Bagikan:

JAKARTA – Klaim bahwa rokok elektronik adalah salah satu cara jitu berhenti dari kecanduan rokok konvensional tidak terbukti kebenarannya. Alih-alih menghindari bahaya nikotin dari rokok konvensional, studi di Indonesia maupun luar negeri menunjukkan rokok elektronik menimbulkan ketagihan atau adiksi.

Rokok elektronik atau yang juga dikenal dengan vape cukup populer dalam beberapa tahun ke belakang, utamanya di kalangan anak muda. Rokok elektronik diklaim dapat meningkakan peluang mereka yang ingin berhenti merokok tembakau. Namun sejumlah penelitian menyebut rokok elektronik tidak terbukti efektif untuk berhenti merokok.

Sama seperti rokok tembakau, rokok elektronik juga mengandung tiga zat berbahaya yang dapat membuat penggunanya menjadi adiksi, yaitu nikotin, karsinogen, dan bahan toksik lainnya. 

Dibantu Promosi yang Masif

Popularitas rokok elektronik memang terus berkembang dalam beberapa tahu terakhir. Masifnya peredaran rokok elektronik tidak lepas dari iklan atau promosi produsen rokok elektonik di media sosial.

Menurut penelitian yang melibatkan 1.239 individu di lima kota besar di Indonesia (Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta), sebanyak 84 persen responden pernah melihat iklan atau promosi rokok elektronik di Facebook, Instagram, YouTube, dan media sosial lainnya.

Responden yang pernah melihat iklan vape berpeluang 2,91 kali lebih besar pernah menggunakan rokok elektronik dan 2,82 kali lebih besar masih aktif menggunakan rokok elektronik.

Penjual menata rokok elektrik di salah satu toko di Pekayon, Jakarta Timur, Selasa (27/12/2022). (Antara/Asprilla Dwi Adha/foc)

Melihat metode promosi yang menggunakan media sosial, dapat disimpulkan bahwa sasaran produsen rokok elektronik adalah kalangan anak muda yang dekat dengan dunia digital. Dengan iming-iming lebih aman dibandingkan rokok konvensional, tidak sedikit anak muda yang awalnya coba-coba justru malah kecanduan rokok elektronik.

Rokok elektronik atau vape juga menyasar mereka yang ingin berhenti merokok konvensional karena dianggap lebih aman. Rokok elektronik seringkali mendapat label tanpa nikotin, padahal menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia Prof Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), rokok elektronik juga mengandung bahan-bahan berbahaya seperti halnya rokok konvensional. Sehingga menurutnya, rokok elektronik juga tidak memenuhi syarat sebagai alat bantu berhenti merokok. 

“Rokok elektronik mengandung tiga bahan berbahaya, yaitu nikotin, bahan karsinogen, dan bahan toksik lainnya,” kata dr. Agus dalam acara webinar Ikatan Dokter Indonesia, Selasa (9/1/2024).

“Sebuah modalitas untuk berhenti merokok itu tidak boleh dipakai kalau dapat menyebabkan risiko baru. Faktanya di Indonesia, rokok elektronik terbukti dapat menimbulkan bahaya kesehatan meskipun tidak ada TAR-nya,” dr. Agus menjelaskan.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia Prof Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) menegaskan rokok elektronik tidak memenuhi syarat sebagai alat bantu berhenti merokok. (VOI/Bambang E Ros/DI: Raga Granada)

Hingga saat ini, banyak pihak yang masih kesulitan menjawab pertanyaan tentang apa saja isi dari rokok elektronik. Pasalnya, belum ada badan negara yang mengawasi industri rokok ini.

Dari berbagai rokok elektronik yang beredar di masyarakat, tidak ada yang menjabarkan bahan-bahannya secara akurat. Hasil penelitian Food and Drug Administration AS terhadap 18 rokok eletronik berbeda, menemukan adanya racun dan zat karsinogenik pada beberapa merk.

Statistik Pengguna Rokok Elektronik di Indonesia

Namun, klaim bahwa rokok elektronik tidak lebih berbahaya dari rokok konvensional sepertinya terlanjur diamini masyarakat, termasuk di Indonesia. Ini terlihat dari prevelensi penggunaan rokok elektrik di Indonesia yang cukup tinggi, bahkan menduduki peringkat satu dunia berdasarkan Statistika Consumber Insights pada Januari hingga Maret 2023.

Dari data tersebut, dr. Agus mengatakan sebanyak 25 persen masyarakat Indonesia pernah setidaknya menggunakan rokok elektronik satu kali. Pengguna vape pada usia 15 tahun ke atas juga meningkat dalam 10 tahun terakhir.

“Ini angkanya lebih tinggi dari Swiss 16 persen, Amerika Serikat 15 persen, Inggris 13 persen,” jelas dr. agus lagi.

Menurut dr. Agus, ada empat hal yang melatarbelakangi mereka menggunakan vape. Pertama, karena menganggap kadar nikotin lebih rendah. Kedua, mereka memilih menggunakan rokok elektronik karena memiliki banyak varian rasa. Sementara dua alasan lainnya karena tertarik dengan trik asap dan sisanya ikut-ikutan alias hanya berjalan dengan tren.

Rokok elektronik sering mendapat label sebagai alternatif dari rokok konvensional. (Pixabay) 

Mengenai rokok elektronik dengan perasa, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mendesak negara-negara di dunia untuk melarang penjualan rokok elektronik dengan perasa. WHO mengatakan vape berpotensi mendorong kecanduan nikotin pada non-perokok, terutama anak-anak dan remaja.

“Anak-anak direkrut dan dijebak di usia dini untuk memakai rokok elektrik dan mungkin kecanduan nikotin,” ujar Direktur Jenderal WHO Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari laman resmi WHO.

“Saya mendesak negara-negara untuk menerapkan langkah-langkah ketat untuk mencegah penyerapan guna melindungi warga negaranya, terutama anak-anak dan remaja.” 

Bahaya rokok elektronik ini juga pernah diungkapkan dr. Annisa Dian Harliavasari dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Dokter Annisa menuturkan, hasil penelitian terhadap perokok elektronik ditemukan kadar nikotin pada urinnya ditemukan nilainya hampir sama dengan lima batang rokok konvensional.

Meski kerap dikampanyekan sebagai produk alternatif yang aman dan tanpa melalui pembakaran, kata dr. Annisa, sisi lain atau dampak negatif yang terdapat dari rokok elektronik seringkali tidak ditampilkan.

Menurutnya, kandungan dari cairan atau liquid yang digunakan dalam rokok elektronik seperti kadar nikotin, serta kandungan bahan lainnya seperti etilen glikol masih belum jelas kadarnya.

“Misalnya kandungan nikotin dengan kadar seperti apa, itu belum ada random sampling yang dikerjakan terhadap produk yang beredar di masyarakat,” tutur dr. Annisa, dikutip Antara.