Dari Kasus Miss Universe Indonesia: Stop Jadikan Perempuan Objek Seksual!
Dua kontestan Miss Universe Indonesia, Priskilla Jelita (kiri) dan Ratih Widiartha, melapor ke polisi karena dugaan pelecehan seksual. (VOI/Ivan Two Putra)

Bagikan:

JAKARTA - Ajang Miss Universe Indonesia (MUID) 2023 sedang menjadi perbincangan di Tanah Air, namun dengan alasan yang salah. Bukannya membahas prestasi dari peserta MUID, justru adanya dugaan kasus pelecehan seksual yang menarik atensi masyarakat luas.

Miss Universe Indonesia melakoni debutnya tahun ini dengan Fabienne Nicole Groeneveld dinobatkan sebagai pemenang edisi perdana yang digelar di Beach City International Stadium (BCIS), Ancol, pada Kamis (3/8/2023). Wakil Provinsi DKI Jakarta itu sukses menyisihkan 29 finalis lain dari Indonesia untuk mengenakan mahkota yang diidam-idamkan, mungkin, sebagian besar perempuan di Tanah Air.

Fabiene Nicole Groeneveld, pemenang kontes kecantikan Miss Universe Indonesia 2023. (Pageant Empires))

Namun sayang, keberhasilan Fabianne tercoreng oleh kabar tidak sedap. Tak lama setelah dia resmi menyandang status Miss Universe Indonesia 2023, sebanyak 10 finalis malah melaporkan kontes kecantikan tersebut ke polisi. Hal tersebut dilakukan karena adanya dugaan pelecehan seksual saat mereka mengikuti kontes kecantikan Miss Universe Indonesia. Disebutkan bahwa sejumlah kontestan dipaksa membuka busana dan difoto saat melakukan body checking yang dianggap sebenarnya tidak diperlukan sehingga dikhawatirkan tersebar.

“Kontes kecantikan yang seharusnya meninggikan value wanita malah menjadikan mereka sebagai objek. Kami berharap kasus ini mendapat keadilan untuk para kontestan dan yang melakukan harus dihukum,” ucap Melissa Anggraini, pengacara dua peserta Miss Universe Indonesia 2023 yang melakukan pelaporan, Priskilla Jelita dan Ratih Widiartha.

Akibat Budaya Patriarki Kuat

Apa yang dialami kontestan Miss Universe Indonesia 2023 sangat memprihatinkan. Apalagi ini terjadi di kontes kecantikan bertaraf internasional, yang seharusnya tidak menjadikan perempuan sebagai objek seksual.

Masalahnya, kasus kekerasan seksual ini sudah sangat sering terjadi. Mulai di transportasi publik, tempat kerja, sekolah, kampus, bahkan di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama. Ini memunculkan gambaran bahwa tidak ada tempat yang aman bagi perempuan.

Pelecehan seksual merupakan masalah serius yang dapat terjadi di berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam lingkungan internasional seperti Miss Universe Indonesia. Penyebab perempuan lebih sering menjadi korban pelecehan seksual memiliki akar yang kompleks dan melibatkan faktor-faktor sosial, budaya, psikologis, dan struktural.

“Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal ini antara lain karena budaya patriarki masih sangat kuat di banyak masyarakat, beberapa norma sosial yang ada dalam masyarakat dapat mengganggu seksual serta ketidakpahaman tentang hak-hak perempuan,” kata psikolog Kasandra Putranto kepada VOI.

Sementara itu, Andy Yentriyani, komisioner Komnas Perempuan, mengatakan tingginya angka pelecehan suksual terhadap perempuan salah satunya karena anggapan bahwa perempuan sebagai objek masih menjadi hal yang umum.

Kuasa Hukum Mellisa Anggraini (depan) memberi keterang kepada media terkait kasus foto bugil di kontes kecantikan Miss Universe Indonesia saat mendatangi Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (7/8/2023). (Antara/Ilham Kausar/aa)

“Analisis cepatnya, konteks masyarakat bahwa perempuan sebagai objek seksual masih besar. Di media massa, iklan, film, produk bahkan percakapan sehari-hari menempatkan perempuan sebagai objek sehingga pelecehan seksual terhadap perempuan masih tinggi,” ujar Andy kepada VOI.

Selain itu, perempuan juga seringkali merasa malu melaporkan tindakan pelecehan karena kurangnya dukungan di lingkungan sekitar. Korban pelecahan malah seringkali ikut disalahkan atas terjadinya tindakan pelecehan oleh laki-laki atau victim blaming.

