Mengurus ODGJ Terlantar Tak Bisa Sembarangan, Meskipun Itu Aksi Mulia
Pratiwi Noviyanthy, mantan pramugari yang dikenal sebagai pegiat aksi sosial dengan aktivitasnya merawat ODGJ lewat Yayasan Rumah Peduli Kemanusiaan yang dibentuknya . (Instagram/@pratiwi_novianthy)

Bagikan:

JAKARTA - Sebuah video yang menunjukkan Dinas Sosial Kota Tangerang mengambil paksa bayi-bayi yang tengah diasuh oleh selebgram Pratiwi Noviyanthi langsung viral. Warga net pun geram dengan kelakuan Dinsos Kota Tangerang yang tiba-tiba mengusik Pratiwi padahal dia sudah dengan senang hati mengurusi bayi yang lahir dari Orang Dengan Gangguan Jiwa atau ODGJ yang terlantar.

Ini bermula ketika Pratiwi Noviyanthi, yang merupakan mantan pramugari, menggunggah video ketika bayi-bayi yang berada di Yayasan Rumah Peduli miliknya di Cipondoh, Kota Tangerang, dijemput oleh petugas.

Perempuan kelahiran 1994 ini mulai serius nyemplung ke dunia sosial pasca mengundurkan diri sebagai pramugari saat pandemi COVID-19 setelah delapan tahun bekerja. Dilansir sejumlah sumber, dia awalnya adalah donatur di sebuah yayasan yang menangani ODGJ.

“Pernah aku yakin bahwa kemanusiaan hanya sebuah kebohongan. Tapi saat hati nurani tergerak melhat insan di setiap sudut kota aku yakin sekali kemanusiaan bukan lagi kebohongan. Kemanusiaan itu ada, dan perlu langkah nyata,” ucap Pratiwi Noviyanthi di web pribadinya.

Balita di Yayasan Peduli Kemanusiaan Tangerang yang dikelola Pratiwi Noviyanthi. (Tangkapan Layar)

Namun, perjalanan Pratiwi membantu ODGJ tidak selalu mulus. Dia pernah dilaporkan ke polisi oleh keluarga anak yang dirantai di Bekasi pada Agustus tahun lalu. Setahun berselang, Pratiwi kembali berurusan dengan polisi setelah Kementerian Sosial (Kemensos) dan Bareskrim Polri membawa bayi-bayi dari ODGJ yang dia asuh di yayasan miliknya, Yayasan Rumah Peduli Kemanusiaan, pekan lalu

Kepala Dinsos Kota Tangerang Mulyani membantah telah melakukan penjemputan paksa terhadap bayi-bayi tersebut. Dia berdalih pihaknya hanya mendampingi Kemensos karena lokasi penjemputan bayi berada di wilayah Kota Tangerang. Kemunculan Kemensos membawa bayi tersebut karena yayasan milik sang mantan pramugari tersebut belum memiliki izin. 

Mulyani mengatakan sejauh ini Dinsos Kota Tangerang belum pernah menerima surat-surat pengajuan yayasan dari yang bersangkutan. Padahal menurutnya, aksi kepedulian sosial harus dibarengi dengan pengurusan pemberkasan secara legal, jelas, dan lengkap.

“Hal itu sebagai bentuk perlindungan hak-hak anak yang diurus atau diadopsi, terlebih untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan yang tidak sesuai,” Mulyani menegaskan.

Tak Perlu Reaksi Berlebihan

Tanpa bermaksud mengecilkan apa yang telah dilakukan Pratiwi mengurus bayi-bayi yang lahir dari ODGJ, apa yang dilakukan Kementerian Sosial (Kemensos) sebenarnya tidak 100 persen salah. Seperti yang diungkapkan Mulyani, hal ini untuk menghindari kemungkinan tindakan penyimpangan terhadap bayi-bayi yang diasuh.

Publik mungkin kesal dengan apa yang dilakukan Kemensos dan Bareskrim yang membawa 10 bayi dari yayasan tersebut, tapi jangan lupa juga bahwa bayi-bayi tersebut berhak memiliki perlindungan hukum, salah satunya adalah berupa akta kelahiran.

Seperti yang kita ketahui, setiap bayi yang baru lahir wajib mengurus akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat. Kepemilikan akta kelahiran ini juga merupakan sebuah pemberian jaminan terhadap status hukum anak. Menurut Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menerangkan bahwa: identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.

Selain itu, akta kelahiran juga bisa membantu anak-anak tersebut untuk mendapatkan hak-hak kewarganegaraan mereka yang lain, seperti mendapatkan bantuan pendidikan (beasiswa), KTP elektronik, pekerjaan, jaminan asuransi kesehatan. Kepemilikan akta kelahiran juga penting untuk melindungi anak-anak dari upaya eksploitasi atau trafficking.

