Pelajaran Kasus Rebecca Klopper: Kenali Kekerasan Terhadap Perempuan Sejak Masa Pacaran
Ilustrasi – Kasus video syur Rebecca Klopper harus menjadi pelajaran bagi para remaja mengenal beragam kekerasan dalam pacaran. (Antara/Ardika/am)

Bagikan:

JAKARTA – Kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang dilakukan pacar dan mantan pacar menjadi aduan yang mendominasi lembaga layanan Komnas Perempuan selama 2022. Korbannya adalah perempuan dengan rentang usia 16-24 tahun.

Mereka mengalami beragam bentuk kekerasan. Secara keseluruhan, dari 3.773 aduan yang diterima Komnas Perempuan, 1.494 merupakan kasus kekerasan psikis. Lalu, 1.086 kasus kekerasan seksual seperti persetubuhan, kekerasan seksual berbasis elektronik, pelecehan, pencabulan, dan perkosaan.

Serta, bentuk kekerasan lain, seperti kekerasan fisik, dan kekerasan ekonomi. Ini, kata pemerhati anak dan pendidikan Retno Listyarti, tentu sangat meresahkan. Mengancam perkembangan psikologis para remaja Indonesia, khususnya remaja putri.

Sebab, perempuan yang lazimnya kerap mendapat hujatan tatkala kekerasan terjadi meski dia lah yang menjadi korban. Dianggap perempuan tidak baik, tidak bisa menjaga diri, dan segala macam hal buruk lainnya.

“Contoh teranyar kasus video syur RK (Rebecca Klopper). Sudah jadi korban masih dikorbankan juga. Sampai substansi tindak pidana si penyebar konten pornografi yang diduga mantan pacar RK terlupakan oleh publik,” kata Retno dalam keterangannya kepada VOI pada 27 Mei 2023.

Rebecca Klopper. (Antara/Muhammad Adimaja/rwa)

Kekerasan dalam pacaran atau dating violence, menurut Retno, sebenarnya sudah sering terjadi, tetapi kurang mendapat perhatian baik dari pelaku maupun korbannya.

Lazimnya diawali dengan kekerasan psikis lewat caci-maki, kerap mengancam, hingga terlalu posesif.

“Pemahaman yang terbatas mengenai diri dan relasi mengakibatkan banyak remaja perempuan menganggap pembatasan aktivitas merupakan hal wajar, bahkan dianggap bentuk kepedulian dan perasaan sayang dari pasangan,” ungkap Retno.

Padahal, itu adakalanya hanya sebagai penanda. Sebab, dari hanya sekadar kekerasan psikis tak jarang berlanjut ke kekerasan fisik, seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, dan serangkaian tindakan fisik lain ketika ada penolakan.

“Atau bisa juga mengarah ke kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba, hingga memaksa pasangan berhubungan seksual, pemerkosaan, dan bentuk lainnya. Pada beberapa kasus juga ditemukan motif kekerasan ekonomi. Pelaku mengancam agar pacar atau mantan pacar meminta mencukupi segala keperluan hidupnya. Kalau tidak manut, pelaku akan sebarkan foto-foto pribadi misalnya. Berhati-hatilah,” tutur Retno.

Perlu Edukasi

Sejatinya, orangtua harus turut memantau perilaku remaja. Bagaimanapun, mereka tetap butuh edukasi bahwa dalam suatu relasi yang sehat, pasangan seharusnya saling menghormati batas-batas tertentu. Pasangan yang tidak bisa mengendalikan emosi marah rentan melakukan kekerasan.

Riwayat kekerasan dalam keluarga, kompensasi perasaan inferior atau selfesteem yang rendah, pemahaman bahwa kekerasan akan menyelesaikan masalah, serta kepribadian yang cenderung mengeksploitasi pasangan juga dapat menjadi faktor penyebab kekerasan dalam pacaran.

Kekerasan dalam pacaran lazimnya diawali dari kekerasan psikis, kemudian diikuti atau berlanjut ke kekerasan fisik, kekerasan seksual, bahkan hingga ke kekerasan ekonomi. (Twitter)

Menurut Retno, ada beberapa tanda kekerasan dalam pacaran yang perlu diketahui, yakni:

  • Memaksa melakukan hubungan seks.
  • Menyatakan bahwa perempuan harus mau berhubungan seks karena sudah diajak nonton/makan/jalan-jalan.
  • Bersikap cemburu berlebihan termasuk terus menuduh berselingkuh.
  • Bersikap sangat mengendalikan, misalnya menentukan baju apa yang harus dipakai, melarang bertemu dengan teman atau keluarga, atau menuntut mengecek HP, email, dan media sosial pasangan perempuan.
  • Terus menerus mengecek pasangan perempuan dan marah bila tidak dicek
  • Merendahkan pasangan perempuan, termasuk penampilan mulai dari pakaian, makeup, rambut, berat badan, hingga kecerdasan dan kegiatan.
  • Mencoba memisahkan pasangan perempuan dari orang lain termasuk dengan menghina mereka.
  • Menyalahkan pasangan perempuan tentang perilaku kekerasannya dan membuat daftar bagaimana pasangan membuatnya melakukan kekerasan.
  • Meminta maaf dan janji untuk berubah berkali kali.
  • Menolak bertanggung jawab tentang tindakannya.
  • Memiliki sifat cepat marah, sehingga pasangan perempuan tidak tahu perilaku atau kata-kata yang menjadi masalah.
  • Melakukan kekerasan fisik seperti memukul, mendorong, menampar.

“Jadi, kenalilah calon pacarmu secara menyeluruh sebelum memulai hubungan. Jangan terlalu cepat mengambil keputusan. Berani mengambil sikap dengan mengatakan ‘tidak’ dan menghentikan hubungan ketika menerima tindak kekerasan. Ada baiknya juga perkenalkan kepada keluarga,” imbuhnya.