Bagikan:

JAKARTA - Sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 Desember 2022 sempat diwarnai perdebatan antara Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso dengan tim penasihat hukum terdakwa Ferdy Sambo.

Hakim Wahyu memotong penasihat hukum Ferdy Sambo saat sedang menggali keterangan dari saksi Ricky Rizal karena merasa waktu yang diberikan sudah habis.

“Cukup,” kata hakim.

Namun, penasihat hukum menolak karena merasa masih banyak keterangan saksi yang harus digali lebih dalam, “Belum majelis, masih banyak.” 

“Ini bagaimana dengan penasihat hukum Putri?” Hakim kembali bertanya.

“Iya majelis ini kan menggali kebenaran materiil, mohon waktu,” jawab penasihat hukum.

Hakim Ketua kembali menegaskan, “Iya, makanya kan saya berikan waktu 45 menit dari awal. Saya kasih waktu 2 pertanyaan lagi.”

Tim penasihat hukum bersikeras menolak, “Jangan majelis, masih banyak.”

“Trus mau sampai jam berapa?” tanya hakim yang kemudian ditimpali lagi oleh penasihat hukum, “Sabar majelis.”

Sidang kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan terdakwa Ferdy Sambo. (Antara/Sigid Kurniawan)

Nada bicara Hakim Wahyu mulai meninggi. Dia menilai pertanyaan yang diajukan penasihat hukum lebih banyak mengulang.

“Iya, makanya kita sepakat dulu, dari bolak-balik tadi kita sudah tanyakan, saya diam saja. Apa yang saudara tanyakan sudah kami tanyakan tapi saudara gali lagi,” ujarnya.

“Dari awal sudah saya sampaikan. Yang sudah ditanyakan jangan diulang. Saya berikan di awal kan 45 menit,” lanjut Hakim.

“Saya upayakan tidak majelis,” jawab penasihat hukum.

Hakim Wahyu tetap tegas, “Dua pertanyaan lagi!” Namun, penasihat hukum kembali menimpali, “Jangan majelis.”

“Trus maunya bagaimana, kita mau sampai kapan?”

“Beberapa lagi majelis,” sahut tim. “Tidak bisa!” jawab hakim.

Penasihat hukum langsung mengarahkan pandangannya ke hakim. Dengan nada meninggi, dia menimpali, “Majelis kan enak sudah periksa mereka sebelumnya. Kita baru kali ini dan dikasih 45 menit. Ini kita cari kebenaran materil atau apa nih majelis, sidang kita ini?” 

“Saya mengonfirmasi majelis. Kita belum pernah bertanya ke mereka loh, majelis,” penasihat hukum menambahkan.

“Saudara mengulang pertanyaan yang sama yang sudah ditanyakan. Apa yang ditanyakan diterangkan oleh saksi sudah cukup jelas,” hakim Wahyu menegaskan kembali pernyataan sebelumnya.

“Bagi kami belum majelis, kami mau konfirmasi lagi,” penasihat hukum kembali menimpali.

Hakim langsung memutuskan, “Silakan saudara ajukan itu, tapi saya membatasi waktunya silakan.”

Penasihat hukum kemudian melanjutkan pertanyaannya mengenai perubahan BAP ke saksi Ricky Rizal sambil membandingkan BAP Richard Eliezer yang sudah beberapa kali berubah.

Sikap Tendensius

Dalam sidang sebelumnya gaya kepemimpinan hakim ketua, Wahyu Iman Santoso juga sempat dipermasalahkan oleh tim penasihat hukum terdakwa Kuat Maruf, Irwan Irawan. Bahkan sampai dilaporkan ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung oleh Irwan pada 7 Desember lalu.

Irwan menganggap pernyataan hakim Wahyu terhadap para saksi dalam persidangan terlalu tendensius. Melanggar Pasal 158 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.

"Itu tidak hanya berdampak buruk bagi kredibilitas dirinya, tapi juga berdampak buruk pada kredibilitas institusi pengadilan di Indonesia," kata Irwan.

Terdakwa Kuat Maruf sempat dicecar pertanyaan terkait peristiwa pelecehan di Magelang oleh Hakim Ketua Wahyu Iman Santoso. (Antara/Indrianto Eko Suwarso)

Contoh, pernyataan hakim Wahyu terhadap Kuat Maruf yang disebut konsisten dalam berbohong.

“Kemudian saat Kodir diperiksa, ini setingan semua. Berarti sudah menyimpulkan, harus diuji dengan keterangan yang lain. Kesimpulan-kesimpulan seperti itu yang menurut kami tidak pada tempatnya disampaikan majelis dalam pemeriksaan saksi," ungkap Irwan saat dikonfirmasi.

Komisi Yudisial memastikan akan memverifikasi terlebih dahulu aduan tersebut. Selama proses ini, hakim yang bersangkutan tetap memimpin sidang.

“Ini dua area terpisah. KY akan verifikasi dahulu, bisa lanjut atau tidak aduannya. Kemudian barulah pemeriksaan, bila terbukti bersalah baru diberikan sanksi. Tidak ada sanksi tanpa dilakukan pemeriksaan,” kata juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting saat dikonfirmasi beberapa waktu lalu.

Kekuasaan Kehakiman

Dr. Yudi Krismen dalam buku ‘Sistem Peradilan Pidana Indonesia’ menerangkan ada enam prinsip dalam kekuasaan kehakiman yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yakni:

  1. Independensi

Independensi melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan putusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari berbagai pengaruh yang berasal ari luar diri hakim.

  1. Ketidakberpihakan

Merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, dan tidak mengutamakan salah satu pihak mana pun, disertai penghayatan yang mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara.

  1. Integritas

Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan kebutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas dan jabatannya.

Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, diserta ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan-godaan lainnya.

Tim penasihat hukum Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi. (Antara/Tri Meilani Ameliya)
  1. Kepantasan dan Kesopanan

Merupakan norma kesusilaan pribadi dan kesusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan.

  1. Kesetaraan

Merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain.

  1. Kecakapan dan Keseksamaan

Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sementara, keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.

“Tujuan utama kekuasaan kehakiman menurut konstitusi adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur melalui jalur hukum,” kata Yudi.