Bagikan:

JAKARTA – Rakyat tentu berharap Pemilu 2024 bisa menghadirkan sosok berkualitas dan berintegritas yang bisa membawa Indonesia mewujudkan tujuannya. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selain partai politik, faktor terkait lain yang tak kalah penting juga adalah rakyat itu sendiri sebagai pemilih. Muhadam Labolo dan Teguh Ilham dalam buku ‘Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia’ berpendapat hal pertama yang perlu dipastikan adalah tingkat kemampuan pemilih dalam melihat, mengamati, hingga memilih para calon yang berkualitas dan berintegritas.

Pemilih harus selektif, mampu membedakan mana calon yang hanya mengumbar janji dan calon yang benar-benar bekerja untuk rakyat, terlebih sistem yang diterapkan adalah pemilihan langsung.

Permasalahan saat ini, menurut Muhadam dan Teguh, pemilih di Indonesia belum bisa dikatakan kritis dan rasional. Mungkin karena pilihan yang tersedia belum memiliki diferensiasi yang jelas terkait ideologi dan program kerja yang diusung setiap calon.

Pemilih sebagai penentu utama hasil pemilu haruslah mempunyai daya kritis yang tinggi terhadap calon-calon yang tersedia. (Twitter)

“Selama ini yang kita perhatikan setiap calon cenderung seragam dalam menggunakan taktik mendulang suara sebanyak-banyaknya, yaitu dengan cara berkoalisi dengan partai yang berbeda ideologi. Sikap pragmatis yang mereka tunjukan ini dapat ditebak tujuannya, yaitu untuk mendapatkan dukungan suara sebanyak-banyaknya dari semua kelompok pemilih,” tuturnya.

Pemilih rasional, menurut Muhadam dan Teguh, merupakan pemilih yang memiliki orientasi tinggi pada policy-problem solving. Pemilih tipe ini tidak terlalu melihat dari partai mana seorang calon berasal, yang penting sejauh mana program kerja partai politik atau calon kontestan dapat menguntungkan dirinya. Pemilih rasional cenderung tidak mempertimbangkan orientasi ideologi partai.

Sedangkan pemilih kritis merupakan pemilih yang memadukan antara orientasi kinerja partai dengan orientasi ideologi. Selain melihat kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menuntaskan permasalahan bangsa, pemilih tipe ini  juga mempertimbangkan kesesuaian ideologi partai dengan ideologi dirinya.

Tradisional dan Skeptis

Justru, kata Muhadam dan Teguh, mayoritas pemilih di Indonesia adalah pemilih tradisional dan pemilih skeptis.

Pemilih tradisional memiliki pertimbangan yang sangat kuat dalam hal ideologi. Tingginya tingkat fanatisme cenderung membuat pemilih tipe ini tak lagi memperhatikan program atau kinerja dari calon atau partai politik. Pertimbangannya lebih mengarah ke kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, dan agama.

Sementara, pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan partai politik atau seorang calon. Tidak pula menjadikan kebijakan atau program kerja sebagai sesuatu yang penting. Pemilih tipe ini cenderung hanya menjadikan ajang pemilu sebagai formalitas ataupun penggugur kewajiban belaka.

Mungkin karena mereka kurang mendapatkan informasi atau mungkin mereka bingung karena tidak ada satu pun program atau ideologi yang sesuai dengan pilihannya. Atau, mereka tidak peduli karena menganggap politik hanya sekadar alat kekuasaan dan meraup keuntungan.

Desain sementara surat suara dan formulir Pemilu 2024. (Antara/Nyoman Hendra Wibowo)

Itulah mengapa, kata Muhadam dan Teguh, “Jika taktik merangkul semua golongan tetap dipakai dan program kerja setiap calon juga sama, sama-sama abstrak, maka akan dapat dipastikan mayoritas tipe pemilih Indonesia adalah tipe pemilih skeptis.”

Namun, jika peserta pemilu memiliki program kerja yang jelas, terukur, dan tentu saja berbeda dengan peserta lain, maka kemungkinan mayoritas pemilih yang akan muncul nanti adalah tipe pemilih rasional.

Pemilih sebagai penentu utama hasil pemilu haruslah mempunyai daya kritis yang tinggi terhadap calon-calon yang tersedia. “Pemilih harus bisa menilai secara objektif, partai politik atau calon mana yang paling cocok dan dibutuhkan oleh mereka. Dengan begitu, kualitas hasil pemilu akan semakin baik pula,” tandasnya.

Sikap kritis sederhananya dapat diperoleh dengan memperbanyak literasi. Mencari tahu informasi dan rekam jejak para calon, khususnya calon yang akan dipilih. Bukan cuma calon Presiden dan calon Wakil Presiden, tetapi juga calon anggota legislatif.  Sehingga, pemilih bisa lebih memahami program-program apa cocok untuk mereka.