JAKARTA - Fenomena kecanduan gawai pada anak usia 6-12 tahun, setidaknya pascapandemi semakin mengkhawatirkan. Anak, menurut Retno Listyarti, seolah tak bisa lepas dari gawai dalam aktivitasnya sehari-hari.
“Sepulang sekolah yang dicari pasti handphone. Mau tidur, harus main handphone, bangun tidur ingat handphone,” katanya kepada VOI, Jumat (6/1).
Bila terus diabaikan, anak cenderung akan malas bergerak dan nantinya cenderung lebih individualis. Belum masalah-masalah kesehatan lain, seperti mata minus dan obesitas karena terlalu banyak makan tetapi kurang gerak.
Itulah mengapa, anak perlu pengalihan dari gawai. Tren bermain lato-lato saat ini, menurut Retno, sebenarnya bisa menjadi awal positif untuk anak kembali bermain permainan tradisional lainnya. “Tinggal bagaimana lingkungan termasuk orangtua dan keluarga terus memperkenalkan ragam permainan tradisional kepada anak.”
“Anak tidak memainkan permainan tradisional, mungkin memang karena tidak ada di dekat dia, tidak diperkenalkan, tapi kalau diperkenalkan kemungkinan besar anak akan memainkan. Apalagi, tidak butuh biaya mahal, dalam arti tidak butuh kuota internet, tidak butuh handphone. Lebih menyenangkan juga,” tuturnya.
Psikolog anak, Seto Mulyadi berpendapat sama. Permainan tradisional dapat lebih mengurangi waktu anak bermain dengan gawainya. Tidak hanya lato-lato, masyarakat Indonesia mengenal banyak permainan tradisional yang menyenangkan.
“Contoh egrang dan permainan-permainan yang berkelompok seperti gobak sodor, engklek, bentengan, petak umpet, dan sebagainya. Membuat anak lebih terampil,” kata Kak Seto, sapaan akrab Seto Mulyadi kepada VOI pada Jumat (6/1).
Ragam permainan tradisional tersebut, menurut Kak Seto, lebih memiliki banyak manfaat. “Mengajarkan nilai-nilai moral, karakter, kejujuran, membudayakan antre, bekerja sama, melatih kemampuan otak kanan dan kiri, serta banyak hal positif lainnya.”
“Dengan berlari, melompat, memanjat, itu kan untuk perkembangan psikomotoriknya, jadi anak lebih gesit, lincah, lebih sehat karena dengan bergerak darah bisa mengalir lebih lancar, dan berdasar dari beberapa penelitian, anak akan lebih mudah belajar ketika aktifitas fisik rutin dilakukan,” Kak Seto menambahkan.
Ragam Manfaat
Iswinarti dalam buku ‘Permainan Tradisional Indonesia: Dalam Tinjauan Perkembangan Kognitif, Sosial, dan Kepribadian’ menjelaskan hasil studinya. Dia menilai sejumlah permainan tradisional memiliki manfaat besar dalam perkembangan intelektual, sosial, maupun kepribadian anak.
Dalam perkembangan intelektual, permainan tradisional dapat memberi sumbangan bagi kemampuan anak dalam berpikir logis, mengikuti aturan, mengatur strategi, mengikuti aturan permainan yang lebih kompleks, berhitung, ketelitian, dan ketepatan serta kreativitas.
Dalam perkembangan sosial, permainan tradisional dapat membantu anak bersosialisasi, berkomunikasi, berkompetisi, bekerjasama dengan anak lain, belajar membagi kelompok dan belajar menjadi pemimpin.
“Dalam perkembangan kepribadian, permainan tradisional dapat meningkatkan harga diri dan rasa percaya diri anak, memberikan kebanggaan atas keterampilan yang dimiliki serta membuat anak bergembira sehingga dapat mengurangi ketegangan emosional yang dialami,” tulisnya.
Contoh dalam permaintan tradisional seperti bentengan, gembatan, goak-goakan, gobak sodor, benteng, dan wakwak gung. Berdasar analisis, permainan-permainan ini memiliki nilai-nilai pembelajaran dalam empat aspek kompetensi sosial, satu di antaranya aspek kerjasama.
Perilaku yang dapat dipelajari anak dalam aspek tersebut tampak dalam sejumlah indikator, seperti:
- Berinteraksi positif. Dalam seluruh permainan tradisional tersebut anak akan berkomunikasi dengan anak lain ketika bermain, misalnya ketika melakukan serangan, mengatur strategi, menyampaikan kecurangan, dan lain-lain.
- Berbagi gagasan. Anak akan belajar menyampaikan ide ketika mereka mengatur strategi. Anak juga dapat memberikan material misalnya berupa bola yang dapat diumpan kepada temannya dalam permainan gembatan ataupun anak kayu dalam permainan penteng.
- Bekerja dengan anak lain dalam kelompok. Memberi dukungan kepada anak lain yang sedang dalam bahaya. Misalnya permainan bentengan, anak akan berusaha menyelamatkan temannya yang disandera lawan.
“Lalu, dalam gembatan anak berusaha mengecoh lawan agar temannya tidak dilempar bola. Dalam gobag sosor, anak berusaha mengecoh lawan agar temannya dapat melewati garis. Dalam semua permainan anak akan belajar berbagi tugas dengan anak lain dalam timnya, baik dalam melakukan penyerangan, penyelamatan, maupun usaha untuk memenangkan pertandingan,” ucap Iswinarti.
Belum lagi pembelajaran dalam aspek-aspek lainnya, semisal problem solving terkait mengatur strategi, mengambil keputusan, mengatasi konflik. Aspek pengendalian diri, dan aspek empati.
Masuk Kurikulum
Kak Seto berharap masyarakat bersama pemerintah terus mengampanyekan permainan-permainan tradisional. Agar anak-anak Indonesia lebih mengenal jati diri bangsanya, yakni gotong royong dan kerjasama.
“Kami pernah lakukan 3-4 tahun lalu, dimana kami mengampanyekan kembali permainan tradisional. Kami mengajak Presiden bersama Ibu Negara dan empat Menteri, waktu itu ada Menteri Sosial, Pendidikan, Menteri Kesehatan, dan Menteri PMK. Bermain bersama dengan sekitar 800 anak-anak dari berbagai sekolah berbagai lapisan, di halaman samping Istana Negara. Saya juga sudah mendorong dimasukkan kurikulum,” ucapnya.
Retno pun ingin permainan tradisional masuk ke jam-jam pelajaran sekolah dasar. Misal lewat pelajaran kesegaran jasmani, “Jangan hanya basket, badminton, atau bola. Perlu juga anak diajak main bentengan atau permainan-permainan lainnya yang lebih menonjolkan corak gotong royong dan kerjasama. Atau, lewat ekstrakurikuler lain.”
Sehingga, keberadaan permainan-permainan tradisional bisa lebih populer dan diminati anak-anak Indonesia, khususnya di kota-kota besar.
“Jangan hanya sekali setahun saja diperkenalkan. Sayang saja, kita punya kekayaan budaya yang tinggi tetapi disia-siakan,” tandas Retno, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) periode 2017-2022 ini.