“Dengan support system yang bagus, maka korban tidak malu untuk melaporkan tindakan pelecehan. Untuk itu, aksesnya harus disediakan, harus ada pemahaman yang baik terkait pelecehan. Kita juga harus menjadi support system sehingga korban tidak malu melaporkan pelecehan yang dialami,” kata Andy melanjutkan.

Terkait kasus pelecehan yang sedang ramai sekarang ini, body checking disebut masuk penilaian standar dan lumrah dilakukan di dalam sebuah kontes kecantikan atau beauty pageant, menurut Mukie Muza pendiri komunitas Indonesia Pageant (IP). Pengecekan tubuh dilakukan dengan tujuan untuk melihat proporsi tubuh, kesehatan kulit, serta kebugaran peserta. Namun, prosedur tersebut merupakan bagian dari babak wawancara atau penjurian jelang final (preliminary) di atas pentas dan dilakukan d tempat terbuka di hadapan banyak juri serta disaksikan penonton.

Body checking dalam kondisi telanjang juga disebutkan Mukie tidak lazim. Menurutnya, saat proses pengecekan tubuh kontestan biasanya menggunakan busana renang atau sports wear.

Stres Pasca Pelecehan Seksual 

Seseorang seringkali bungkam saat dia menjadi korban pelecehan seksual. Banyak alasan yang membuat korban bergeming, salah satunya adalah ancaman dari si pelaku. Namun selain itu, korban juga memilih bungkam karena merasa malu, khawatir dikucilkan, belum lagi adanya victim blaming atau menyalahkan korban pelecehan seksual.

Padahal korban pelecehan seksual berpotensi mengalami trauma. Hal inilah yang dialami Ratih Widiartha dan Priskilla, dua finalis Miss Universe Indonesia yang melaporkan penyelenggara ke polisi karena dugaan pelecehan seksual saat melakukan body checking atau pemeriksaan tubuh.

“Di sana saya langsung menutup bagian buah dada saya. Lalu saya dibentak dan dimarahi kalau saya sangat tidak bangga pada tubuh sendiri, gimana kalau nanti saya dikirim ke kompetisi internasional yang pasti akan dilihat telanjang oleh semua orang,” tutur Priskilla. "Di situ saya agak tertekan, tapi saya juga tak bisa berbuat apa-apa karena takut itu sebagai salah satu penilaian,” sambungnya.

Perasaan trauma juga dialami Ratih. Dia bahkan sampai sulit tidur setelah mengalami pelecehan seksual di kontes kecantikan.

“Saya disuruh angkat kaki saya satu ke kursi untuk dilihat bagaimana, bagian bawah privasi saya bagaimana, lalu saya disuruh berputar badan, di situ saya terganggu. Sampai sekarang saya masih overthinking, susah tidur karena mental saya kepikiran bagaimana mereka melakukan body shaming,” tutur Ratih.

Penyanyi asal Amerika Serikat Taylor Swift juga pernah mengalami pelecehan seksual. (Antara/Instagram/Taylor Swift)

Kasus pelecehan di dunia hiburan bukan sekali ini terjadi. Di Amerika Serikat, penyanyi Taylor Swift bercerita pernah dilecehkan oleh seorang DJ Radio, David Mueller. Penyanyi 33 tahun itu merasa bagian bokongnya diraba dan diremas saat tengah berfoto bersama pada 2013.

Swift kemudian melaporkan hal tersebut dan dia memenangkan kasus melalui sidang di Pengadilan Distrik Amerika Serikat untuk Distrik Colorado pada Agustus 2017. Juri mendukung Swift dan memerintahkan Mueller untuk membayar ganti rugi simbolis 1 dolar AS.

Selain itu ada pula Demi Lovato, Lady Gaga, dan Kim Kardashian juga mengaku pernah mengalami pelecehan seksual. Belum lagi Jennifer Lawrence yang mengalami pelecehan justru oleh salah satu produsernya ketika sedang melakukan casting film. Namun, kebanyakan korban pelecehan memilih tidak melaporkan kasus tersebut.

Apa yang dialami Ratih adalah merupakan salah satu dampak psikis korban pelecahan seksual.

“Beberapa dampak psikologis yang umum terjadi termasuk yaitu Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD), depresi, kecemasan dan ketakutan, rendahnya percaya diri dan harga diri, menarik diri dari lingkungan, gangguan makan, gangguan tidur, dan emosi negatif yang sulit untuk dikontrol,” kata Kasandra melanjutkan.