Dari Sisi Psikologi, Penghinaan Rocky Gerung Terhadap Presiden Jokowi adalah Contoh Perilaku Sosiopat
Rocky Gerung sudah menunjukkan bahwa dirinya tak layak dijadikan panutan setelah melontarkan kata makian terhadap Presiden Jokowi di ruang publik. (Antara/Harry T)

Bagikan:

JAKARTA - Rocky Gerung kembali menjadi sorotan gara-gara menghina Presiden Joko Widodo. Dia menggunakan kata “bajingan” untuk mengatai Jokowi di kanal Youtube milik Refly Harun. Akibat ucapannya tersebut, pengamat politik itu kemudian dilaporkan oleh relawan Indonesia Bersatu.

Relawan Jokowi sempat melaporkan Rocky Gerung ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) pada Senin (31/7/2023) dengan Pasal 218 ayat 1 KUHP yang isinya adalah 'Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Tapi laporan tersebut ditolak, sebelum akhirnya mereka melaporkan ke Polda Metro Jaya.

Kasus ejek mengejek seorang presiden atau tokoh penting lainnya bukan sekali ini saja terjadi. Sebelum ini, seorang pemuda pemuda asal Manado juga mendadak viral gegara menghina Presiden Jokowi di akun Facebook-nya. Menurut M. Rizky Nur Kamrullah, dosen kriminologi Universitas Budi Luhur, tindakan yang dilakukan Rocky Gerung belum tentu dikatakan sebagai tindakan kriminal.

“Hal ini menjadi polemik karena ada pelaporan dari relawan pendukung Pak Jokowi, sebenarnya respons Presiden sendiri biasa saja,” kata M. Rizky kepada VOI.

Rocky Gerung dilaporkan ke Bareskrim Polri karena tiga pernyataan ini, dia diduga melakukan tindak pidana ujaran kebencian bermuatan SARA terhadap Presiden Jokowi. (Antara/Laily Rahmawaty)

“Sebuah tindakan dikatakan sebagai tindakan kriminal jika, apakah dia melanggar, kedua apakah perbuatan tersebut menimbulkan dampak menyeluruh atau dampak terhadap masyarakat luas.”

Namun dia menambahkan, ejekan yang dilontarkan Rocky Gerung terhadap Presiden Jokowi tidak pantas dilakukan, apalagi melihat latar belakangnya sebagai orang yang berpendidikan.

“Apa yang dilakukan Rocky Gerung di luar batas, dia melakukan hal yang tidak semestinya, karena belia seorang akademisi, berpendidikan tinggi. Orang yang melakukan hal demikian bisa dilihat karena dia merasa dirinya paling logis, paling pintar, sehingga muncul perkataan tersebut.”

Tak Layak Jadi Panutan

Ditinjau dari sisi psikologi, Tika Bisono, M.PsiT menilai ada kecenderungan sosiopat atau narsis dari seseorang yang melontarkan kalimat kasar kepada tokoh penting. Dilansir Ai Care, narsistik adalah kondisi gangguan kepribadian di mana seseorang akan menganggap dirinya sangat penting dan harus dikagumi. Pengidap gangguan ini hampir selalu merasa dirinya lebih baik dibandingkan dengan orang lain.

“Ada kecenderungan sosiopat atau psikopat atau narsis ketika seseorang mengeluarkan kata-kata kasar. Ini adalah contoh yang tidak pantas untuk anak dan pasangan, tidak layak dijadikan role model,” katanya.

Sebagai negara Timur, Indonesia terkenal kesopansantunan dan tata kramanya. Namun seiring berjalannya waktu, di era modern sekarang ini sopan santun dan tata krama ini tampak luntur. Kini orang-orang tidak lagi malu mengeluarkan kata-kata kasar di depan publik, bahkan hal itu dilakukan oleh tokoh dengan nama besar.

Dikatakan Tika Bisono seseorang melontarkan opini maupun kritik bertujuan untuk mencari simpati mengubah cara pandang orang lain. Namun, kritik seharusnya disampaikan dengan cara yang santun dan beradab, terutama ketika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pendidikan tinggi. Pasalnya, seorang figure public setiap gerak-geriknya menjadi panutan. Apalagi, negara Indonesia terkenal sebagai negara yang santun dan beradab.

