Bagikan:

JAKARTA - Jaksa penuntut umum mengulik keterangan Putri Candrawathi mengenai hubungannya dengan korban almarhum Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Ini menyambung pernyataan terdakwa Richard Eliezer dalam persidangan sebelumnya dan hasil tes poligraf saat dalam pemeriksaan penyidikan.

Richard, pada sidang 30 November lalu, mengatakan sebagai ajudan dan driver Putri Candrawati, hubungan Yosua dengan bosnya memang dekat. Putri lebih memilih berpergian bersama Yosua meski ada dia dan Matius, ajudan Ferdy Sambo lainnya yang berjaga di kediaman Saguling.

“Kegiatan rutin memang berdua meski saya dan Matius ada di Saguling,” kata Richard kepada hakim.

“Jadi dalam kegiatan rutin sehari-harinya mereka hanya pergi berdua saja tanpa ada orang lain mendampingi? Walaupun ada Anda dan Saudara Matius?” Hakim menegaskan kembali. “Iya, siap yang mulia,” jawab Richard.

Namun, Putri pada sidang 12 Desember lalu, menyangkal bila kedekatannya dengan Yosua dianggap sebagai perselingkuhan.

"Yosua adalah driver saya, yang saya anggap sebagai anak kami," jawab Putri.

"Tidak ada hubungan romantis?" tanya jaksa. "Tidak ada," tegas Putri.

Terdakwa Putri Candrawathi (tengah) saat menjalani persidangan kasus pembunuhan Brigadir J yang melibatkan suaminya, Ferdy Sambo. (VOI/Irfan Meidianto)

Jaksa kemudian membandingkan dengan hasil tes poligraf Putri terkait pertanyaan perselingkuhan yang menunjukkan jawaban dengan indikasi kebohongan.

“Di sini indikasi berbohong, bagaimana dengan itu?” tanya Jaksa yang kemudian dibantah oleh Putri, “Saya tidak tahu itu.”

Saksi ahli poligraf dari Polri, Aji Febrianto mengatakan Putri terindikasi berbohong ketika menjawab sejumlah pertanyaan dalam tes poligraf.

“Putri Candrawathi minus 25, Ferdy Sambo minus 8. Terdakwa lainnya, Kuat Maruf dua kali tes dengan hasil berbeda, pertama plus 9 dan kedua minus 13. Minus berarti terindikasi bohong,” kata Aji dalam sidang pada 14 Desember 2022.

Sementara, terdakwa Ricky Rizal juga menjalani dua kali tes dengan hasil sama terindikasi jujur. Begitupun Richard Eliezer.

Poligraf, menurut Aji, adalah aktivitas pemeriksaan dengan menggunakan alat poligraf untuk menentukan seseorang apakah teridentifikasi bohong atau jujur. Sesuai jurnal yang diterbitkan Asosiasi Poligraf Amerika, tes ini memiliki keakuratan 93 persen.

Pemeriksaan Poligraf

Namun, menurut Philip Houston dalam buku Spy The Lie, mesin poligraf tidak mendeteksi kebohongan. Mesin ini mendeteksi perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi dalam tubuh seseorang ketika menanggapi rangsangan berupa pertanyaan yang diajukan oleh pemeriksa poligraf.

Pena-pena di atas segulung kertas poligraf mencatat empat tanggapan fisiologis terhadap stimulus. Ada dua trase yang terkait dengan pernapasan, satu trase terkait dengan aktivitas kardiovaskuler, dan satu trase terkait dengan tanggapan kulit galvanis yang mencatat perubahan-perubahan kelembapan kulit.

“Pemeriksa poligraf akan memberikan catatan-catatan pinggir yang cermat pada grafik-grafik untuk menunjukkan titik-titik tempat ia mulai dan selesai mengajukan pertanyaan dan titik ketika orang yang diperiksa memberikan jabawan ya atau tidak,” kata Houston.

Ketika menyimpulkan pemeriksaan poligraf, pemeriksa mempelajari grafik-grafik untuk menganalisis tingkat reaksi fisiologis orang yang diperiksa sewaktu menanggapi tiap pertanyaan.

“Berdasarkan aturan yang terdefinisi dengan baik untuk analisis grafik, jika indikator fisiologis dalam menjawab suatu pertanyaan memenuhi kriteria untuk menunjukkan kebohongan, pemeriksa akan menandai pertanyaan itu sebagai daerah bermasalah yang menuntut perhatian lebih lanjut,” imbuh Houston.

Ilustrasi pemeriksaan uji kebohongan melalui tes poligraf. (Freepik)

Artinya, tes poligraf memang bisa menjadi bukti persidangan ketika dijadikan sebagai keterangan ahli. Namun, menurut mantan ketua Asosiasi Psikolog Forensik Indonesia, Yusti Probowati Rahayu, “Yang menjadi alat bukti adalah keterangan atas analisa hasil tes poligraf, dan bukan hasil tes poligraf itu sendiri.”

Sebab, banyak faktor yang bisa mempengaruhi hasil tes poligraf. Bila terperiksa dalam kondisi gugup, stres, sedih, panik lelah, atau sakit, hasil tes juga mungkin akan menunjukkan gejala yang sama dengan indikasi kebohongan. Sebaliknya, bila terperiksa sudah sangat terlatih, alat uji kebohongan ini bisa saja menampilkan suatu pola yang tidak menunjukkan kalau orang tersebut berbohong.

Terlebih, Putri dalam tanggapannya di persidangan mengakui, masih dalam keadaan shock ketika menjalani pemeriksaan poligraf. Pemeriksaan pun dilakukan dalam ruang tertutup kedap suara dan dilakukan oleh dua orang pria. Tanpa ada pendampingan psikolog.

Sebagai korban kekerasan seksual, tentu tak mudah melupakan apa yang dialaminya. Yosua, menurut pengakuan Putri di sidang sebelumnya, telah melecehkannya, mengancam, dan menganiayanya ketika berada di Magelang.

“Saya diminta menjelaskan kejadian dari tanggal 2-8 Agustus. Tanggal 7 nya saya berhenti. Saya menyampaikan kepada dua orang yang bertanya, saya tidak sanggup karena saya tidak mau menceritakan tentang kejadian kekerasan tersebut, namun salah satu pemeriksa bilang ibu harus menceritakan karena ibu sudah ada di sini,” ungkap Putri pada 14 Oktober 2022.

“Saya menangis karena di dalam ruangan itu hanya ada dua orang pria, tanpa didampingi psikolog. Saya hanya bisa menangis. Saya melanjutkan (pemeriksaan) karena takut dianggap tidak kooperatif,” Putri menambahkan.

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar pun memastikan tes poligraf hanya komplementer saja dan tidak termasuk alat bukti sebagaimana Pasal 184 KUHAP.

“Jika hasilnya dituangkan dalam bentuk surat, akan menjadi alat bukti surat, tetapi isinya sepenuhnya menjadi kewenangan hakim untuk mempertimbangkan atau tidak mempertimbangkan,” imbuh  Fickar kepada VOI, Kamis (15/12).