Antisipasi El Nino dan Ketahanan Pangan Jangan Asal-Asalan
Presiden Jokowi saat blusukan ke pasar tradisional di Indonesia, ketahanan pangan nasional sangat diperlukan untuk menghadapi El Nino 2023. (Twitter/@setkabgoid)

Bagikan:

JAKARTA - Fenomena peningkatan suhu permukaan laut, El Nino kerap merepotkan seisi dunia. India dan Vietnam bahkan dipaksa menyetop ekspor beras ke luar negeri. Kedua negara itu memfokuskan langkahnya menyiasati ketahanan pangan di dalam negeri.

Indonesia pun diramal terkena dampaknya. Ketahanan pangan Indonesia dipertanyakan. Apalagi puncak El Nino diprediksi hadir pada Agustus-September. Empunya kuasa pun tak tinggal diam. Mereka banyak menggelar Pasar Murah. Supaya rakyat tak kaget, katanya. Apa cukup?

Fenomena El Nino yang mengganggu stabilitas di seantero dunia bukan rahasia umum. Narasi El Nino menurunkan produktivitas di sektor pertanian hingga ketahanan pangan jadi musababnya. Banyak negera kelimpungan menghadapi El Nino yang diperparah perubahan iklim. India dan Vietnam, misalnya.

Keduanya dikenal sebagai negara penghasil beras terbesar di dunia pusing bukan main. Alih-alih memilih langkah mengekspor beras biar untung, keduanya justru menyetop ekspor beras ke berbagai negara. Langkah itu diambil sebagai siasat mencukupi ketersediaan beras dalam negeri untuk menghadapi anomali cuaca.

Produksi beras yang ada kemudian difokuskan untuk persediaan dalam negeri. India yang dikenal sebagai penghasil 40 persen total beras di dunia, terutama. Negeri Bollywood itu tak ingin ‘berjudi’ mengekspor beras selama El Nino. Mereka paham benar jika El Nino dapat menjelma sebagai biang gagal panen dan kelaparan.

"Karena El Nino tersebut mengganggu produksi pangan di India. Pemerintah melarang ekspor beras karena untuk mengamankan cadangan pangan mereka terlebih dahulu, mengingat tahun depan mereka Pemilu juga, ya. Jadi, sangat amat penting menjaga stabilitas dalam negeri mereka," ungkap Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian sebagaimana dikutip Tirto, 23 Juli.

Presiden Jokowi menggelar Rapat Terbatas bersama sejumlah menteri membahas masalah ketahanan pangan Indonesia menghadapi El Nino. (Dok. Humas Badan Pangan Nasional) 

Sikap India dan Vietnam pun dinilai wajar oleh Pemerintah Indonesia. Empunya kuasa menganggap fenomena El Nino sebagai masalah yang tak dapat dianggap sepele. Pemerintah dengan percaya diri menyebut Indonesia akan mampu melewati fenomena El Nino.

Pemerintah berasumsi mereka sudah melakukan koordinasi antisipasi sejak Februari-April. Langkah antisipasi itu kemudian diwujudkan salah satunya dengan kegiatan Pasar Murah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan sampai memberikan instruksi khusus kepada jajarannya.

Ia ingin pusat hingga daerah untuk memperbanyak Pasar Murah. Siasat itu dilanggengkan supaya rakyat Indonesia tak kaget saat fenomena El Nino mencapai puncaknya.

“Saya telah memerintahkan kepada BUMN, juga kepada gubernur, bupati, dan wali kota. Mereka saya minta untuk memperbanyak Pasar Murah di daerah, sebanyak-banyaknya.”

“Kita berharap kita bisa mendahului agar apabila nanti El Nino datang masyarakat tidak kaget. Langkah itu diambil karena memang panasnya bisa mengganggu kesehatan, yang kedua pangan juga bisa terganggu kalau betul terjadi,” ujar Jokowi sebagaimana dikutip Sekretariat Kabinet, 24 Juli.

