Bagikan:

JAKARTA - Polusi udara di DKI Jakarta kembali menjadi sorotan banyak kalangan. Mulai dari masyarakat biasa sampai para selebritas Tanah Air tak mau ketinggalan menanggapi isu ini. Udara di ibu kota diklaim beracun sehingga bisa mengancam kesehatan jika dihirup manusia. Sejak Juni lalu, Jakarta beberapa kali menduduki peringkat pertama sebagai kota dengan polusi udara terburuk di dunia berdasarkan data IQAir.

Menurut data situs IQAir pada Sabtu (12/98/2023) pukul 7:30 WIB, Jakarta menempati peringkat ketiga kota di Indonesia dengan kualitas udara terburuk. Kualitas udara di Jakarta mencapai 181 AQI (Indeks Kualitas Udara). Angka tersebut naik dibandingkan sehari sebelumnya, 158 AQI.  Di angka itu, maka kualitas udara di Jakarta dikatakan tidak sehat. Kualitas udara dikategorikan baik dan tidak menimbulkan risiko kesehatan berada pada AQI 0 sampai AQI 50.

“Polusi Jakarta yang bertahun-tahun punya AQI rata-rata di atas 170 dan berstatus “berbahaya untuk kesehatan” tapi tetap tidak ada yang bahas/gerak. Di beberapa negara, capai AQI 150 itu sudah jadi headline berita dengan warning heboh jangan keluar rumah, tutup jendela, pakai masker, pasang purifier (pembersih udara),” kata chef Renata Moeloek di akun X, platform yang sebelumnya bernama Twitter.

Apa yang dikeluhkan Renata Moeloek mewakili perasaan seluruh warga, utamanya yang tinggal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro mengatakan polusi udara yang terjadi di DKI Jakarta dan wilayah sekitarnya disebabkan beberapa faktor, salah satunya udara kering.isfeksi

“Kalau dari siklus, bulan Juni, Juli, Agustus itu selalu terjadi peningkatan pencemaran di Jakarta karena dipengaruhi oleh udara dari timur yang kering,” ucap Sigit dalam konferensi pers.

Jakarta Kota Paling Berpolusi Kedua di Dunia

Berdasarkan data IQAir di waktu yang sama, Jakarta menempati peringkat kedua kota dengan polusi terburuk di dunia. Ibu Kota hanya kalah dari Dubai, Uni Emirat Arab yang berada di urutan teratas. Hal-hal yang menyebabkan polusi udara di Jakarta dan kawasan sekitarnya menggila sebenarnya sudah diketahui masyarakat umumnya. Isu pencemaran udara ini sudah menjadi pembahasan sejak bertahun-tahun, tapi sepertinya jawaban-jawaban terkait pengendalian polusi ini, sengaja atau tidak, diabaikan oleh kita, mulai dari rakyat biasa sampai tingkat atas, yaitu pemerintah.

Menurut Dita Farida, Climate Impact Associate dari Yayasan Indonesia Cerah menduga kawasan industri yang berada di daerah-daerah sekitar ibu kota turut berkontribusi terhadap pencemaran udara. Polusi udara yang timbul dari PLTU yang terletak di daerah-daerah seperti Jawa Barat dan Banten terbawa dan melintas perbatasan daerah atau dikenal dengan istilah transboundary air pollution.

“Di Jawa Barat banyak kawasan pabrik, seperti Karawang. Lalu di Banten, di Suralaya ada PLTU. Ada pembakaran batu bara. Itu sampai ke sini polusi udaranya,” kata Diya pada Juni lalu.

Kenyataan bahwa PLTU turut berperan dalam menggilanya polusi Jakarta sungguh sangat disayangkan. Pasalnya, pemerintah tampak tak bisa berbuat banyak menanggulangi masalah ini. Pada 16 September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan empat pihak yang digugat oleh Tim Advokasi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota) telah melakukan perbuatan melawan hukum berkaitan dengan penanganan polusi udara. Hal tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 17 Oktober 2022.

Dalam hal ini, yang termasuk para tergugat adalah Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Gubernur DKI Jakarta. Selain itu, tergugat mencakup Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat. Tapi sampai sekarang, Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) justru melayangkan kasasi terhadap gugatan tersebut pada tahap awal Januari 2023.

