JAKARTA – Hadir secara anonim membuat orang merasa perilakunya di media sosial tidak berisiko, menurut psikolog forensik Reza Indragiri Amriel.
Apa yang dikatakan Reza terkait dengan fenomena belakangan ini, di mana banyak orang senang melontarkan umpatan mauapun komentar negatif di media sosial.
Belum lama ini, calon presiden Indonesia Anies Baswedan mendapat ancaman pembunuhan saat ia melakukan Live di TikTok pekan lalu. Namun, Polri telah menangkap satu pelaku yang menyebar ancaman pembunuhan terhadap Capres nomor urut satu tersebut.
"Saat ini pelakunya sudah ditangkap dengan inisial AWK umur 23 tahun di daerah Pasuruan, Jawa Timur tepatnya TKP-nya di Jember," kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Sandi Nugroho dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Sabtu, 13 Januari 2024.
Sandi mengatakan pelaku merupakan pemilik akun media sosial TikTok @calonistri71600 yang mengeluarkan ancaman penembakan di terhadap Capres Anies Baswedan. Penangkapan dilakukan berdasarkan informasi dari masyarakat dan kerja sama Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dan untuk Siber Polda Jawa Timur.
Hukuman Tidak Konstan
Seiring berkembangnya teknologi, media sosial (medsos) memang menjadi sangat mudah diakses bagi siapa saja dan kapan saja. Kehadiran medsos sendiri sebenarnya memiliki sejumlah dampak positif, seperti memudahkan interaksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, penyebaran informasi juga dapat berlangsung secara tepat. Jarak dan waktu bukanlah masalah besar di medsos.
Namun, seperti kebanyakan fenomena lainnya, penggunaan medsos yang begitu masif juga memiliki dampak negatif. Komentar negatif, ujaran kebencian, bahkan sampai ancaman pembunuhan jadi hal biasa di medsos.
Ancaman pembunuhan tidak hanya dialami Anies Baswedan. Di luar negeri sejumlah pesepak bola juga sempat mendapatkan ancaman pembunuhan di media sosial. Hal ini pernah dialami bek andalan Manchester United, Harry Maguire pada April 2022. Ia mendapat ancaman bom dari fans Setan Merah yang kecewa atas penampilannya bersama tim arahan Erik ten Hag. Ancaman pembunuhan dikirim melalui surel kepada pemain Tim Nasional Inggris tersebut.
Harry Maguire dan Anies Baswedan hanya secuil dari banyak figur publik yang mendapat komentar tak menyenangkan di akun medsos mereka. Mengapa orang menjadi terlihat berani di medsos tanpa mengindahkan tata krama yang selama ini dijunjung?
Menurut psikolog forensik Reza Indragiri Amriel, hal ini terjadi lantaran medsos bisa diakses dengan sangat mudah, kapan pun dan di mana pun. Selain itu, jumlah karakter di medsos yang terbatas memancing penggunanya untuk berpikir impulsif.
“Hal ini mengondisikan otak kita untuk berpikir cepat dan singkat. Medos, alhasil, menjadi medan ideal bagi impulsivitas,” tutur Reza kepada VOI.
Selain karakter medsos yang terbatas, hukuman terhadap pelaku juga terbilang terlalu ringan bahkan bisa dikatakan tidak ada. Hal ini membuat seseorang menjadi lebih berani berkomentar negatif di medsos karena tidak ada efek jera yang diberikan.
“Dari jutaan posting negatif, yang diproses hukum sepertinya hanya nol koma sekian persen. Proses hukum pun menjadi tidak ajeg,” jelas Reza.
“Karena tidak ajeg atau konstan, maka satu elemen bagi detterence effect (efek pencegahan) menjadi tidak ada. Karena tidak ada detterence effect, perilaku mengirim posting negatif niscaya berlanjut,” Reza menambahkan.
Medsos Bersifat Anonim
Tingginya ujaran kebencian, komentar negatif, bahkan ancaman di medsos sudah menjadi perhatian sejak dulu. Menurut psikolog Oktina Burlianti, apa yang ditunjukkan seseorang di medsos, misalnya komentar pedas, tidak serta merta menunjukkan siapa dirinya di dunia nyata. Artinya, orang yang berani berkomentar pedas di medsos belum tentu juga berani di dunia nyata.
“Ada penelitian yang menarik kenapa orang bisa menjadi sangat agresif di media sosial. Salah satunya, orang seperti ini memang memiliki karakter sadistic, antisosial, atau orang yang kesulitan dalam membangun relasi,” kata Oktina pada Mei 2021.
Secara psikologis, Oktina mengatakan hampir semua orang yang menebar kebencian melalui kalimat atau komentar pedas memiliki masalah dalam membangun dan/atau mempertahankan relasi atau keduanya.
“Dari beberapa faktor, faktor yang paling utama mendorong orang menjadi seperti itu adalah karena tidak adanya kontak mata,” tuturnya.
Dalam menggunakan media sosial, orang memang tidak berhadapan langsung atau face-to-face, melainkan berhadapan dengan gawai mereka. Karena tidak ada kontak mata saat berkomunikasi, maka tidak ada kesedaran akan pentingnya moral, kode etik, dan pemahaman benar atau salah.
BACA JUGA:
Karena sifanya medsos yang anonim ini pula membuat orang mengabaikan hal-hal tersebut.
“Medsos memungkinkan orang hadir secara anonim. Karena anonim, orang merasa perilakunya tak berisiko,” kata Reza menyudahi.