Potensi Muncul Saksi Mahkota dalam Sidang Ferdy Sambo
Ferdy Sambo saat menjalani sidang perdana atas perkara kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 17 Oktober 2022. (Antara/Sigid Kurniawan).

Bagikan:

JAKARTA - Richard Eliezer, Ricky Rizal, Kuat Maruf, atau Putri Candrawathi kemungkinan akan dijadikan saksi dalam sidang Ferdy Sambo. Sebab, bila merujuk surat dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa Ferdy Sambo, keempatnya terlibat dalam upaya pembunuhan Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat. Paling tidak, berada di tempat kejadian perkara saat terjadinya penembakan.

Seorang terdakwa menjadi saksi bagi terdakwa lainnya atau yang dikenal dengan istilah saksi mahkota memang tidak ditemui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, itu bisa saja terjadi karena minimnya alat bukti.

Seperti tertuang dalam Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-69/E/02/1997 Tahun 1997 tentang Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Dalam praktiknya, saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan (deelneming), terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim.

“Dengan pertimbangan bahwa dalam status sebagai terdakwa, keterangannya hanya berlaku untuk dirinya sendiri,” kata Fickar kepada VOI, Rabu (26/10).

Terdakwa Ricky Rizal bisa menjadi saksi mahkota di sidang Ferdy Sambo. (Antara)

Dalam rumusan hukum kamar pidana Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 05 Tahun 2014 tanggal 1 Desember 2014 juga menyatakan pengajuan saksi mahkota (dalam praktek) dimungkinkan apabila memenuhi syarat:

  1. Perkara tersebut dipisah
  2. Terdakwa dalam kedudukan sebagai saksi diberitahukan tentang hak-haknya dan konsekuensi hukumnya
  3. Dalam perkara tersebut alat bukti sangat minim.

Kendati begitu, menurut Fickar, memang orang yang sama-sama menjadi terdakwa sebaiknya tidak dijadikan saksi karena objektifitasnya pasti terganggu dengan kepentingannya juga sebagai terdakwa.

“Tapi karena mungkin tidak ada saksi lain yang menyaksikan, melihat, dan mendengar, jadi dari 4 saksi itu dipisah menjadi 4 perkara, sehingga masing-masing terdakwa bisa menjadi saksi terhadap terdakwa yang satunya,” Fickar menambahkan.

Adapun pembuktiannya nanti, kata Fickar, masuk dalam ranah kewenangan hakim. “Sebab, hukum dijatuhkan atas dasar minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim.”

Teori Pembuktian

Andi Muhammad Sofyan dalam buku ‘Hukum Acara Pidana’ edisi ketiga mengatakan pembuktian secara umum terbagi atas empat teori.

Pertama, berdasar undang-undang secara positif. Jika sesuatu perbuatan telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, keyakinan hakim tidak diperlukan lagi.

Namun, kata Andi, teori undang-undang secara positif berkembang pada abad pertengahan dan sekarang sudah ditinggalkan. Teori ini sudah selayaknya tidak dianut lagi di Indonesia.

“Bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu. Lagi pula, keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat,” tulis Andi.

Kedua berdasar undang-undang secara negatif. Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan berdasarkan minimal dua alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang.

Atas dasar alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa.

Sesuai Pasal 183 KUHAP, “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Ketiga berdasar keyakinan hakim melulu. Dalam teori ini, hakim mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinan belaka dengan tidak terikat oleh suatu peraturan. Sehingga, keputusan pidana yang diambil cenderung subjektif.

“Putusan-putusan hakim seperti ini sukar untuk dilakukan, oleh karena badan pengawas tidak dapat tahu apa pertimbangan-pertimbangan hakim yang menghasilkan pendapat hakim kepada suatu putusan,” kata Andi.

Wirjono Prodjodikoro dalam buku ‘Hukum Acara Pidana di Indonesia’ berpendapat, “Sistem sekarang tidak dianut di Indonesia oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.”

Ilustrasi - Hukum dijatuhkan atas dasar minimal dua alat bukti dan keyakinan hakim. (fjp-law.com)

Keempat, berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis. Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya dengan alasan tertentu. Jadi pangkal tolaknya terhadap keyakinan hakim dan dasarnya adalah suatu kesimpulan yang tidak didasarkan undang-undang.

“Teori ini disebut juga pembuktian bebas, karena hakim bebas menyebut alasan-alasan keyakinannya,” Andi menuliskan.

Dari keempat teori tersebut, sistem pembuktian yang dianut di Indonesia adalah berdasar undang-undang secara negatif. Menurut Wirjono, sistem pembuktian ini sebaiknya dipertahankan berdasar dua alasan:

  1. Memang selaiknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana. Janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
  2. Berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.

Mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto pun mengingatkan dalam menginterpretasi tidak boleh mengada-ada. Dalam hukum pidana ada yang dinamakan relevansi berdasarkan UU Hukum Pidana dan aturan main dalam menginterpreatsi ketat.

“Ada asas proporsionalitas, asas subsidiaritas, dan banyak lagi. Ini harus dipegang teguh, tidak boleh seenaknya saja,” kata Adi dalam buku ‘Menjadi Hakim yang Agung’.

Asas proporsionalitas adalah ketika interpretasi harus mempertimbangkan adanya keseimbangan antara cara dan tujuan. Sedangkan asas subsidiaritas ketika interpretasi dihasilkan pemecahan yang tidak menimbulkan kerugian besar.