Bagikan:

JAKARTA - Keinginan mendapatkan upah yang lebih baik. Alasan inilah yang lazimnya mendorong seseorang lebih memilih menjadi pekerja migran, mengadu nasib bekerja di luar negeri. Upah sebagai asisten rumah tangga saja semisal di Malaysia berkisar Rp4,5 juta hingga Rp5 juta per bulan bersih tanpa potongan.

Angka tersebut tentu jauh lebih besar dari upah asisten rumah tangga di Indonesia pada umumnya.

Meski terlihat memberi harapan secara finansial, bukan berarti bekerja di luar negeri lebih nyaman. Banyak permasalahan yang membayangi para Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Tidak hanya soal penipuan agen tenaga kerja, data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebut PMI lazimnya juga sering mengalami perbuatan sewenang-wenang seperti pemutusan hubungan kerja sepihak, penganiayaan, pelecehan seksual, dan pekerjaan tidak sesuai perjanjian.

Sebagai upaya melindungi para pahlawan devisa, pemerintah sudah berulangkali melakukan negosiasi mendalam dengan sejumlah negara, terutama Malaysia yang hingga saat ini masih menjadi tujuan utama para pekerja migran Indonesia.

Jumlah PMI di Malaysia selama 10 tahun terakhir tidak pernah kurang dari 1,5 juta pekerja. Meski sempat menurun pada masa pandemi COVID-19, menurut data Bank Indonesia, jumlah PMI pada Maret 2022 masih mencapai 1,63 juta pekerja.

Jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia selama 10 tahun terakhir tidak pernah kurang dari 1,5 juta pekerja. (Antara/M N Kanwa/foc)

Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, Ida Fauziyah dan Menteri Sumber Manusia Malaysia saat itu, Saravanan Murugan, pada 1 April 2022, menandatangani nota kesepahaman dalam perbaikan tata kelola penempatan dan perlindungan bagi PMI.

"Secara garis besar, hal-hal prinsip yang disepakati kedua pemerintah dalam MoU ini adalah memastikan pelindungan yang lebih baik bagi PMI sektor domestik, khususnya dalam menjamin pemenuhan hak-hak PMI yang bekerja di Malaysia melalui suatu sistem yang terintegrasi yang kita sebut sebagai sistem penempatan satu kanal atau one channel system," kata Ida dalam keterangan resminya pada 1 April 2022.

Menurut Ida, sistem tersebut akan mengintegrasikan seluruh proses penempatan mulai dari rekrutmen, penyiapan, keberangkatan, penempatan, hingga kepulangan. Sistem akan menghubungkan antara kementerian dan lembaga di Indonesia dengan otoritas terkait di Malaysia. Sehingga, mempermudah kedua negara dalam melakukan pengawasan dan menekan biaya perekrutan serta penempatan PMI ke Malaysia.

“Tidak ada lagi direct hiring, melainkan semua penempatan PMI Domestik ke Malaysia melalui agensi perekrutan Indonesia dan Malaysia yang terdaftar di dalam sistem yang terintegrasi,” katanya.

Direct hiring atau dapat disebut juga re-entry hiring adalah suatu mekanisme perpanjangan kontrak kerja antara PMI dengan majikan yang sama tanpa melalui agensi maupun jasa Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) di Indonesia.

Selain itu, nota kesepahaman mengatur tata kelola penempatan. Seperti, PMI hanya akan bekerja di satu tempat/rumah, PMI dengan jabatan housekeeper dan family cook atau bisa disebut asisten rumah tangga, bekerja untuk pemberi kerja dengan jumlah keluarga maksimum enam orang dalam satu tempat atau rumah, dan PMI bekerja sesuai dengan deskripsi pekerjaan.

Juga mengatur tentang hak para pekerja, seperti PMI masuk dalam skema asuransi ketenagakerjaan Malaysia untuk pekerja asing dan asuransi kesehatan yang berlaku di Malaysia, dengan biaya premi ditanggung oleh pemberi kerja. Serta, penetapan besaran upah minimum bulanan PMI sebesar 1.500 ringgit Malaysia atau setara Rp5,10 juta (kurs Rp 3.400).

Perlu Sikap Tegas

Praktiknya ternyata masih belum sesuai harapan. Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono menemukan indikasi pelanggaran oleh otoritas imigrasi Malaysia yang masih menggunakan sistem rekrutmen online, tidak melalui one channel system.

Melakukan penempatan pekerja migran secara langsung tanpa melalui perantara sehingga membuat posisi pekerja migran tidak terpantau dan semakin rentan tereksploitasi.

Hermono, pada Juli 2022, langsung memberikan rekomendasi kepada pemerintah pusat untuk menghentikan sementara penempatan PMI di Malaysia.

Channel News Asia pada 13 Juli 2022 menuliskan, penghentian sementara pengiriman PMI menjadi pukulan berat bagi Malaysia yang merupakan produsen minyak sawit terbesar kedua di dunia dan mata rantai utama dalam rantai pasokan global. Sebab, dengan penghentian itu, Malaysia terancam kekurangan pekerja yang dapat menggagalkan pemulihan ekonominya.

Kini, kondisi kembali harmonis. Ketika bertemu Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor pada 9 Januari lalu, Perdana Menteri, Malaysia Anwar Ibrahim menyatakan komitmennya untuk memberikan perlindungan bagi PMI.

Menteri Ketenagakerjaan Indonesia, Ida Fauziyah dan Menteri Sumber Manusia Malaysia, Saravanan Murugan menandatangani nota kesepahaman dalam perbaikan tata kelola penempatan dan perlindungan bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI). (Antara/Prisca Triferna)

Anwar tidak ingin permasalahan tenaga kerja dapat membuat retak hubungan Malaysia dan Indonesia yang sebenarnya sudah sejak lama terjalin.

"Jadi kami insya Allah akan menghindari isu-isu yang dapat merenggangkan karena saya mau hubungan Indonesia-Malaysia itu lebih spesial," kata Anwar saat memberi pernyataan pers bersama Jokowi.

Jokowi juga menyambut baik komitmen Anwar Ibrahim dalam memberikan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia. Jokowi berharap agar implementasi one channel system (OCS) dapat berjalan dengan baik.

“Saya sangat berharap one channel system untuk perekrutan dan penempatan pekerja migran Indonesia benar-benar bisa kita jalankan bersama. Dan tadi saya mengulangi permintaan saya mengenai pentingnya pembangunan community learning center di Semenanjung untuk memenuhi hak pendidikan anak-anak pekerja migran Indonesia,” tutur Presiden Jokowi.