JAKARTA – Pemerintah memberlakukan penggunaan KTP untuk pembelian tabung gas LPG 3 kg per 1 Januari 2024. Kebijakan ini tentu mengundang reaksi dari masyarakat termasuk dari pelaku usaha mikro.
Menurut berbagai sumber, hingga saat ini pembelian tabung gas LPG 3 kg masih banyak yang belum mewajibkan membawa KTP. Tapi, sejumlah warga mengaku keberatan jika peraturan tersebut diterapkan.
Salah satunya adalah Umsiah, seorang pedagang warteg yang mengaku sampai sekarang ia masih belum dimintai KTP ketika membeli gas LPG 3 kg di warung kelontong. Tapi, Umsiah mengaku keberatan jika peraturan penggunaan KTP untuk membeli gas bersubsidi diberlakukan.
“Terlalu ribet dan susah, kalau bisa gak usah pakai KTP,” begitu kata Umsiah saat ditanya apakah dirinya setuju pembelian tabung gas 3 kg harus menggunakan KTP.
Komentar serupa juga diungkapkan Sahuri, seorang pedagang bakso di kawasan Jakarta.
Terlalu Birokratis
Kebijakan penggunaan KTP untuk membeli tabung gas LPG 3 kg sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 dan Nomor 38 Tahun 2019. Dalam Perpres tersebut, gas LPG 3 kg hanya diperuntukkan bagi rumah tangga dan usaha mikro yang digunakan untuk memasak. Selain itu, diperuntukkan juga bagi nelayan sasaran dan petani sasaran.
Keputusan ini dibuat sebagai upaya pemerintah untuk mengoptimalkan distribusi gas LPG 3 kg sehingga subsidi tersebut dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat yang tepat sasaran. Sepanjang tahun 2020 sampai 2022 Kementerian ESDM mencatat tren konsumen gas LPG bersubsidi naik 4,5 persen sementara non-subsidi mengalami penurunan 10,9 persen.
Di tengah masifnya penolakan warga terkait regulasi anyar ini, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengimbau masyarakat yang belum terdata agar segera mendaftar sebelum melakukan pembelian LPG 3 kg.
“Ini adalah kebiasaan baru di masyarakat, kami mohon karena ini tujuannya untuk melindungi masyarakat yang berhak di kemudian hari menerima gas LPG bersubsidi, kami berharap masyarakat untuk membantu pemerintah dan diri sendiri,” kata Tutuka.
Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta beberapa waktu lalu, Kementerian ESDM mencatat sebanyak 31,5 juta Nomor Induk Kependudukan (NIK) telah melakukan transaksi LPG 3 kg di subpenyalur atau pangkalan hingga 31 Desember 2023.
Sementara masyarakat yang belum terdaftar dapat melakukan pendaftaran di pangkalan resmi LPG 3 kg Pertamina dengan membawa KTP dan Kartu Keluarga (KK). Hal ini diperlukan untuk memasukkan data ke dalam alat merchant apps yang dimiliki oleh pangkalan, yang hanya dapat dilakukan di pangkalan resmi.
Regulasi pendaftaran KTP untuk membeli gas LPG 3 kg ini juga mendapat perhatian dari pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah. Menurut Trubus, keputusan ini justru memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah, meski ia tidak menampik ini memiliki tujuan yang baik.
“Sekarang semua harus pakai KTP, dan terlalu birokratis padahal ini untuk kebutuhan masyarakat bawah atau miskin sehingga kesannya dipersulit,” tutur Trubus kepada VOI.
BACA JUGA:
“Ya memang tujuannya baik, supaya tepat sasaran. Tapi ini kebijakan yang elitis dan malah membebani masyarakat,” imbuh dosen di Universitas Trisakti ini.
Pengunaan KTP untuk pembelian LPG 3 kg memang menimbulkan banyak tanya karena KTP bersifat general, yang isinya hanya membuat identitas umum pemilik. Dalam KTP yang dimiliki masyarakat Indonesia, tidak ada keterangan apakah pemiliknya termasuk golongan kaya atau miskin yang disebut berhak membeli LPG bersubsidi.
Perlunya Pemutakhiran Data
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Reform Economic (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah perlu terus memutakhirkan data masyarakat yang berhak menerima subsidi energi agar kebijakan daftar untuk pembelian LPG 3 kg benar-benar efektif dan tepat sasaran.
“Di sisi yang lain, yang semestinya dapat ini, justru malah tidak terbantu. Masyarakat miskin yang seharusnya menerima jadi tidak terbantu sehingga memang perlu ada kontrol terhadap distribusinya,” ucap Faisal, dikutip Antara.
Faisal sepakat dengan kebijakan penyaluran LPG 3 kg kepada masyarakat yang terdaftar atau terdata. Ini bertujuan meningkatkan ketepatan sasaran distribusi subsidi. Selain itu, kebijakan ini juga diperlukan untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pendistribusian subsidi LPG yang dapat memengaruhi target dan malah mengakibatkan pemborosan anggaran.
“Karena dari sisi suplai terbatas, sementara kalau banyak yang bocor, dalam artian diterima oleh masyarakat yang justru tidak layak menerima, ini malah justru jadinya tidak tepat sasaran, target meleset, dan membuang-buang anggaran juga untuk subsidi,” tegas Faisal.
Faisal menambahkan, jika tidak ada perbaikan data akan berisik menciptakan ekslusi error dan inklusi error. Eksklusi error terjadi ketika orang yang seharusnya menerima bantuan justru tidak terdaftar, sementara inklusi error adalah sebaliknya, yaitu mereka yang seharusnya tidak memenuhi syarat tapi tetap mendapatkannya.
Karena itu, Faisal menekankan pentingnya pembaruan dan evaluasi konstan terhadap sistem pencatatan demi memastikan distribusi yang efektif dan akurat.