Dugaan bahwa Jokowi menganggap enteng masalah polusi udara ini diperkuat dengan ucapan sang presiden beberapa waktu lalu. Beliau mengatakan salah satu solusi mengatasi polusi di DKI Jakarta adalah dengan menggeser beban tersebut ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Pernyataan Jokowi tentang solusi polusi udara di Jakarta mendapat respons dari kalangan penggerak lingkungan, salah satunya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Transportasi publik bertenaga listrik bisa menjadi solusi mengurangi polusi. (Antara)

“Kami menyayangkan pernyataan dangkal yang berusaha menyederhanakan masalah itu keluar dari seorang presiden yang pernah menjadi Gubernur Jakarta,” kata Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitriah Tanjung. 

Selain sektor industri, masalah polusi di Jakarta dan sekitarnya juga disebabkan oleh tingginya transportasi. Kendaraan berbahan bakar minyak tidak ramah lingkungan, seperti motor dan mobil, menjadi kontributor terbesar terhadap polusi udara. Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Sigit Reliantoro merinci sektor-sektor yang menymbang polusi di Jakarta. Menurut kajian yang dilakukan oleh pihaknya, transportasi menyumbang emisi sekitar 44 persen, industri 31 persen, industri energi manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen dan komersal 1 persen.

Beralih dari kendaraan konvensional berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik disebut menjadi hal yang esensial bagi penduduk di Jakarta. Tak hanya itu, masyarakat juga diharapkan mau beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum. Sebagai upaya mengurangi pencemaran, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan pengadaan 100 unit bus listrik yang dioperasikan PT TransJakarta.

Berdasarkan penelitian sebuah lembaga swadaya masyarakat atau non-govermental organization (NGO), Jakarta menargetkan 60 persen pengguna kendaraan konvensional beralih ke kendaraan listrik pada 2030. Hal ini diharapkan dapat mereduksi 2,3 ton gas rumah kaca di Jakarta. Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Syafrin Liputo.

“Artinya, kita akan bisa melakukan penghematan atau pengurangan upaya 45 persen dari polusi udara di Jakarta. Oleh sebab itu, kesadaran masyarakat menjadi penting untuk kita sama-sama beralih dari kendaraan pribadi ke layanan angkutan umum,” tutur Syafrin, dikutip Antara.

Ancaman Kesehatan Akibat Polusi yang Menggila

Polusi udara sudah menjadi isu yang memperihatinkan. Dari tahun ke tahun, bukannya membaik, kondisi udara, utamanya di Jakarta makin mengerikan. Kesehatan penduduk pun dalam ancaman. Dinkes DKI Jakarta menyebut sekitar 100 ribu warga di Ibu Kota mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) setiap bulan karena peralihan cuaca. Berdasarkan data, terdapat peningkatan kasus dari 99.130 di bulan Mei 2023 menjadi 102.475 kasus di bulan uni.

“Warga yang terkena batuk, pilek, bahkan pneumonia setiap bulan rata-rata 100.000 kasus dari 11 juta penduduk,” kata Kepala Seksi Surveilans, Epidemiologi, dan Imunisasi Dinas Kesehatan DKI Jakarta Ngabila Salama, dilansir Antara.

Bahkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan polusi udara membunuh sekitar tujuh juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Data WHO menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang menghirup udara yang mengandung polutan tingkat tinggi.

Transportasi publik bertenaga listrik bisa menjadi solusi mengurangi polusi. (Antara)

“Dari kabut asap yang menyelimuti kota hingga asap di dalam rumah, polusi udara merupakan ancaman besar bagi kesehatan dan iklim. Efek gabungan dari polusi udara ambien (luar ruangan) dan rumah tangga menyebabkan sekitar tujuh juta kematian dini setiap tahun, sebagian besar akibat dari peningkatan kematian akibat stroke, penyakit jantung, penyakit paru obstruktif kronis, kanker paru-paru, dan ISPA,” demikian dilansir laman resmi WHO.

Di tengah ancaman berbagai penyakit akibat polusi udara di Jakarta dan sekitarnya, Kadis Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menyerukan agar warga menerapkan sejumlah langkah proteksi. Salah satunya adalah warga diimbau menggunakan masker untuk menekan risiko infeksi karena polusi.

“Lakukan upaya-upata preventif untuk mencegah atau mengurangi dampak itu bagi individu warga Jakarta. Misalnya menggunakan masker, mengurangi aktivitas di luar dan sebagainya karena pencegahan harus dilakukan sedini mungkin dan dari diri sendiri,” Asep menjelaskan.