Bagikan:

JAKARTA – Angka kematian anak akibat pneumonia di Indonesia bahkan dunia cukup tinggi, padahal ini termasuk penyakit yang dapat dicegah.

Melansir Ai Care, pneumonia adalah infeksi paru-paru yang disebabkan oleh berbagai jenis bakteri, seperti Streptococcus pneumoniae, HiB, dan lain-lain. Selain bakteri, pneumonia juga dapat disebabkan virus maupun jamur yang menyerang saluran pernapasan anak dan menyebar melalui kontak langsung cairan pernapasan seperti droplet, air liur, atau lendir.

Pneumonia sering juga dikenal dengan istilah paru-paru basah. Pada kondisi ini, saluran napas dipenuhi cairan atau nanah sehingga menyebabkan seseorang kesulitan bernapas.

Bayi dan anak-anak termasuk golongan yang rentan terhadap pneumonia. Pada anak-anak, penyakit ini bisa sangat berbahaya karena sistem kekebalan tubuh mereka masih berkembang. Anak-anak yang mengalami pneumonia berisiko mengalami kerusakan paru-paru, adanya komplikasi dan risiko yang lebih tinggi termasuk kegagalan pernapasan.

Pneumonia, menurut UNICEF, menjadi penyumbang kematian tertinggi pada balita. (Pixabay)

Bagi sebagian besar masyarakat, pneumonia diasosiasikan dengan penyakit orang dewasa. Namun kenyataannya, menurut laporan United Nations Children's Fund (UNICEF), pneumonia menjadi penyakit menular yang menyumbang kematian terbesar terhadap anak bawah lima tahun (balita) di dunia pada 2021. Angkanya mencapai 725.557 kasus pada 2021. UNICEF menyebut, jumlah tersebut sudah turun 54% dari 2000 lalu yang mencapai 1.590.874 kasus kematian.

Anggota Komite Ahli Tuberculosis Kementerian Kesehatan Dr. dr. Nastiti Kaswandani, Sp.A(K) mengatakan pneumonia bisa membahayakan nyawa seiring terganggunya fungsi paru.

“Menyebabkan anak sesak sehingga kalau berlanjut maka terjadi kekurangan oksiden di semua organ, sehingga menyebabkan kematian,” ujar dr. Nastiti dalam seminar media mengenai pneumonia pada anak yang diselenggarakan Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Kamis (11/1/2024).

Indonesia Peringkat Enam Dunia

Menurut UNICEF, setiap tahunnya penyakit ini merenggut nyawa lebih dari 725 ribu anak di bawah usia lima tahun, termasuk 190 ribu bayi baru lahir yang sangat rentan terhadap infeksi.

“Setiap hari, setidaknya satu anak meninggal setiap 43 detik karena pneumonia. Hampir semua kematian ini dapat dicegah,” demikian pernyataan UNICEF.

Indonesia termasuk negara dengan angka kematian akibat pneumonia tertinggi di dunia. Indonesia menempati peringkat enam setelah UNCEF mencatat 19 ribu kematian akibat pneumonia pada 2018. Posisi pertama ditempati Nigeria dengan 126 ribu kematian, dan diikuti India, Pakistan, Republik Kongo, dan Ethiopia.

Petugas medis Dinas Kesehatan Kendari mempersiapkan suntikan PCV untuk balita di Pos Pelayanan Keluarga Berencana di Kecamatan Baruga, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (12/12/2023). Kementerian Kesehatan menetapkan vaksin pneumococcus konyugasi (PCV) ke dalam program imunisasi rutin untuk melindungi dan mencegah kematian pada anak-anak akibat pneumonia, yaitu peradangan paru paru yang disebabkan oleh infeksi. (Antara/Jojon/wpa)

Artinya, angka kematian anak akibat pneumonia lebih tinggi dibandingkan penyakit lainnya, dengan diare menyebabkan kematian “hanya” 437 ribu anak balita, sementara malaria merenggut nyawa 272 ribu anak.

