Fenomena El Nino Dapat Jadi Kendala Program Pencegahan Stunting
Masyarakat dari Distrik Agandugume dan Distrik Lambewi di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, mengalami kelaparan karena bencana kekeringan sejak Mei hingga Juli 2023. (Humas Kemensos)

Bagikan:

JAKARTA - Fenomena El Nino tengah menyita atensi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Ancaman kekeringan hingga menyebabkan gagal panen ada di depan mata, seperti yang sudah terjadi di Kabupaten Papua Tengah. Badai El Nino menjadi terdengar makin mengerikan karena disebut bisa ikut merusak upaya Indonesia dalam menekan angka stunting.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati telah memberi peringatan mengenai ancaman gagal panen pada lahan pertanian tadah hujan imbas fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang mengakibatkan kekeringan. Menurutnya, situasi ini berpotensi mengganggu ketahanan pangan nasional.

“Pemerintah daerah perlu melakukan aksi mitigasi dan aksi kesiapsiagaan segera. Lahan pertanian berisiko mengalami puso alias gagal panen akibat kekurangan pasokan air saat fase pertumbuhan tanaman,” kata Dwikorita, dikutip dari laman resmi BMKG.

Dilansir BMKG, puncak kemarau kering ini diramalkan akan terjadi pada Agustus sampai awal September. Kondisinya akan jauh lebih kering dibandingkan kemarau tiga tahun terakhir.

Ilustrasi kekeringan yang diperkirakan bakal datang seiring fenomena Super El Nino di Indonesia. (Antara)

Sebagai ujung tombak pertanian, diungkapkan Dwikorita bahwa petani harus memiliki bekal ilmu pengetahuan untuk dapat memahami fenomena cuaca dan iklim beserta perubahannya. Selain itu, beliau juga menegaskan bahwa BMKG akan berupaya membantu petani memahami perubahan iklim dengan harapan petani dan tenaga penyuluh bisa memanfaatkan informasi dan prakiraan cuaca dengan baik serta mampu beradaptasi dengan situai dan iklim kekinian.

“Dengan mengetahui lebih dini, petani dapat melakukan perencanaan mulai dari penyesuaian waktu tanam, penggunaan varietas unggul tahan kekeringan, pengelolaan air, dan sebaiknya,” kata Dwikorita saat pembukaan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Komoditas Buah Jeruk di Balai Desa Bringin Kecamatan Bayan Kabupaten Purworejo, dikutip dari laman BMKG.

Diversifikasi Pangan Jadi Solusi

Kejadian El Nino diyakini akan memiliki dampak luas bagi kehidupan, di antaranya adalah munculnya berbagai penyakit, kekeringan, perubahan suhu, kebakaran hutan, serta gagal panen. Tanpa mengabaikan dampak-dampak lainnya, dampak negatif terakhir dari terjadinya El Nino saat ini cukup meresahkan warga. Bagaimana tidak, ketika ketersediaan pangan terbatas padahal permintaan tinggi, maka bisa mengancam ketahanan pangan.

Namun, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan akan mempersiapkan penggunaan varietas tanaman pangan tahan kekeringan dan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) guna mengantisipasi dampak fenomena El Nino. Pertama adalah dengan menyiapkan lahan pertanian penyangga kurang lebih 500 hektare di berbagai daerah. Selain itu, Syahrul Yasin Limpo juga mengatakan pihaknya akan melakukan penyesuaian varietas tanaman pangan yang lebih tahan kekeringan demi mencegah gagal panen.

“Saat ini kami berkonsentrasi melakukan penyesuaian varietas tanaman yang tahan kekeringan seperti padi varietas genjah yang akan dikembangkan,” tutur Syahrul, dikutip Antara.

Pola konsumsi di Indonesia yang sangat terdominasi beras turut meningkatkan kecemasan terhadap ancaman gagal panen. Padahal ketergantungan yang berlebihan terhadap satu jenis komoditas sangat berbahaya. Sudah bukan lagi rahasia bahwa beras merupakan makanan pokok hampir seluruh masyarakat di Indonesia.

Masalahnya, ketika cuaca di bumi meninggi akibat El Nino yang dapat berujung pada kegagalan panen, bagaimana nasib warga yang menggantungkan urusan perut mereka hanya pada nasi? Di tengah ancaman gagal panen yang mungkin dialami para petani di Indonesia, salah satu yang perlu digalakkan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dengan diversifikasi pangan.

Petani ubi kayu asal Lampung Timur tengah menata hasil panennya. Ubi dapat menjadi pengganti beras sebagai bahan pangan pokok di daerah kering. (Antara/Ruth Intan Sozometa Kanafi).

Diversifikasi pangan adalah upaya untuk mendorong masyarakat agar memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsi sehingga tidak hanya terfokus pada satu jenis saja. Namun menurut Uli Arta Siagian selaku Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional, diversifikasi pangan harus memenuhi beberapa syarat.

“Ketika gagal panen, maka sudah pasti ketersediaan pangan terancam. Cerita gagal panen sebenarnya adalah dampak dari krisis iklim. Tahun ini, El Nino diprediksi berlangsung lama sampai 2024, bahkan disebut Super El Nino karena lebih parah dari sebelumnya,” tutur Uli Arta Siagian ketika berbincang dengan VOI.

“Gagal panen juga muncul karena adalanya generalisasi pangan, contohnya adalah beras. Padahal di banyak wilayah di Indonesia, konsumsi makanan pokoknya beragam, tidak hanya beras. Contohnya adalah di Papua ada ubi, sagu, dan lainnya yang jumlahnya ratusan.”

