Ketika Independensi Hakim Wahyu Iman Santoso dalam Persidangan Ferdy Sambo Diuji
Wahyu Iman Santoso, ketua majelis hakim kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, yang melibatkan mantan atasannya Ferdy Sambo. (YouTube)

Bagikan:

JAKARTA – Independensi Wahyu Iman Santoso sebagai ketua majelis hakim dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan terdakwa Ferdy Sambo terus mendapat tekanan. Wahyu, sebelumnya, sempat dilaporkan ke Komisi Yudisial oleh kuasa hukum terdakwa Kuat Maruf atas dugaan pelanggaran kode etik pada 8 Desember 2022.

Kini, perbincangannya dengan seorang wanita di luar sidang terkait kasus yang tengah ditanganinya viral di media sosial. Wahyu Iman Santoso dianggap melanggar etik karena sudah berencana memberikan vonis hukuman terhadap terdakwa Ferdy Sambo.

Wahyu dalam video berkata, "Masalahnya dia enggak masuk akal banget, dia nembak pakai pistol Yosua. Tapi enggak apa-apa, sah-sah saja. Saya enggak akan pressure dia harus ngaku, saya enggak butuh pengakuan.”

“Kita bisa menilai sendiri. Silakan saja saya bilang mau buat kaya gitu. Kemarin tuh sebenernya mulut saya sudah gatel, tapi saya diemin aja," tambah Wahyu Iman Santoso yang juga menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).

Hakim Wahyu Iman Santoso saat memimpin sidang kasus pembunuhan Brigadir J dengan terdakwa Ferdy Sambo. (Antara/Sigid Kurniawan)

Namun, Pejabat Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Djuyamto menganggap video tidak menampilkan utuh perbincangan tersebut. Hanya potongan atau editan.

“Kami sudah klarifikasi, beliau dalam pernyataan sebenarnya hanya menyampaikan penjelasan yang sangat normatif terkait konsekuensi pidana mati, seumur hidup, maupun 20 tahun penjara dalam pasal tentang pembunuhan berencana,” ujar Djuyamto dalam siaran pers pada 6 Januari lalu.

Sehingga, video tidak menutup kemungkinan hanya lah upaya mengganggu konsentrasi dan independensi hakim Wahyu Iman Santoso.

“Persidangan saja masih pada tahap pembuktian, belum masuk pembahasan soal vonis maupun putusan, tapi narasi video bilang adanya pembocoran atau pengaturan putusan, sangat menyesatkan,” kata Djuyamto.

Menko Polhukam Mahfud MD pun menduga video tersebut adalah upaya teror agar hakim tidak berani memvonis berat Ferdy Sambo.

“Logikanya, biar hakim ragu memvonis Sambo karena khawatir vonisnya dinilai sebagai hasil konspirasi karena sama dengan video yang telah viral sebelumnya. Saya dulu sering mengalami hal yang sama,” tulis Mahfud dalam akun Instagram pada 7 Januari 2023.

Menko Polhukam Mahfud MD menduga video viral Hakim Wahyu Iman Santoso adalah upaya teror agar hakim tidak berani memvonis berat Ferdy Sambo. (Instagram/@mohmahfudmd)

Semasa menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013, dia sempat mengadili perkara Pilkada Gubernur Maluku Utara yang digugat oleh Gafur. Tiga hari sebelum vonis, beredar berita Ketua MK Mahfud MD sudah dipanggil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar gugatan Gafur dikalahkan.

“Saya tahu itu teror agar saya tak berani mengalahkan Gafur. Tetapi saya tak peduli, Gafur tetap kalah di MK. Wong saya tak pernah bicara perkara apa pun dengan Presiden SBY kok dituding saya bersekongkol dgn SBY,” imbuhnya.

Mengadili Terdakwa

Hakikat hakim yang paling hakiki adalah mengadili, bukan menghukum. Hakim, menurut Binsar M Gultom dalam buku ‘Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia 4’ tidak sembarang memutus dengan sekilas pandang saja, tetapi akan mengadili dan memutus perkara dengan hati nurani, serta sesuai dengan fakta hukum secara komprehensif dan objektif.

Ketika hakim berhadapan dengan berbagai kasus di pengadilan, dia akan mengaktualisasikan pengalaman, pengetahuan, dan sumber hukum serta undang-undang yang berlaku. Kemudian, fakta tersebut dikemas dan dielaborasi menjadi suatu rangkaian tak terpisahkan dengan alat bukti yang ada.

Ada kalanya tidak satu pun alat bukti primer (saksi mata) yang melihat langsung peristiwa pidana. Sehingga, kata Binsar, hakim harus terus menggali fakta yang terjadi di persidangan dari berbagai sudut pandang sesuai keyakinan hakim melalui petunjuk dan pengamatan hakim dan aturan hukum yang berkembang dan berlaku.

Ada kalanya pula terdakwa berdalih bukan dirinya sebagai pelaku peristiwa pidana. Hakim harus bisa memprediksi kualitas nilai pembuktian kesaksian terdakwa lebih rendah daripada alat-alat bukti lain, seperti keterangan saksi, keterangan ahli, dan surat, petunjuk. Sebab, mengacu pasal 189 ayat 3 KUHAP keterangan terdakwa hanya berlaku bagi dirinya sendiri.

“Meski terdakwa acap kali menyangkal dirinya sebagai pelaku peristiwa pidana atau mungkin mengakui perbuatan itu, hakim tidak boleh begitu saja percaya. Hakim harus mempertimbangkan dan menganalisa keterangan itu secara komprehensif serta menghubungkannya dengan alat-alat bukti dan barang bukti yang ada,” tulis Binsar.

Hakim Wahyu Iman Santoso berbicara dengan Jaksa Penuntut Umum dan tim kuasa humum terdakwa Bharada E dalam kasus pembunuhan Brigadir J. (Antara/Muhammad Adimaja)

Ketika menurut hakim terdakwa adalah bohong, hal itu adalah hak terdakwa, hakim pun tidak boleh sama sekali memaksa terdakwa supaya mengakui perbuatannya. Biarkan saja ia berbicara apa adanya. Namun, suara perasaan hakim, harus bisa berbicara melalui petunjuk dan pengamatan selama dalam persidangan

“Dari dasar pertimbangan hukum itulah muncul kesimpulan terdakwa bersalah atau tidak, lalu menentukan hukuman yang sesuai dan setimpal dengan perbuatan terdakwa,” ucapnya.

Independensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan putusan atas setiap perkara. Ini terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.

“Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan atau balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari kelompok atau golongan tertentu,” ucap Yudi Krismen, dalam buku Sistem Peradilan Pidana Indonesia.