Bagikan:

JAKARTA – Wacana penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 mengemuka setelah sejumlah pihak mengajukan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bila MK mengabulkan, pemilih hanya akan mencoblos logo partai di surat suara. Perihal sosok yang menjabat sebagai anggota legislatif, mekanisme partai lah yang menentukan.

Indonesia pernah menerapkan sistem ini pada Pemilu 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, dan 1999.

Namun, bila MK menolak, pelaksanaan Pemilu 2024 menerapkan sistem proporsional terbuka seperti empat Pemilu sebelumnya. Pemilih mencoblos langsung sosok calon legislatif (caleg) yang akan mewakili mereka di DPR dan DPRD.

PDI Perjuangan, sebagai partai penguasa parlemen saat ini sangat mendukung wacana tersebut. Penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024, menurut Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto pada 8 Januari lalu, bisa menekan biaya politik dan meminimalisasi kecenderungan dominasi para pengusaha di struktur anggota legislatif.

Sejalan dengan keinginan PDI Perjuangan yang siap membuka peluang untuk para akademisi bisa menjadi caleg pada Pemilu 2024. Menurut Hasto, “Kami perlu pakar-pakar pertahanan, para pakar diplomasi yang memperjuangkan kepentingan nasional indonesia di Komisi I DPR RI, juga pakar-pakar pertanian di komisi IV.”

Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto. (Antara)

Sementara 8 partai politik (parpol) parlemen lainnya seperti, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP menyatakan sikap menolak. Mereka menganggap sistem proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia.

Pilihan tepat tetap menerapkan sistem pemilu proporsional terbuka pada Pemilu 2024. Ini merupakan perwujudan dari demokrasi yang berasaskan kedaulatan rakyat. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 

“Gugatan terhadap yurisprudensi akan menjadi preseden yang buruk bagi hukum kita dan tidak sejalan dengan asas ne bis in idem,” ucap Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartarto membacakan pernyataan sikap 8 parpol di Jakarta pada 8 Januari 2023.

Realitas Parpol

Penerapan sistem proporsional terbuka memang menutup peluang untuk para kader terbaik partai turut serta dalam kompetisi pemilu. Bahkan, cenderung memunculkan praktik vote buying. Siapa pun asal populer, memiliki uang banyak atau punya sponsor, dan mempunyai kedekatan personal dengan elite pimpinan partai dapat menjadi caleg tanpa ada standar kompetensi.

Padahal, menurut Syamsuddin Haris dalam buku ‘Menuju Reformasi Partai Politik’, untuk menjadi pejabat publik yang memperoleh mandat elektoral, seseorang semestinya telah selesai dengan dirinya sendiri. Artinya, posisi sebagai anggota legislatif dan pimpinan eksekutif di daerah bukanlah profesi untuk mencari nafkah dan memperkaya diri.

Jabatan itu untuk mereka yang memiliki komitmen luar biasa membangun masyarakat dan lingkungan secara keberlanjutan, serta menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan kolektif.

“Para Caleg Pemilu dan Paslon Pilkada seharusnya hanya terbatas pada mereka yang sungguh-sungguh merasa terpanggil untuk mengabdi dan mewakafkan sepenuh hidupnya untuk kebaikan bersama,” tulis Syamsuddin.

Delapan parpol menyatakan menolak penerapan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024. (VOI/Diah Ayu Wardani)

Kendati begitu, bukan berarti sistem proporsional tertutup juga lebih baik. Selama parpol belum memiliki standar integritas untuk para politisi dan kadernya, jangan harap sistem pemilu akan berjalan efektif.

Sulit menemukan sosok-sosok yang memiliki visi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Syamsuddin memberikan catatan permasalahan yang dialami Parpol saat ini,:

  1. Tidak ada standar etik sebagai acuan perilaku bagi Parpol dan para politisi Parpol sehingga kompetisi elektoral melalui Pemilu dan Pilkada diperlakukan sebagai pasar bebas bagi siapa saja. Tidak ada beban bagi para politisi jika sewaktu-waktu loncat pagar alias pindah Parpol, sebab tidak ada standar moralitas yang dilembagakan dan diinternalisasikan ke dalam kehidupan Parpol.

  2. Relatif tidak ada demokrasi internal, sehingga sebagian Parpol dikelola menurut selera ketua umum. Anggota, kader, dan pengurus Parpol tidak tahu-menahu, mengapa si Badu bisa menjadi calon anggota legislatif, padahal ia bukan anggota, apalagi kader partai. Anggota, kader, dan pengurus partai juga acap kali tidak memiliki akses untuk turut memilih pemimpin partai, serta memilih atau menolak kebijakan tertentu, karena proses pengambilan keputusan dilakukan secara tertutup dan oligarkis oleh segelintir elite pemimpin partai.

  3. Relatif belum terbangun sistem kaderisasi yang baku, dalam arti bersifat inklusif, berkala, berjenjang, dan berkesinambungan, serta sistem rekrutmen yang terbuka, demokratis, akuntabel, dan berbasis kaderisasi. Akibatnya, kompetisi Pemilu dan Pilkada menjadi pasar bebas, sehingga siapapun bisa menjadi Caleg Pemilu ataupun Paslon Pilkada asalkan populer, memiliki modal finansial yang cukup, serta mempunyai kedekatan personal dengan pimpinan partai.

  4. Belum ada sistem tata kelola keuangan yang baik dan akuntabel. Di satu sisi, parpol-parpol tidak memiliki sumber dana yang memadai karena iuran anggota tidak berjalan dan subsidi negara yang terbatas. Namun, sulit pula dibantah, hampir tak satupun Parpol yang memiliki sistem akuntansi dan pelaporan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Ilustrasi - Parpol yang sehat dan berkualitas akan membuat sistem pemerintahan dan demokrasi yang sehat dan berkualitas pula (Antara/Ampelsa)

“Selain permasalahan Parpol secara institusi, demokrasi Indonesia saat ini juga terpenjara dalam permasalahan sistem kepartaian yang kurang kompatibel dengan sistem presidensial,” katanya.

Sehingga, tidak cukup dengan membenahi sistem Pemilu. Menurut Syamsuddin, “Tanpa reformasi Parpol dan sistem kepartaian, demokrasi kita tak lebih sebagai demokrasi elektoral yang bersifat prosedural belaka.”