Kekerasan Seksual di Indonesia Seperti Fenomena Gunung Es
Ilustrasi – Tidak mudah untuk korban kekerasan seksual menceritakan apa yang dialaminya. (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA – Pemerhati anak, Rita Pranawati menilai kekerasan seksual di Indonesia khususnya yang terjadi terhadap remaja putri memang seperti fenomena gunung es. Masih banyak korban yang enggan melapor apa yang dialaminya.

Penyebabnya, menurut Rita, beragam. Bisa karena faktor ancaman dari pelaku, faktor malu, kekhawatiran terhadap stigma negatif masyarakat, atau korban bingung harus melapor kemana.

Selain itu, banyak pula korban kekerasan seksual yang juga enggan melapor karena khawatir atas minimnya perlindungan identitas bagi korban, sehingga mereka takut akan tersebarnya informasi tentang perkaranya yang mungkin berdampak kepada kesehatan mental.

“Inilah yang terjadi, sehingga seringkali menjadi penghalang barang bukti ketika kasus terkuak,” kata Rita kepada VOI pada 27 Februari 2023.

Seperti kasus remaja putri berusia 14 tahun, J di Bone, Sulawesi Selatan yang diperkosa beramai-ramai oleh 4 remaja pria. Orangtua mulai curiga ketika J sempat mengeluh sakit kepala dan mengeluh tak bisa duduk.

Ilustrasi – Korban kekerasan seksual akan mengalami trauma. (Antara)

Menurut pengakuan Kapolsek Cenrana, AKP Andi Muhammad Siregar, J awalnya tidak menceritakan apa yang dialaminya, tetapi setelah orangtua membujuk, J akhirnya buka suara. Dari hasil pemeriksaan medis, J ternyata menderita luka di bagian alat vitalnya.

Keluarga curiga lalu melapor ke pihak kepolisian. Namun, selama lima hari mendapat perawatan di Rumah Sakit M Yasin, Bone, kondisi J semakin drop hingga akhirnya meninggal dunia pada 17 Februari 2023.

Begitu juga kasus perkosaan remaja di Cianjur yang belum lama ini terkuak. Ternyata, pelakunya adalah ayah kandung korban. Pelaku melakukan aksi bejatnya pada 2018 ketika korban masih berusia 16 tahun dan terus berlanjut hingga 2023.

Korban tidak berani melaporkan perbuatan pelaku karena kerap mendapat ancaman akan dibunuh.

“Jadi, ini bagian gunung es yang belum mencair, masih beku. Memang sangat tidak mudah bagi korban. Bila dilakukan oleh orang dekat, tentu pelapor atau korban akan berpikir ribuan kali untuk berani melapor. Korban tentu khawatir masa depan akan menjadi seperti apa, dan pikiran lain,” tutur Rita yang juga mantan Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini.

Dampak kekerasan seksual terhadap korban memang bervariasi. Tergantung keadaan individu, termasuk budaya, ikatan keluarga, sistem pendukung, usia, tanggapan orang-orang yang berhubungan dengannya setelah mengalami kekerasan, dan tentu saja sifat kekerasan itu sendiri.

Namun, secara umum tentu sangat memengaruhi kesehatan fisik dan emosional, harga diri, hubungan dengan keluarga, dan aktivitas normal dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dalam beberapa kasus dampak kekerasan seksual bisa membuat korban melakukan bunuh diri.

Finkelhor dan Browne dalam Jurnal Tower pada 2002 menemukan 4 jenis efek trauma akibat kekerasan seksual yang lazim terjadi, yaitu pengkhianatan kepercayaan, trauma secara seksual, merasa tidak berdaya, dan stigmatisasi.

Kekerasan seksual dapat membuat korban merasa bersalah, malu, memiliki gambaran diri yang buruk, merasa dirinya berbeda dari orang lain, hingga marah terhadap tubuhnya sendiri.

“Rasa bersalah dan malu terbentuk akibat ketidakberdayaan,” kata Rita.

Upaya Pemulihan

Pemulihan secara psikologis menjadi salah satu langkah yang perlu diambil dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Sesuai dengan anjuran Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB.

Bentuk penanganan pemulihan dan penanganan kekerasan seksual meliputi sejumlah hak yang tujuannya memulihkan martabat dan reputasi korban. Sehingga, perkembangan korban yang notabene masih berusia remaja tidak terganggu signifikan.

Penanganan pemulihan tersebut, antara lain memberikan restitusi. Mengembalikan kondisi korban menjadi seperti semula pada saat belum terjadinya permasalahan. Minimal, agar korban kekerasan seksual bisa melepaskan rasa trauma yang dialaminya.

Lalu, memberikan korban kekerasan seksual kompensasi untuk setiap dampak yang mungkin muncul, seperti dampak kesehatan, dampak putus sekolah, atau dampak kehamilan dari kekerasan seksual tersebut.

Langkah selanjutnya melakukan rehabilitasi dengan menyediakan pelayanan hukum, psikologi, perawatan medis, pelayanan atau perawatan, dan layanan profesional lainnya.

Stop kekerasan seksual kepada anak. (Antara/Maulana Surya)

Serta, memberikan jaminan kepuasan dan ketidakberulangan. Sensitivitas penanganan pada anak korban juga harus sangat diperhatikan, agar tidak membuat anak menjadi korban untuk kedua kalinya (re-viktimisasi).

Dalam konteks penanganan anak korban kekerasan seksual, peran lingkungan dan orang-orang terdekat sangatlah penting guna menumbuhkan rasa nyaman. Sehingga, korban bisa lebih percaya diri menyikapi apa yang dialaminya.

Kendati begitu, kata Rita, mencegah lebih baik daripada mengobati. Orangtua harus memberikan edukasi tentang bagaimana menjaga diri terhadap anak-anaknya, terutama anak perempuan. Awasi terus perkembangan dan pergaulan anak.

“Di dalam keluarga, kontrol, kedekatan tentang value harus selalu diingatkan sehingga orang dekat tidak menjadi pelaku,” imbuh Rita.