Bagikan:

JAKARTA – Mantan Gubernur Papua Lukas Enembe meninggal dunia pada Selasa (26/12/2023) di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Jenazah mantan Gubernur Papua yang sedang menjalani sidang kasus korupsi itu, dimakamkan di Jayapura dua hari kemudian.

Meninggalnya Lukas Enembe menjadi perhatian publik, karena ia wafat sebagai terpidana kasus korupsi. Seperti yang diketahui, Lukas Enembe tengah menjalani persidangan di Jakarta untuk kasus korupsi yang menjeratnya.

Kondisi kesehatan eks Gubernur Papua itu terus menurun selama masa persidangan dan dia dirawat di rumah sakit.

Terdakwa kasus dugaan suap dan penerimaan gratifikasi Lukas Enembe menyapa pendukunggnya usai menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (19/10/2023). (Antara/ Fakhri Hermansyah/tom)

Belum lama ini, Lukas Enembe divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Komisi pemberatasan Korupsi (KPK) juga menjerat Lukas Enembe sebagai tersangka perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Perkara Pidana Gugur

Publik kemudian bertanya-tanya bagaimana kasus korupsi yang melibatkan Lukas Enembe setelah ia meninggal dunia? Apakah kasusnya dihentikan begitu saja?

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan hukuman pidana penjara 10 tahun dan denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan empat bulan atas kasus korupsi yang menjerat Lukas Enembe. Mantan Gubernur Papua itu juga diharuskan membayar uang pengganti Rp47,8 miliar atas kerugian negara yang ditimbulkan.

Tapi semua hukuman pidana yang dijatuhkan kepada Lukas Enembe gugur setelah ia meninggal dunia pada 26 Desember 2023. Hal ini diungkap pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.

Sebelum tersangkut kasus korupsi, Lukas Enembe dijadikan nama stadion tempat penyelenggaraan PON XXI 2021 Papua. Semula stadion ini bernama Papua Bangkit. (Istimewa)

Fickar menyampaikan, pertanggungjawaban pidana seorang terdakwa kasus dugaan korupsi gugur setelah ia meninggal dunia. Ini karena perkara dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Lukas Enembe belum berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

"Dengan meninggalnya seseorang, 'in casu' Lukas Enembe, maka semua tuntutan pidana terhadapnya hapus dengan sendirinya, termasuk tuntutan pidana mengembalikan uang hasil korupsi," ungkap Fickar, seperti dikutip Kompas.

Penolakan pemberian nama Stadion Lukas Enembe menggantikan Stadion Papua Bangkit oleh Dewan Adat Suku Sentani pada 2020. (Youtefa Post)

Senada dengan Fickar, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman juga menegaskan bahwa perkara pidana Lukas Enembe dihentikan. Mekanisme soal gugurnya pertanggungjawaban pidana telah diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP).

“Untuk perkara pidananya, berdasarkan ketentuan KUHP pasal 77 maupun 85, karena beliau meninggal maka dihentikan penuntutan maupun tidak bisa diterapkan hukumannya atau tidak ada kewenangan menjalankan pidana,” kata Boyamin kepada VOI.

Tuntutan Perdata

Meski perkara pidana Lukas Enembe dihentikan karena meninggal dunia, negara masih dapat melakukan tuntutan berupa ganti rugi terhadap tersangka maupun terdakwa yang telah meninggal dunia.

Ganti rugi kerugian negara itu bisa dilakukan dengan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri. Boyamin menegaskan tuntutan ganti rugi secara perdata ini sesuai dengan Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.

“Terhadap tersangka maupun terdakwa yang meninggal dunia, maka dapat diajukan gugatan perdata untuk mengganti kerugian, jika ditemukan uang negara di dalamnya,” tegas Boyamin.

Namun menurut Fickar, pembuktian tindakan terdakwa yang telah meninggal dunia soal menimbulkan kerugian bagi negara bukan perkara mudah.

Polisi berdiri di depan karangan bunga duka dari mantan Gubernur Papua, Lukas Enembe di Rumah Duka Sentosa, RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Selasa (26/12/2023). (Antara/M Risyal Hidayat/foc/aa)

Karena untuk menuntut hal ini, negara harus bisa membuktikan secara langsung adanya aset negara yang telah diambil dan dibaliknamakan atas nama terdakwa maupun keluarganya.

"Pertanggungjawaban pidana itu bersifat pribadi, tanggung jawabnya tidak bisa beralih atau diwariskan pada kekuarganya. Karena itu, jika negara menghendaki aset hasil korupsi yang dikuasai ahli warisnya menjadi tidak mudah," kata Fickar.

"Sulit membuktikan langsung bahwa adanya aset hasil dari perbuatan pidana korupsi karena tidak lagi dapat dibuktikan jika terdakwa atau pelakunya sudah meninggal sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum pasti," ucap dia.

Mengembalikan Aset yang Diblokir

Selain itu, Fickar mengatakan KPK juga harus mengembalikan aset-aset yang disita dan diblokir dari Lukas Enembe, karena tanggung jawab pidananya gugur setelah meninggal dunia.

KPK telah memblokir rekening berisi Rp76,2 miliar yang terkait kasus Lukas. Lembaga antikorupsi ini juga telah menyita aset dan uang Lukas Enembe senilai lebih dari Rp144,5 miliar.

"Semua aset yang telah disita oleh penegak hukum, termasuk oleh KPK harus dikembalikan kepada keluarga atau ahli warisnya," kata Fickar.

Kompleks rumah milik Lukas Enembe yang mewah, megah, dan sangat luas di distrik Koya Tengah, Jayapura. (Google Earth)

"KPK bisa menggugat secara perdata, tetapi yang penting, sebelum ada putusan pengadilan yang tetap bahwa aset itu milik negara, harus dikembalikan dahulu pada keluarga atau ahli warisnya," jelas dia.

Dihubungi terpisah, pengamat politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah berharap KPK tidak begitu saja menghentikan seluruh kasus yang menjerat politikus Partai Demokrat ini. Menurut Dedi, mustahil dalam kasus korupsi hanya melibatkan satu orang saja.

“Menghentikan kasus terhadap Lukas Enembe sudah benar, karena sudah sesuai dengan undang-undang. Tetapi, kalau berhenti yang dimaksud adalah berhenti secara total, tidak dilanjutkan kepada pihak-pihak yang memungkinkan memiliki korelasi dan semacamnya, ini keliru,” tutur Dedi saat dihubungi VOI.

“KPK seharusnya bukan menghentikan kasus Lukas Enembe, tapi menghentikan proses terhadap Luka Enembe, kalau kasusnya sendiri tidak bisa dihentikan karena tidak mungkin kasus rasuah dijalankan oleh satu orang,” ujar Dedi menambahkan.