“Dia mengabaikan tata krama, semarah-marahnya orang ketika bicara seharusnya bisa memperhatikan adab dan tata krama. Wong orang Indonesia zaman dulu kalau marah itu pakai pantun, artinya tetap harus memperhatikan adab saat marah,” tutur Tika Bisono lagi.

Psikolog Tika Bisono berpendapat bahwa aksi menghina orang di ruang publik sebenarnya menunjukkan ketidakmampuan dalam hal rivalitas dengan lawan. (Dok. Universitas Muria Kudus)

Rocky Gerung juga menyebut kata bajingan bukanlah kata yang kasar. Dia menyebut bajingan merupakan akronim Jawa dari bagusing jiwo angen-angening pangeran yang berarti orang yang dicintai Tuhan, demikian dikutip detik.com.

Guru Besar Ilmu Linguistik UGM I Dewa Putu Wijana mengatakan kata bajingan memang berasal dari bahasa Jawa, namun saat ini kata tersebut sudah mengalami pergeseran makna. "Kata 'bajingan' secara etimologis berasal dari bahasa Jawa yang maknanya 'kusir atau sais gerobak', pedati yang ditarik oleh sapi," kata Putu dikutip dari detik.com

Namun menurut Tika Bisono, alasan yang dilontarkan Rocky Gerung itu tidak lumrah lantaran kata ‘bajingan’ di Indonesia memiliki arti negatif. Melontarkan kalimat negatif kepada seseorang padahal kita masih menjadi bagian dari orang tersebut bukanlah tindakan yang patut dilakukan. 

 “Kata bajingan di Indonesia umumnya dipandang negatif, biasa digunakan untuk ngatain penjahat. Lalu ketika orang mengeluarkan kata ini untuk kepala negara atau pejabat atau presiden direktur sebuah perusahaan, padahal kita masih menjadi bagian dari itu, ini tentu tidak pantas, tidak sopan, dan tidak beradab.”

Media Sosial Membuat Orang jadi Lebih Liar

Rocky Gerung memanfaatkan kanal YouTube milik Refly Harun untuk melontarkan kata kasar terhadap Presiden Jokowi. Sebenarnya, dia bukan satu-satunya orang yang mengeluarkan kata kasar melalui media sosial. Di era digital sekarang ini, orang cenderung menjadi lebih liar ketika menggunakan media sosial. Tidak jarang warga net mengejek public figure di akun media sosial.

Sudah tak terhitung jumlahnya kasus penghinaan melalui media sosial. Deretan figur publik seperti Ria Ricis, Shandy Aulia, Bunga Zainal dan lainnya juga pernah melaporkan pengikut mereka yang berkomentar tidak mengenakkan di media sosial. Lalu, mengapa seseorang menjadi lebih liar di balik layar ponsel, padahal ketika berhadapan secara langsung hal ini justru hampir tidak mungkn terjadi. 

Menghina orang di dunia maya, dikatakan Tika Bisono, menunjukkan ketidakmampuan seseorang menghadapi realitas kemampuan lawan.

Kehadiran media sosial punya andil membuat perilaku manusia di ruang publik menjadi lebih liar. (Istimewa)

“Mengapa orang berani melontarkan kata-kata kasar di medsos? Ini menunjukkan inkompetensi atau ketidakmampuan dirinya menghadapi realita bahwa lawan yang dihadapinya selevel di atas dia. Dalam realitas (saling berhadapan), butuh keberanian yang besar untuk bisa ngatain orang. Tapi di medsos, karena tidak ada pertanggung jawaban sehingga orang lebih berani,” tutur perempuan lulusan Universitas Indonesia ini.

Presiden Jokowi merespons santai terhadap ejekan yang dilontarkan Rocky Gerung. Alih-alih membalas, orang nomor satu di Indonesia itu justru mengatakan hanya akan fokus pada pekerjaannya. Sikap diam alias tidak membalas seperti yang dilakukan Jokowi sebenarnya adalah bentuk balasan sebagai orang dewasa.

“Ini terjadi karena demokrasi yang sebebas-bebasnya, seharusnya tidak dibiarkan. Tapi, hal seperti ini akan ada rakyat yang menghakimi,” Tika Bisono menerangkan.

“Ketika seorang korban ejekan tidak reaktif, tidak impulsif, tidak destruktif, maka itu adalah sikap yang dewasa. Kita membalas dengan tidak membalas, karena biasanya pelaku bullying akan senang ketika korbannya justru memberikan balasan.”