge yang viral dan diikuti banyak orang. Sejak era media sosial berkembang pesat, berbagai challenge beredar di masyarakat. Umumnya, tren tantangan ini dengan cepat menyebar dan ditiru para pengguna media sosial.

Beberapa tren yang juga sempat viral di media sosial adalah Skull Breaker ChallengeMugshot Challenge, dan Pass the Brush Challenge. Selain tren challenge, tren menggunakan barang atau produk viral juga tak kalah populer.

Yang teranyar adalah tren botol minum sultan Corkcicle, yang meski harganya terbilang di atas rata-rata namun tetap diburu banyak orang. Di dunia kecantikan, popularitas gel aloe vera sempat meroket, sampai akhirnya banyak brand yang mengeluarkan produk serupa.

Pertanyaannya, mengapa orang cenderung senang mengikuti tren yang sedah viral meski terkadang hal tersebut tidak bermanfaat atau justru membahayakan diri sendiri dan orang lain?

Mengonsumsi makanan dalam kondisi panas memiliki berbagai risiko kesehatan, termasuk kanker lambung. (Unsplash/Joshua Hoehne)

Menurut pakar psikologi ada beberapa hal yang membuat orang ikut-ikutan tren yang lagi viral. Pertama tentu karena terpengaruh teman dekat, kelompok, atau komunitas. Alasan kedua karena muncul perasaan fear of missing out (FOMO) atau merasa takut dianggap kurang gaul jika tidak ikut yang sedang tren di media sosial.

Menurut dosen Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi (FPsi) Univesitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Fadjri Kirana Anggarani, S.Psi., M.A, perilaku suka mengikuti dalam ilmu psikolog disebut Bandwagon Effect.

Bandwagon Effect merupakan salah satu bentuk bias kognitif karena adanya pengaruh dari orang lain maupun kelompok,” ungkap Fadjri, M.A, mengutip laman resmi UNS.

Bandwagon Effect adalah sebuah fenomena di mana seseorang cenderung mengikuti tren, gaya, sikap, dan lain sebagainya karena melihat banyak orang melakukan hal yang sama, terlepas dari kepercayaan atau prinsip dan nilai yang dianut. Sederhananya, ini bisa disebut sebagai latah sosial.

Bandwagon Effect sebenarnya bukan istilah baru. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada abad ke-19 untuk menjelaskan fenomena ikut-ikutan yang terjadi dalam pemilihan politik di Amerika Serikat. Seiring berjalannya waktu, Bandwagon Effect ini tidak hanya berlaku untuk fenomena politik, tapi juga fenomena lain seperti tren fesyen, kecantikan, pariwisata, hingga berdampak ke perilaku media sosial.

Belajar dari berbagai tren dalam beberapa tahun ke belakang, challenge tahu goreng sepertinya tidak akan menjadi yang terakhir viral di media sosial. Untuk itu, Fadjri berpesan agar bijak dalam menyikapi sesuatu yang sedang tren atau viral di masyarakat.

“Ikut-ikutan boleh. Asal sebelum melakukan atau membeli yang sedang viral, perlu dipikirkan matang-matang mengenai kebutuhan dan dampak pada diri. Dengan demikian, keputusan yang diambil atas dasar rasionalitas bukan intuisi karena ikut-ikutan,” pungkasnya.