Ketika Nilai Luhur Pendidikan Dihancurkan Nafsu dan Kecurangan dalam Sistem Zonasi PPDB
Lima solusi yang diberikan Kemendikbudristek dalam Penerimaan Peserta Didik Baru. (Antara/Asep Fathulrahman)

Bagikan:

JAKARTA - Wacana penghapusan sistem zonasi dalam pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun depan mulai ramai dibahas. Alasannya tidak lain karena banyaknya dugaan kecurangan dalam PPDB sistem zonasi yang banyak dilakukan para wali murid.

Sejak 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan zonasi dalam sistem penerimaan PPDB. Pemerintah memberlakukan sistem zonasi dengan harapan dapat melakukan reformasi sekolah secara menyeluruh. Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) saat itu, Muhadjir Effendy, zonasi merupakan salah satu strategi percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas.

Kebijakan tersebut mengubah kategori atau persyaratan penerimaan calon peserta didik di sekolah negeri. Dari awalnya menggunakan nilai Ujian Nasional (UN) menjadi jarak rumah ke sekolah. Sistem zonasi ini pada dasarnya mencontoh kesuksesan PPDB di negara-negara Eropa atau Skandinavia.

Presiden RI Joko Widodo saat ditemui usai meninjau Stasiun LRT Jatimulya, Bekasi, Jawa Barat. (Antara)

Dilansir laman Kemendikbud, kebijakan zonasi diambil sebagai respons atas terjadinya “kasta” dalam sistem pendidikan di Indonesia karena sebelumnya, penerimaan peserta didik baru dilakukan dengan seleksi kualitas calon siswa.

“Tidak boleh ada favoritisme. Pola pikir kastanisasi dan favoritisme dalam pendidikan semacam itu harus kita ubah. Seleksi dalam zonasi dibolehkan hanya untuk penempatan (placement),” kata Muhadjir menambahkan.

Kuota Terus Direduksi

Sistem zonasi dalam PPDB sebenarnya memiliki niat mulia untuk pemerataan pendidikan di seluruh Tanah Air. Tidak ada lagi favoritisme karena sesungguhnya semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak sesuai amanat pada pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sayangnya, kuota zonasi sendiri terus direduksi dari tahun ke tahun. Dari kuota 90 persen pada 2017, angka tersebut terus berkurang menjadi 80 persen pada 2018 dan hanya tinggal 50 persen pada 2019. Sementara pada tahun ajaran 2023/2024, kuota yang ditetapkan setiap sekolah dalam menerima calon peserta didik baru disesuaikan dengan daya tampung sekolah.

Jalur zonasi di tingkat SD memiliki kuota paling sedikit 70 persen dari daya tampung sekolah. Sementara untuk tingkat SMP dan SMA, kuota jalur zonasi paling sedikit 50 persen dari daya tampung sekolah. Sisa kuota kemudian diberikan untuk jalur prestasi akademik dan non-akademik. Meski menuai menuai pro dan kontra, sistem zonasi dalam PPDB sempat berjalan lancar sejak diluncurkannya pada 2017, sampai akhirnya praktik-praktik kecurangan terjadi.

llustrasi anak SD. (Unsplash/Syahrul Alamsyah Wahid)

Label sekolah favorit atau unggulan dalam pendidikan sepertinya masih sangat sulit dihapuskan, bahkan ketika sistem zonasi diberlakukan. Hal ini diyakini melatarbelakangi terjadinya praktik kecurangan. Ada saja pihak-pihak yang menabrak nilai kejujuran dan integritas demi mengejar sekolah favorit. Modusnya adalah dengan pemalsuan Kartu Keluarga (KK) atau Surat Keterangan Domisili (SKD). Keduanya mendadak jadi surat sakti agar seolah-olah calon siswa dekat dengan sekolah favorit.

Sengkarut PPDB zonasi kembali menyita perhatian negeri di tahun ajaran 2023-2024 ini. Bulan lalu, Dinas Pendidikan Kota Bogor mendiskualifikasi 208 pendaftar PPDB jalur zonasi tingkat SMPN karena diduga melakukan pemalsuan data kependudukan serta mengubah alamat dalam Kartu Keluarga (KK). Dinas Pendidikan Kota Bogor sebelumnya menemukan 297 pendaftar PPDB zonasi yang diduga bermasalah. Setelah diverifikasi sebanyak 89 di antaranya mengalami kesalahan teknik, sementara sisanya ketahuan memalsukan data.