Butuh Kerja Ekstra

Boleh jadi pemerintah menganggap antisapasi El Nino dan ketahanan pangan dengan Pasar Murah sebagai solusi jitu. Namun, hal itu condong ke solusi pendek. Langkah itu memang dapat membantu masyarakat yang sangat rentan dan hidup dalam kondisi paceklik.

Namun, solusi itu tak bisa dijadikan langkah utama untuk mengantisipasi El Nino. Pandangan itu diamini oleh Pengamat Lingkungan Hidup, Yani Sagaroa. Ia menyebut pemerintah harus lebih peka dengan membuat upaya yang lebih terencana selain Pasar Murah.

Pemerintah dimintanya untuk melakukan upaya mitigasi yang terencana jauh-jauh hari. Mantan Dewan Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) era 2008-2012 itu mengajak pemerintah untuk segera merombak pola dan struktur pertanian yang kian tak merata.

Setelahnya, Yani mendaulat upaya diversifikasi (penganekaragaman) pangan sebagai senjata penting menjaga ‘roh’ dari ketahanan pangan. Ajian itu dianggapnya penting. Sekalipun yang dilakukan pemerintah belakangan justru sibuk menyeragamkan pangan supaya seluruh wilayah di Nusantara mengkonsumsi beras.

BMKG memperingatkan tiga tahun berturut-turut setelah terjadinya La Nina sejak 2020, fenomena El Nino diprediksi muncul pada 2023 sehingga berpotensi memicu penurunan curah hujan di Indonesia. (Antara)

Padahal, Indonesia secara historis telah mengenal keanekaragaman pangan sejak dulu kala. Ada yang menjadikan makanan lain sebagai sumber nutrisi -- sagu, singkong, hingga sorgum sebagai makanan pokok.

“Indonesia harus punya upaya mitigasi yang terencana. Secara sistematis untuk menghadapi situasi semacam ini. Rombak pola dan struktur pengembangan sistem pertanian karena di Indonesia tidak merata kepada daerah-daerah yang ekosistemnya sangat krusial.”

“Bisa juga dengan pola distribusi pangan secara silang dan juga diversifikasi pangan. Tidak hanya beras tetapi juga nutrisi dari pangan yang lain. Di samping itu pemerintah juga harus giat menangani penanganan gizi buruk, stunting, dan sebagainya. Ini adalah ajian penting menghadapi El Nino. Bisa dibayangkan kalau pemerintah melulu menyamaratakan makanan pokok melulu beras, maka tantangan yang ada jadi makin berat,” terang Yani ketika dihubungi penulis, 26 Juli.

Upaya mitigasi itu diharapkan bisa dilakukan pemerintah maksimal enam bulan sebelumnya. Upaya penangannya pun harus terencananya dengan baik dan tidak asal-asalan. Semuanya supaya Indonesia tak terlalu terpuruk diterpa El Nino. Dari biang gagal panen hingga wabah penyakit.

Perencanaan yang matang itu membuat pemerintah dapat menjaga ketahanan pangan. Tak terkesan buru-buru, asal-asalan, serta amburadul seperti upaya yang dilanggengkan saat ini.

“Sebenarnya pemerintah terlambat. Seharusnya isu ini sudah dijadikan fokus pemerintah dari rentan waktu enam bulan sebelumnya. Pemerintah harusnya sudah ancang-ancang. Tapi kalau bersiapnya hanya belakangan ini, jelas ada semacam keterlambatan.”

“Narasi itu membuat penanganannya jadi asal-asalan dan sekedarnya yang penting ada upaya tindakan. Kita harus paham bahwa kualitas dari tindakan dalam memanage suatu program yang terkait isu El Nino tidak bisa sesederhana yang kita bayangkan,” tutup Yani yang kini menjabat sebagai Direktur Lembaga Olah Hidup (LOH).