“Saya belum tahu (apakah bayi-bayi ini memilik akta lahir). Saat ini masih ditangani Bareskrim Polri,” kata Mulyani melalui pesan singkat kepada VOI.

Menurut Seto Mulyadi atau Kak Seto, pemindahan anak-anak dari ODGJ harus dilakukan tanpa mengesampingkan hak-hak mereka. (Antara/Sumarwoto)

Bayi yang lahir dari ODGJ yang diasuh oleh Pratiwi tentu memiliki hak yang sama untuk mendapatkan akta kelahiran, meski tidak atau diketahui asal usulnya. Hal ini pernah diungkapkan Kepala Seksi Pencatatan Sipil Amirulloh, S.Sos, M.Si.

“Anak yang tidak mengetahui siapa orang tuanya, atau tidak diketahui asal usulnya seperti contohnya anak jalanan, itu juga bisa membuat Akta Kelahiran, dan persyaratannya terkesan sangat mudah,” tutur Amir, dikutip dari Disdukcapil Jember.

Apa yang terjadi di Kota Tangerang, di mana sebanyak 10 bayi dari Yayasan Rumah Peduli Kemanusiaan dibawa Kemensos ke Rumah Sosial Perlindungan Anak (RSPA) Bambu Apus,  juga turut menyita perhatian Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau Kak Seto. Dia mengungkapkan, proses pemindahan anak-anak di yayasan harus dilakukan secara kooperatif dan tanpa melupakan hak anak.

“Yang penting harus melihat sisi kemanusiaan, harus kooperatif. Jika harus dilakukan pengambilan, dilakukan secara bertahap dengan tetap mengedepankan hak anak meskipun yayasan ini tidak berizin,” kata Kak Seto saat dihubungi VOI.

“Harus dilakukan melalui dialog, mungkin ahli perkembangan psikologis anak perlu dilibatkan sehingga ketika anak pindah ke tempat baru jangan sampai mengalami trauma,” kata Kak Seto melanjutkan.

Kak Seto juga mengingatkan pentingnya anak-anak memiliki akta kelahiran sebagai perlindungan hukum.

“Sesuai dengan haknya, anak-anak harus memiliki akta kelahiran, namun sekali lagi kalaupun harus ditertibkan jangan pakai kekerasan,” ujarnya.

ODGJ Masih Menjadi Isu yang Problematik  

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menyebutkan, “Orang Dengan Gangguan Jiwa" yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalam gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dalam menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.”

Dengan segala kompleksitas masalah yang ada, jumlah ODGJ di Indonesia mencapai 500 ribu orang, dengan yang tertinggi berada di Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara Timur (NTT), demikian dikutip dari berbagai sumber.

Sayangnya, sampai 2022 lalu, penanganan warga menghadapi ODGJ bisa dikatakan masih keliru. Kita masih sering menjumpai pemasungan terhadap ODGJ karena sikapnya dianggap mengancam diri sendiri atau orang lain ketika sedang kumat.

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan, sebanyak 4.304 ODGJ di Indonesia diduga dipasung hingga triwulan II 2022. Sementara pada 2021, angkanya mencapai 2.332 orang dan lain halnya pada 2020 yang mencapai 6.452. Ini merupakan angka tertinggi selama empat tahun terakhir, sedangkan pada 2019 angka pemasungan terhadap ODGJ mencapai 4.989.

Rumah yang digunakan sebagai markas Yayasan Rumah Peduli Kemanusiaan yang dikelola Pratiwi Noviyanthi di Karang Tengah, Tangerang. (VOI/Muhamad Jehan)

Menurut undang-undang, pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan penampungan kepada mereka, sebagaimana tertuang dalam Pasal 82 UURI No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menyebutkan bahwa “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan penampungan di fasilitas pelayanan di luar sektor kesehatan bagi ODGJ yang telah sembuh atau terkendali gejalanya yang tidak memiliki keluarga dan/atau terlantar.”

Selain itu, penelitan yang dilakukan The Indnesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada, menunjukkan sebanyak 2,45 juta remaja Indonesia didiagnosis mengalami gangguan jiwa selama 2022. Masalah kesehatan mental ini ditemukan setelah tim peneliti melakukan pengumpulan data sepanjang 2021 dengan mewawancarai 5.664 remaja di Indonesia usia 10-17 tahun.

"Gangguan jiwa yang paling banyak diderita remaja adalah gangguan kecemasan (kombinasi fobia sosial dan gangguan kecemasan umum) sebesar 3,7 persen, diikuti oleh gangguan depresi mayor sebanyak 1,0 persen, gangguan perilaku 0,9 persen, serta PTSD dan ADHD, keduanya 0,5 persen," dikutip dari laman resmi UGM.