JAKARTA – Setelah gimik gemoy dan santuy dipopulerkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, sekarang muncul fenomena Anies Bubble. Meski namanya berbeda, namun keduanya punya tujuan yang sama, yaitu mengeruk suara generasi Z atau Gen Z dan milenial pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Di sisa satu setengah bulan masa kampanye, tiap-tiap Capres terus bekerja keras demi mencuri perhatian para calon pemilih, yang sebanyak 50 persen lebih dari kalangan anak muda, termasuk Gen Z. Maka tak heran jika para Capres ini berlomba-lomba memainkan gimik serta menggunakan platform media sosial yang lekat dengan anak muda tersebut.
Setelah publik dihebohkan dengan joget gemoy Prabowo Subianto di akhir tahun 2023, kini di awal 2024 fenomena Anies Bubble berhasil menyita atensi masyarakat.
Demi Menjangkau Anak Muda
Anies Baswedan secara tiba-tiba melakukan kampanye melalui siaran langsung TikTok yang ditonton ratusan ribu pengikutnya. Live TikTok ini pun langsung membuat heboh dan beberapa momen diabadikan melalui rekaman layar hingga diunggah oleh beberapa akun.
Tak lama setelahnya, muncul akun @aniesbubble di platform X yang ramai menjadi perbincangan publik. Akun tersebut dibuat ala akun penggemar idola Korea, karena menggunakan hangul dalam bahasa Korea dalam profilnya.
Calon wakil presiden nomor urut tiga, Mahfud MD, tak mau ketinggalan. Ia juga memanfaatkan live di media sosial TikTok untuk kampanye. Dalam siaran langsungnya, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengadakan sesi tanya jawab dengan para pengikutnya.
Di era digital sekarang ini, memanfaatkan media sosial harus diakui memang menjadi salah satu jalan untuk mencuri perhatian calon pemilih yang didominasi pemilih pemula. Berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024, sebanyak 56 persen dari total keseluruhan pemilih adalah mereka dari kelompok generasi Z dan milenial.
Platform TikTok sendiri merupakan media sosial yang cukup dekat dengan Gen Z. Dengan potensi yang begitu besar dari kalangan anak muda, makanya tak mengherankan jika para Capres dan Cawapres berlomba-lomba melakukan kampanye kontemporer ini untuk menarik suara pemilih pemula. Hal ini pun diamini analis komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo.
“Untuk meraih atau menjangkau anak muda, ya mau enggak mau harus masuk ke platform yang di situ ada mereka,” kata Kunto mengutip Kompas.com.
Hanya Ajang Sosialisasi
Bukan hanya Anies dan Mahfud, hampir semua Capres dan Cawapres yang akan bertarung memang berupaya menarik perhatian pemilih muda melalui TikTok. Ganjar Pranowo misalnya, yang dari dulu rajin mengunggah video tentang aktivitasnya bersama masyarakat di medsos.
Sementara pasangan Prabowo-Gibran juga kerap mengunggah video-video pendek yang menampilkan keduanya berjoget gemoy. Dituturkan Kunto, konten-konten ringan seperti ini memang menarik perhatian pemilih, namun hanya di awal masa kampanye.
Dengan masa kampanye yang hanya tersisa kurang dari 1,5 bulan lalu, anak muda justru membutuhkan konten yang lebih mendalam terkait Capres dan Cawapres. Informasi inilah yang akan menjadi pertimbangan pemilih menentukan pilihan mereka.
“Apalagi anak muda semakin terdesak, ada keharusan untuk segera menentukan pilihan. Oleh karenanya, mereka butuh informasi yang jelas, yang gamblang, tapi tetap disampaikan dengan cara mereka, dengan bahasa mereka, dengan nilai-nilai yang ada di komunitas mereka, sehingga lebih dekat lebih relate dengan mereka,” kata Kunto.
“Jadi daripada joget-joget TikTok, menurut saya sekarang lebih efektif live tanya jawab dan kemudian anak-anak muda itu berinteraksi yang genuine, yang asli, tidak dibuat-buat,” tuturnya.
Terkait anggapan bahwa media sosial mampu mengeruk suara pemilih muda, Direktur Eksekutif Parameter Politik, Adi Prayitno tidak menampik anggapan tersebut. Namun, dia mengingatkan bahwa kampanye di medsos hanya sebagai ajang sosialisasi atau memperkenalkan diri Capres atau Cawapres.
BACA JUGA:
“Semua yang dilakukan Capres dan Cawapres adalah upaya cocok tanam politik. Ini adalah ikhtiar supaya mendapat dukungan politik menuju Pilpres 2024. Jadi semua dilakukan, kampanye di media sosial, di media mainstream, termasuk kampanye-kampanye darat seperti door-to-door, marketing politik yang bertemu masyarakat langsung,” Adi menjelaskan.
“Medsos jadi lading cocok tanam, ada keyakinan kampanye di medsos memunculkan kemungkinan memenangkan pertarungan. Padahal tidak sesederhana itu, medsos merupakan ajang sosialisasi ajang memperkenalkan diri, tapi engagement-nya untuk memilih calon rata-rata rendah secara umum,” tegasnya.