JAKARTA - Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bakal menerapkan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) pada 25 ruas jalan ibu kota untuk meningkatkan pengendalian pergerakan lalu lintas, pada tahun ini.
Kebijakan itu dinilai sebuah langkah tepat untuk mengurangi kemacetan di Ibu Kota DKI Jakarta.
Kendati demikian, banyak dari pandangan pengamat yang menilai kebijakan tersebut perlu dikaji lebih mendalam lagi sebelum akhirnya diterapkan di ibu kota.
Berikut 4 Fakta Mengenai Kebijakan Electronic Road Pricing (ERP):
1. Masih dalam Rancangan
Rencana penerapan jalan berbayar atau ERP masih dalam bentuk draf Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) 'Tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik'.
Kebijakan itu belum disahkan dan belum dicantumkan nomor peraturannya.Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyebut, Raperda tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik (PPLE) tersebut masih dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.
Agar dapat diterapkan, Raperda tersebut perlu dirumuskan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Kemudian, diturunkan kembali menjadi Peraturan Gubernur (Pergub) atau Keputusan Gubernur (Kepgub).
2. Tujuan Rancangan Kebijakan
Kebijakan ERP ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penggunaan ruang lalu lintas hingga mengendalikan mobilitas warga DKI Jakarta.
Dengan demikian, perlu diselenggarakan manajemen kebutuhan lalu lintas berdasarkan kriteria perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan, ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum, serta kualitas lingkungan.
3. Besaran Tarif
Besaran tarif atas kebijakan jalan berbayar atau ERP di sejumlah ruas jalan ibu kota direncanakan sekitar Rp5.000 hingga Rp19.900 sekali melintas.
Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik pada Kawasan Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik dengan pengenaan tarif tersebut rencananya diberlakukan setiap hari, mulai pukul 05.00 sampai dengan pukul 22.00 WIB.
4. Kriteria Kawasan Penerapan Jalan Berbayar
Terdapat empat kriteria kawasan yang dapat diterapkan ERP, di antaranya memiliki tingkat kepadatan atau perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,7 pada jam puncak/sibuk.
Kedua, pada kawasan yang memiliki dua jalur jalan dan setiap jalur memiliki paling sedikit dua lajur.
Ketiga, pada kawasan yang hanya dapat dilalui kendaraan bermotor dengan kecepatan rata-rata kurang dari 30 km/jam pada jam puncak.
Keempat atau terakhir, tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum dalam trayek yang sesuai dengan standar pelayanan minimal dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, Ketua DPP Bidang Infrastruktur Partai NasDem Okky Asokawati menyatakan pihaknya tidak setuju jika sistem jalan berbayar elektronik (ERP) diterapkan di Jakarta.
Menurut Okky, penerapan ERP justru akan menimbulkan polemik. Masyarakat bakal dirugikan lantaran harus membayar setiap kali kendaraannya melintasi ruas-ruas jalan yang diterapkan kebijakan tersebut.
"Keberadaan infrastruktur yang bersumber dari anggaran negara hakekatnya diperuntukkan untuk rakyat. Oleh karena itu, gagasan jalan berbayar merupakan ide yang kontraproduktif," kata Okky dalam keterangannya, Rabu, 11 Januari.
Hal senada dikatakan Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna. Yayat menilai, kebijakan ERP tidak sepenuhnya efektif untuk mengurai kemacetan.
Menurut dia, kebijakan tersebut akan berjalan efektif apabila didukung dengan integrasi sistem transportasi lainnya.
"Contohnya begini, kalau dipilih 25 ruas jalan yang akan diterapkan (ERP), apakah di 25 jalan ruas itu angkutan publiknya yang sebagai pilihan pengganti sudah tersedia atau tidak. Kalau di Thamrin-Sudirman itu bisa dikatakan sudah ada MRT dan menjadi pusat dari tujuan perjalanan di Jabodetabek. Jadi, bisa dikatakan perjalanan di Jabodetabek itu terkonsentrasi di dua kawasan, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat," kata Yayat saat dihubungi VOI, Rabu, 11 Januari.
BACA JUGA:
"Jadi, kalau Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat yang menjadi fokus dari ERP, kemudian sudah ada MRT, itu sebetulnya lebih bagus. Jadi, jangan dulu di 25 (ruas jalan), tetapi diterapkan dulu masa percobaannya pada ruas jalan utama. Kalau nanti MRT sudah sampai ke Jakarta Kota, barulah bisa melintasi di Gajah Mada, Harmoni, sampai ke wilayah Utara," tambahnya.
Dengan adanya percobaan tersebut, kata Yayat, masyarakat bisa mempertimbangkan untuk membawa kendaraan pribadi yang dikenai biaya ERP atau menumpang transportasi umum tanpa harus dibebani biaya tambahan.
"Jadi, orang bisa membandingkan murah mana bayar pakai ERP atau naik MRT. Nah, jadi ada pilihan," ujarnya.