Seperti halnya COVID-19, pneumonia termasuk penyakit yang mudah menyebar karena dapat ditularkan melalui droplet atau percikan air liur. Gejala pneumonia pada anak dapat dilihat dari napas yang menjadi cepat dan ngos-ngosan, batuk berdahak, mual muntah, serta mengalami demam 39 derajat atau lebih.

Pencegahan Pneumonia

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pneumonia dapat dicegah dengan berbagai tindakan perlindungan, seperti nutrisi yang cukup dan mengurangi faktor risiko seperti polusi udara, serta menerapkan praktik kebersihan. Selain itu, pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama kelahiran juga dapat membantu mencegah pneumonia pada anak.

“Ketika tidak memberikan ASI eksklusif maka dapat meningkatkan risiko pneumonia dibandingkan dengan mereka yang mendapat ASI eksklusif selama enam bulan,” tutur dr. Nastiti.

“Ketika kita berupaya untuk mencegah bagaimana supaya menghindarkan anak dari pneumonia, maka tentu dengan exclusive breastfeeding,” imbuhnya.

ASI Eksklusif dapat membantu mengurangi risiko pneumonia pada anak hingga 20 persen. (Pixabay)

Dikatakan dr. Nastiti, ASI eksklusif dapat menurunkan risiko pneumonia pada anak sampai 20 persen. Manfaat ASI sendiri sudah diteliti oleh sejumlah pakar, sehingga anak-anak yang mendapatkan ASI eksklusif disebut memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik.

Selain ASI, vaksinasi lengkap juga dapat membantu pencegahan pneumonia. Sayangnya menurut data WHO 40 persen anak di seluruh dunia tidak mendapatkan vaksin utama untuk mencegah pneumonia, yaitu vaksin Pneumococcal (PCV). Selain itu, vaksin lain seperti Diphteria-Tetanus-Pertusis (DPT) dan vaksin Hemophilus Influenza B (Hib) juga melindungi anak dari pneumonia.

Polusi dari Dalam Rumah

Polusi udara dapat secara signifikan meningkatkan risiko infeksi pernapasan, termasuk pneumonia. Data WHO menyebut hampir separuh angka kematian akibat pneumonia disebabkan oleh polusi udara.

“Krisis iklim adalah krisis hak-hak anak dan menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan dan kesejahteraan anak-anak,” tulis WHO di laman resminya.

Selama ini publik berpikir polusi udara hanya terjadi di luar ruangan, seperti yang berasal dari asap kendaraan bermotor, limbah industri, dan lainnya. Padahal polusi dari dalam rumah juga tidak kalah berbahaya.

Asap rokok menjadi salah satu polutan paling potensial dalam lingkungan rumah, yang dapat memicu pneumonia pada balita. (Worldcarfans)

Dokter Nastiti mengatakan, selama ini masih banyak orang yang tidak menyadari bahaya polusi dari rumah. Padahal, polusi tersebut kemungkinan besar dihasilkan sendiri di rumah setiap harinya.

Selain asap rokok, polusi di dalam rumah juga bisa dihasilkan dari kayu bakar atau briket arang yang masih digunakan untuk memasak, utamanya di daerah-daerah.

“Asap dari dapur misalnya seperti memanggang, membakar makanan, ini sebenarnya polusi yang sering tidak disadari masyarakat,” dr. Nastiti menjelaskan.

Terkait bahaya polusi di rumah juga sudah sering digaungkan WHO. “Polusi udara luar ruangan merupakan risiko bagi anak-anak, terutama dengan meningkatnya laju urbanisasi di negara-negara dengan beban pneumonia yang tinggi,” tulis badan kesehatan dunia tersebut.

“Namun, polusi udara dalam ruangan, yang dihasilkan oleh bahan bakar yang tidak bersih untuk memasak dan memanaskan juga merupakan ancaman global,” begitu kelanjutan pernyataan WHO.