“208 siswa yang didiskualifikasi ini mayoritas data kependudukan yang didaftarkan dalam sistem PPDB tidak sesuai dengan data di lapangan,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Bogor Sujatmiko Baliarto.

Kunci Keberhasilan Jalur Zonasi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan apakah akan melanjutkan atau menghapus sistem zonasi dalam pelaksaan PPDB tahun depan. Hal ini dilakukan buntut dari sengkarut sistem baru tersebut dalam tujuh tahun ke belakang.

“Sedang dipertimbangkan. Akan dicek secara mendalam dulu plus minusnya,” kata Jokowi ketika ditemui seusai menjajal kereta ringan atau LRT Jabodebek di Stasiun Dukuh Atas, Kamis (10/8/2023), dikutip Antara.

Sebelumnya, wacana mempertimbangkan untuk menghapus sistem zonasi PPDB tahun depan diungkapkan Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani. Dia mengatakan kebijakan zonasi PPDB telah menyimpang dari tujuan awal. Alih-alih pemerataan sekolah unggulan, sistem zonasi justru menimbulkan masalah hampir di seluruh Tanah Air.

Namun, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menila sistem zonasi lebih bagus dibandingkan sistem lama yang telah melahirkan banyak masalah, seperti pemalsuan nilai sampai jual beli kursi. Pemberlakuan sistem zonasi memiliki semangat perbaikan, terutama untuk menghapus fenomena “kastanisasi” di sekolah negeri, menurut Muhadjir.

Sementara itu, Ketua Dinas Pendidikan Kota Bogor Sujatmiko Baliarto menegaskan pentingnya evaluasi terkait sistem zonasi PPDB yang sudah berlangsung selama tujuh tahun ini. Salah satu yang perlu ditinjau lagi adalah soal praktik menitipkan calon siswa ke dalam Kartu Keluarga yang alamatnya dekat dengan sekolah negeri unggulan atau favorit menurut orang tua.

Ilustrasi anak-anak sekolah. (Antara)

Masalahnya, aksi nimbrung di KK orang lain ini secara tidak langsung dibolehkan dalam Pasal 17 Ayat 2 Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPDB. Dalam aturan tersebut dijelaskan bahwa domisili calon peserta didik berdasarkan alamat pada kartu keluarga yang diterbitkan paling singkat satu tahun sebelum pendaftaran PPDB. Diungkapkan Sujatmiko, Permendikbud tersebut justru menjadi celah menjamurnya penduduk “musiman” saat PPDB.

“Peraturan Permendikbud tersebut menjadi tidak tepat sasaran, karena melahirkan penduduk musiman yang terjadi saat PPDB. Mungkin sebaiknya dievaluasi lagi sehingga tidak ada peluang yang pindah mendadak untuk mengakali aturan ini,” kata Sujatmiko kepada VOI.

Lebih lanjut Sujatmiko berharap pemerintah melakukan pemerataan kualitas di sektor pendidikan, mulai dari infrastruktur hingga kualitas pengajar secara bertahap agar ke depannya lebih baik. Hal ini juga diungkapkan Pengamat Kebijakan Pendidikan Cecep Darmawan.

Menurutnya, kecurangan dalam PPDB merupakan buntut dari persoalan disparitas kualitas sekolah di berbagai daerah. Banyak orang yang ingin anak mereka masuk ke sekolah dengan kualitas bagus sehingga melakukan praktik kecurangan.

"Jika standar semua sekolah sama, fasilitas gedung sama, luas sekolah sama, kualitas guru sama, tentu masyarakat dengan senang hati mengikuti sistem zonasi. Kalau semua sudah sama kualitasnya, kenapa dia pilih sekolah jauh-jauh? Pasti memilih yang dekat. Terus juga kalau bisa jangan menghilangkan yang fovorit. Biarkan saja sekolah yang awalnya favorit tetap favorit. Tetapi yang lain juga ikut jadi favorit. Sekolah lain harus diperbaiki kualitasnya supaya standar favoritnya sama dengan sekolah bagus itu,” ujar Cecep.

PPDB dengan sistem zonasi sebenarnya memiliki tujuan mulia, sebagai upaya percepatan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh negeri. Namun, ketika sebuah sistem justru menimbulkan celah untuk seseorang melakukan praktik kecurangan, tidak ada salahnya kembali dievaluasi kelebihan dan kekurangannya. Apalagi, ketika kecurangan-kecurangan tersebut terjadi di dunia pendidikan, yang seharusnya menanamkan kejujuran.

Terkait