JAKARTA – Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara tidak boleh berhenti dan harus dipercepat. Seiring itu, perlu juga penguatan sumber daya manusia (SDM). Kualitas SDM akan menentukan kemampuan mereka berkontribusi bagi pembangunan dan mengambil manfaat dari pemindahan dan pembangunan ibu kota negara yang baru.
Bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo menyiratkan itu usai Partai Perindo meneken kerja sama politik dengan PDIP untuk mendukungnya di Pilpres 2024 pada 9 Juni 2023.
Itu merupakan agenda panjang yang mesti dilakukan tentunya dengan gotong-royong.
“Kalau itu terjadi, mimpi pendiri bangsa Bung Karno bisa terwujud,” kata Ganjar.
Pernyataan Ganjar tersebut merupakan hal yang mafhum. Sebagai kader PDIP sekaligus sosok yang diusung sebagai bakal calon presiden, Ganjar tentu akan terus memberi penegasan mengenai keberlanjutan pembangunan IKN Nusantara kepada para pendukungnya.
Sebab, itu pertaruhan, tak hanya untuk partai tetapi juga untuk nama baik Indonesia.
Apalagi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah beberapa kali mempromosikan IKN Nusantara ke investor dunia, hingga meminta mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair turut mempromosikannya ke dunia internasional.
Jokowi saat berpidato dalam acara Ecosperity Week 2023 di Singapura pada 7 Juni lalu, bahkan memastikan siapa pun yang akan memimpin Indonesia pada masa datang, pembangunan IKN Nusantara akan terus berlanjut dan investasi akan tetap aman berkelanjutan.
“Bila gagal atau proyek tidak berjalan, reputasi Indonesia di mata dunia akan menurun. Investor tentu akan berpikir ulang karena ternyata Indonesia belum siap secara teknis, secara infrastruktur dasar membangun IKN,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira kepada VOI pada 10 Juni 2023.
Tak hanya reputasi, perekonomian Indonesia pasti akan sangat terganggu. Sudah berapa besar anggaran APBN yang terlanjur dikeluarkan. Ini, menurut Bhima, “Bisa menjadi kerugian negara. Pemerintah juga harus menanggung utang akibat belanja pembangunan IKN.”
Itulah mengapa, Bhima menyarankan proyek IKN ada baiknya terus berlanjut. Andai pemimpin selanjutnya enggan, paling tidak IKN dimodifikasi dari rencana awal sebagai ibu kota menjadi kompleks istana kepresidenan. Sehingga, wujud dari Nusantara tetap ada.
“Cara ini jauh lebih aman. Jadi tidak terlalu siasia. Biaya yang dihabiskan dari sisi keuangan negara juga relatif tidak sebesar rencana awal. Kepercayaan investor juga akan tetap terjaga,” tutur Bhima.
Sejak Era Soekarno
Wacana pemindahan ibu kota, berdasar sejumlah literatur, memang sudah muncul sejak era Presiden Soekarno. Tak heran bila Ganjar menyebut IKN Nusantara sebagai upaya mewujudkan mimpi Bung Karno.
Usai Presiden Soekarno meresmikan Tugu Soekarno di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada 1957, memang santer kabar bahwa Bung Karno berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke kota tersebut.
Meski banyak yang meyakini itu hanya sekadar isu, tetapi Roosseno, seorang arsitek yang juga mantan menteri pekerjaan umum dan perhubungan pada periode 1953-1955 menyatakan rencana itu benar adanya.
Historia dalam artikel ‘Mimpi Ibukota di Tengah Rimba Raya’ pada 17 Januari 2022 menuliskan Roosseno sempat menyatakan Bung Karno memiliki ide yang tidak menjadi kenyataan, membuat Ibu Kota Republik Indonesia di Kalimantan.
“Kira-kira di Palangkaraya. Mengapa? Sebab pemerintah RI belum pernah membuat kota sendiri. Semua kota yang ada sekarang kan peninggalan kolonial,” ucap Roosseno.
Mantan Menteri Penerangan periode 1962-1966 Roeslan Abdulgani, masih dilansir dari Historia, pun mengungkapkan hal sama. Bahkan, rencana pemindahan ibu kota sempat dibicarakan dalam rapat-rapat dewan Nasional, badan penasihat pemerintah yang dibentuk pada Juli 1957.
Tak hanya Soekarno, Presiden Soeharto juga sempat berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Jonggol. Pada 15 Januari 1997 Soeharto bahkan sempat menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 1997. Keppres tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri ini lah yang disebut-sebut sebagai landasan hukum awal rencana pemindahan ibu kota.
