JAKARTA – Wacana penerapan sistem jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) di Ibu Kota Jakarta kembali mengemuka. Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus lebih serius agar wacana kebijakan ini tidak kembali mandek.
Sebab, menurut dia, wacana penerapan jalan berbayar sebenarnya sudah ada sejak zaman Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sekitar tahun 2009. Bahkan, ketika itu Foke, sapaan akrab Fauzi Bowo, berencana akan menerapkannya pada 2010.
Sayangnya hingga 2011, regulasi mengenai penerapan jalan berbayar tak kunjung terbit. Penerapan jalur berbayar akhirnya tertunda.
“Tidak jalan-jalan, sudah mau jalan tiba-tiba perusahaan punya bos kita ini masuk sehingga sampai sekarang terbengkalai. Ya, sekarang, kalau mau diteruskan, silakan diteruskan,” ucap Agus kepada VOI, Rabu (11/1).
Namun, Agus mengingatkan kebijakan jalan berbayar elektronik tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada kebijakan lain yang menyertai sehingga tujuan dari penerapan kebijakan tersebut dapat tercapai. Masyarakat akhirnya dapat membatasi penggunaan kendaraan pribadi.
“Contoh kebijakan penyerta seperti pengenaan tarif mahal di area-area parkir gedung yang berlokasi di sekitar ruas jalan berbayar. Juga, menghadirkan area-area parkir di titik-titik tertentu yang berbatasan dengan kota-kota penyangga Ibu Kota, tetapi dengan tarif parkir yang sangat murah,” kata Agus.
Selain itu, yang jauh lebih penting adalah merangcang angkutan umum yang terkoneksi. Saat ini menurut Agus, koneksi antar angkutan umum sudah jauh lebih baik tetapi belum first smile-last smile.
“Dalam arti, belum semua wilayah, kita keluar dari perumahan sudah tersedia angkutan umum. Sejumlah warga ada yang harus jalan kaki jauh dahulu baru ketemu angkutan umum. Begitu pula ketika sampai. Belum tentu turun dari angkutan umum langsung sampai tempat tujuan,” tuturnya.
Bila kebijakan-kebijakan penyerta tersebut belum berjalan baik, jangan harap penerapan jalan berbayar dapat berjalan efektif.
“Saran saya kepada Gubernur DKI segera koneksikan seluruh angkutan umum yang ada di Jakarta sambil menunggu landasan aturan perundang-udangannya jadi. Kalau tidak, akan sangat sulit,” imbuhnya.
Pengamat transportasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sony Sulaksono Wibowo pun menganggap kebijakan penerapan jalan berbayar di Jakarta sangat tepat. Melengkapi kebijakan-kebijakan lain yang sudah berjalan sebelumnya, seperti ganjil genap.
Saat dua hari penerapan ganjil genap pada Juni 2022 saja, menurut Dinas Perhubungan, laju kecepatan kendaraan bermotor, khususnya mobil bisa mencapai 30 km per jam pada jam sibuk.
“Apalagi, kalau sistem jalan berbayar diterapkan. Seharusnya bisa lebih efektif. Uji coba saja dulu di beberapa ruas jalan. Seluruh kendaraan tanpa terkecuali harus patuh, termasuk kendaraan pemerintah dan angkutan ojek online,” ucap Sony kepada VOI, Rabu (11/1).
Rencana Penerapan Jalan Berbayar
Di Singapura, sistem jalan berbayar sudah diterapkan sejak 1998. Hanya di beberapa ruas jalan utama dan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Hasilnya, menurut U.S Department of Transportation, mampu menurunkan kemacetan sebanyak 24 persen ketika itu.
Masyarakat Singapura perlahan tapi pasti beralih menggunakan bus dan kereta guna menghemat biaya perjalanan.
Di Jakarta, Indonesia, sistem jalan berbayar akan diberlakukan di titik ruas jalan provinsi yang rasio kendaraannya selalu padat. Ada 25 ruas jalan yang menjadi acuan berdasar Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pengendalian Lalu lintas Secara Elektronik (PLLE).
Antara lain, Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Gajah Mada, Jalan Hayam Wuruk, Jalan Majapahit, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan M Husni Thamrin, Jalan Jend Sudirman, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Panglima Polim, dan Jalan Fatmawati (Simpang Jalan Ketimun 1-Simpang Jalan TB Simatupang)
Lalu, di Jalan Suryopranoto, Jalan Balikpapan, Jalan Kyai Caringin, Jalan Tomang Raya, Jalan Jend S Parman (Simpang Jalan Tomang Raya-Simpang Jalan Gatot Subroto), Jalan Gatot Subroto, Jalan MT Haryono, Jalan DI Panjaitan, dan Jalan Jenderal A Yani (Simpang Jalan Bekasi Timur Raya-Simpang Jalan Perintis Kemerdekaan).
Serta di Jalan Pramuka, Jalan Salemba Raya, Jalan Kramat Raya, Jalan Pasar Senen, Jalan Gunung Sahari, dan Jalan HR Rasuna Said.
Adapun mekanisme pengenaan tarif jalan berbayar seperti yang dilakukan Singapura dengan menyesuaikan jenis kendaraan. Pemprov DKI mengajukan tarif jalan berbayar elektronik berkisar Rp5.000-Rp19.000 sesuai kategori dan jenis kendaraan. Berlaku setiap hari mulai 05.00-22.00 WIB.
“Tapi ini masih perlu pembahasan dengan tingkat pusat,” kata Penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono dilansir dari Antara, Rabu (11/1).
Sejauh ini, Pemprov DKI telah melakukan sejumlah upaya rekayasa lalu lintas untuk mengurai kemacetan di Ibu Kota, sekaligus melepaskan citra Jakarta sebagai kota macet.
Berawal dari penerapan 3 in 1 pada 2003 di jalan-jalan utama, seperti Jalan Sisingamangaraja, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH Thamrin, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Majapahit, Jalan Gajah Mada, Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Pintu Besar Utara, Jalan Hayam Wuruk, dan sebagian Jalan Gatot Subroto.
Semua kendaraan wajib mengangkut penumpang minimal 3 orang ketika melewati jalur 3 in 1. Berlaku dari Senin-Jumat pada pukul 07.00-10.00 WIB dan pukul 16.00-19.00 WIB.
Lalu, pada 2016, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), menghapus aturan tersebut dan menggantinya dengan kebijakan ganjil genap. Berlaku Senin-Jumat dari pukul 07.00-10.00 WIB dan 16.00-20.00 WIB di Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan Sisingamangaraja.
Serta, sebagian Jalan Jenderal Gatot Subroto antara persimpangan Jalan Gatot Subroto mulai dari Gerbang Pemuda sampai dengan persimpangan Jalan H.R. Rasuna Said pada jalur jalan umum.
Pada 2018, Gubernur Anies Baswedan menyesuaikan aturan tersebut dengan menambah daftar ruas jalan yang terkena ganjil genap dan menambah waktu pembatasan.
Kini, apakah sistem jalan berbayar elektronik bisa menjadi solusi selanjutnya mengatasi kemacetan? Menurut Sony Sulaksono Wibowo, “Yang terpenting juga harus konsisten. Sehingga masyarakat nantinya mau tak mau harus memilih angkutan umum dibanding kendaraan pribadi. Tak hanya rekayasa lalu lintas, perlu juga terus mengampanyekan aksi naik angkutan umum agar masyarakat ikut tergerak.”