“Diversifikasi pangan bisa dilakukan untuk mengantisipasi gagal panen, tapi harus memperhatikan dua hal, yaitu cara tradisional masyarakat serta jenis tanaman lokal yang ditanam. Karena percuma jika aktornya diserahkan kepada korporasi atau jenisnya umum tanpa melihat pangan apa yang kembangkan,” lanjut Uli Arta.

“Diversfikasi pangan sebenarnya bukan hal baru. Kata diversifikasi muncul dari ruang akademi, tapi sebetulnya di banyak wilayah, di kampung-kampung mereka melakukan hal yang sama. Mereka punya jenis pangan lain yang ditanam di lahan sendiri, mereka tinggal ambil makanan yang mereka tanam misalnya sayuran. Itulah yang mereka lakukan atau yang kita sebut kedaulatan pangan,” tandasnya.

Ancaman Terhadap Gizi Anak

Ketika gagal panen mengancam Indonesia, maka salah satu yang paling terdampak adalah masalah pemenuhan gizi anak-anak. Sebagaimana diketahui, nutrisi pada 1000 hari pertama anak sangat penting untuk mencegah stunting atau gagal tumbuh. Stunting sendiri terjadi karena anak mengalami malnutrisi kronis, sehingga ciri utamanya adalah anak terlihat lebih pendek dan lebih kurus disbanding anak seusianya dengan jenis kelamin yang sama.

Pemerintah Indonesia terus melakukan berbagai upaya untuk menekan angka stunting dalam beberapa tahun terakhir. Pada Januari lalu, Kementerian Kesehatan mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada Rapat Kerja Nasional BKKBN, menyebutkan bahwa prevelansi stunting di Indonesia turun dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen pada 2022. Tapi angka tersebut masih di atas standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) terkait prevalensi stunting yang harus di angka kurang dari 20 persen.

Karena itulah dalam kesempatan tersebut, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menargetkan prevelansi stunting adalah 14 persen di tahun 2024.

“Jadi target 14% itu bukan target yang sulit hanya kita mau atau tidak mau. Asalkan kita bisa mengonsolidasikan semuanya dan jangan sampai keliru cara pemberian gizi,” ungkap Jokowi dinukil laman resmi Kemenkes.

Dengan adanya fenomena El Nino yang mengancam kekeringan hingga gagal panen yang melanda Indonesia, tentu bakal memengaruhi upaya pemerintah dalam menekan angka stunting karena berkurangnya ketersediaan bahan pangan untuk memenuhi gizi anak. Dokter Johannes Ridwan, Sp.A, FPPS, DAA mengatakan stunting sebenarnya sudah bisa terjadi sejak bayi di dalam kandungan, jika ibu tidak memenuhi kebutuhan gizi selama kehamilan.

Pemberian gizi yang cukup pada anak sangat diperlukan akan tidak mengalami stunting, seperti program pencegahan stunting Kancing Merah (Gerakan Pencegahan Stunting Masa Depan Cerah) yang diluncurkan Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo awal tahun ini. (jatengprov.go.id)

“Stunting bisa terjadi sejak dalam kandungan, menyusui, hingga pemberian makanan tambahan. Jadi, stunting bisa terjadi pada waktu di dalam perut misalnya si ibu hamil ini kekurangan gizi sehingga ketika lahir anaknya mengalami kekurangan berat badan,” ujar dr. Johannes Ridwan, Sp. A, FPPS. DAA kepada VOI.

“Atau saat menyusui, ketika bayi hanya mengonsumsi ASI, padahal cara menyusuinya kurang tepat maka asupan ASI untuk bayi tidak optimal. Stunting juga bisa terjadi ketika bayi mulai memasuki tahapan makanan pendamping ASI atau MPASI. Jika asupan MPASI tidak sesuai dengan gizi seimbang, maka bisa stunting juga." 

Stunting atau gagal tumbuh bukan fenomena yang bisa dibiarkan lantaran bisa mengancam kesehatan anak. Anak-anak yang mengalami stunting akan mengalami sederet problem ke depannya. Selain memiliki perawakan yang lebih pendek dibanding lainnya, anak yang mengalami stunting juga berisiko memiliki penyakit diabetes dan kanker, produktivitas menurun hingga kemampuan menyerap pelajaran yang buruk.

Ketika gagal panen terjadi sehingga menyebabkan kelangkaan bahan pangan dan berbuntut pada mahalnya harga kebutuhan, Johannes menyarankan agar para orangtua bersikap cerdas mencari alternatif agar kebutuhan gizi anak tetap terpenuhi.

“Terkait gagal panen, masalah stunting sebenarnya bisa diatasi dengan mengonsumsi makanan alternatif. Untuk memenuhi gizi tidak perlu yang mahal, bisa diganti dengan protein tempe atau tahu yang juga baik untuk kesehatan,” kata Johannes menambahkan.

Angka stunting di Indonesia menurun pada 2022, namun berpotensi kembali naik jika terjadi krisis pangan seiring kedatangan musim kering yang kurang diantisipasi. (Kemenkes)

“Stunting memiliki dampak yang buruk untuk anak-anak, ketika kekurangan protein maka tubuh anak lebih kurus dibanding lainnya. Selain itu, stunting juga berpengaruh pada kecerdasan otak anak.”

Anak-anak merupakan aset masa depan yang nantinya bakal menjadi bagian penting dalam membangun bangsa. Karena itulah pemerintah harus bekerja sama dengan elemen terkait agar bisa meminimalisir ancaman kegagalan panen akibat fenomena El Nino supaya ketersediaan pangan untuk anak-anak terpenuhi.