Rencana tersebut kembali berembus pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ingin memindahkan ibu kota ke Jawa Barat. Kemudian berlanjut ke era pemerintahan saat ini.
Namun, Presiden Jokowi lebih melirik Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota baru yang diberi nama Nusantara. Jokowi menguatkan rencananya dengan menandatangani Undang-undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Nusantara.
Seperti yang tertera dalam Pasal 2 UU tersebut, “Ibu Kota Nusantara memiliki visi sebagai kota dunia untuk semua yang dibangun dan dikelola dengan tujuan untuk menjadi kota berkelanjutan di dunia; sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan; dan menjadi simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Jokowi berharap presiden selanjutnya dapat melanjutkan perjuangannya.
“Saat ini, kita masih terus berjuang untuk menghadirkan pembangunan yang adil dan merata. Ini butuh kesinambungan dan keberlanjutan,” ucap Jokowi dalam peringatan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 2023.
“Personil dalam pemerintah bisa berganti tetapi perjuangan tak boleh berhenti, keadilan pemerataan dan kesejahteraan adalah yang ingin kita wujudkan melalui reformasi struktural, peningkatan kualitas SDM, hirilisasi industri, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara,” Presiden Jokowi menambahkan.
Alasan Harus Pindah Ibu Kota
Ada sejumlah alasan yang mendasari pemerintahan Jokowi memindahkan ibu kota, antara lain pemerataan ekonomi. Saat ini, struktur perekonomian Indonesia secara spasial masih didominasi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi 56,48 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur, pertumbuhan perekonomian dan perputaran uang otomatis akan meluas, tidak melulu berpusat di Pulau Jawa. Tingkat populasi penduduk juga akan bergeser.
Di sisi lain, kondisi Jakarta saat ini sudah tergolong mencemaskan sebagai ibu kota negara dan ibu kota pemerintahan. Kemacetan, polusi udara, banjir menjadi permasalahan yang tak kunjung terselesaikan.
Bahkan, Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Nusantara yang diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menuliskan, Jakarta mengalami krisis ketersediaan air. Kualitas air waduk dan sungai sudah dalam kategori tercemar berat. Permukaan tanah juga mengalami penurunan drastis, mencapai 35-50 cm selama kurun waktu 10 tahun dari 2007-2017.
Belum lagi ancaman bencana alam dari aktivitas gunung api Krakatau dan Gunung Gede. Juga potensi tsunami yang berasal dari megathrust selatan Jawa dan Selat Sunda. Serta potensi gempa darat akibat pergerakan sesar Baribis, sesar Lembang, dan sesar Cimandiri.
Adapun pemilihan Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Nusantara merujuk ke beberapa kriteria, antara lain lokasinya yang secara geografis berada di tengah wilayah Indonesia, merepresentasikan keadilan.
Wilayah ini juga relatif aman dari ancaman bencana alam karena berada di luar jalur cincin gunung api. Tinggal bagaimana memperkuat mekanisme pertahanan dan keamanannya.
Melansir dari media informasi Kementerian Pertahanan, WIRA edisi I 2022, prediksi ancaman yang mungkin bisa terjadi sewaktu-waktu di wilayah Ibu Kota Negara baru di Kalimantan Timur, adalah munculnya ancaman yang dipicu oleh permasalahan di wilayah perbatasan darat dengan Malaysia.
Lalu, permasalahan wilayah perbatasan laut dengan Malaysia dan Filipina, permasalahan di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI-II), dan konflik internal antar suku, ras dan agama yang masih dianggap bisa menjadi pemicu permasalahan.
Memindahkan ibu kota memang bukan hal yang mudah, butuh perhitungan matang merealisasikannya. Belum lagi aspek politik dan beragam dinamika lain muncul. Itulah mengapa, Jokowi mengatakan perlu keberanian untuk mengeksekusinya.
BACA JUGA:
Sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Australia, dan Myanmar pernah melakukannya. Malaysia memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke Putrajaya pada 1999. Namun, Kuala Lumpur tetap menjadi kota kediaman raja dan pusat finansial saat ini.
"Kalau tidak kita eksekusi kajian-kajian yang ada ini, ya sampai kapan pun tidak akan terjadi. Memang butuh keberanian, ada risikonya dari situ, tapi kita tahu kita ingin pemerataan bukan Jawa-sentris tapi Indonesia-sentris," imbuh Ganjar.
Ganjar pun meyakini, “Pemindahan ibu kota negara ini bukan sekadar mewujudkan mimpi founding fathers, tapi juga gagasan tentang rancangan Indonesia di masa depan, tentang future nation. Yakni sebuah negara yang memadukan kekayaan dan keindahan alam dengan teknologi tanpa mengenyampingkan kearifan lokal yang kita miliki."