JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengumumkan sekolah diperbolehkan melakukan kembali kegiatan aktivitas belajar mengajar pada Januari 2021 atau pada semester genap tahun ajaran 2020-2021.
Kebijakan ini menjadi sorotan lantaran kondisi penyebaran COVID-19 di Indonesia masih belum bisa dikatakan sudah dapat teratasi dengan baik.
Keputusan Nadiem ini karena didasari beberapa hal, termasuk dari hasil survei internal Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) yang dilaksanakan pada Oktober.
Lewat survei tersebut, pemerintah pusat mendapat gambaran, ada sejumlah dampak negatif dari pembelajaran jarak jauh (PJJ) di tengah pandemi COVID-19, seperti tingginya angka putus sekolah karena ada siswa yang diminta orang tuanya untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga, tekanan yang membuat pelajar menjadi stres hingga banyak siswa yang terjebak dalam kasus kekerasan karena tidak terdeteksi guru di sekolah.
Sehingga, dia memutuskan pemerintah daerah kini mendapat keleluasaan untuk menentukan pembukaan sekolah di wilayah mereka. Namun tak hanya pemda, ada dua pihak lain yang harus satu suara agar sekolah bisa kembali dibuka dan kegiatan belajar mengajar bisa dilakukan tatap muka, yaitu kepala sekolah dan orang tua murid yang diwakili oleh komite sekolah.
Ketika tiga pihak ini sepakat, maka sekolah di satu wilayah dapat dibuka kembali meski harus mengalami beberapa penyesuaian di masa pandemi. Di antaranya, mengurangi jumlah murid yang hadir sebanyak 50 persen, dan tidak melaksanakan aktivitas yang membuat kerumunan seperti kegiatan olahraga serta ekstrakulikuler.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menilai pemerintah seharusnya tak tergesa-gesa dan mesti memiliki perhitungan yang matang terkait kembali dibukanya sekolah untuk pembelajaran tatap muka.
Dia menyebut, perlu ada strategi komperhensif dari pemerintah untuk menyambut pembukaan sekolah, mengingat saat ini kondisi Indonesia untuk melakukan pembukaan sekolah dianggap belum cukup aman. Apalagi hingga saat ini, angka positivity rate di Tanah Air sebetulnya belum siap untuk adanya pelonggaran karena masih berada di atas 10 persen.
"Dari segi kondisi dan data epidemiolog saat ini, berdasarkan kriteria pelonggaran WHO, kriteria reopening sekolah, pesantren, dan kampus ini belum terpenuhi," kata Dicky saat dihubungi VOI, Senin, 23 November.
Kriteria pelonggaran menurut World Health Organization (WHO) yang disinggungnya adalah positivity rate yang harusnya di bawah lima persen dan menurunnya angka kasus positif harian selama dua pekan berturut-turut.
"Ini yang harusnya dipenuhi dahulu kalau memang ingin melandaikan kurva dan mencegah serta melindungi anak-anak kita, keluarga, dan masyarakat," tegasnya.
Guna mencapai hal tersebut, Dicky mengingatkan pemerintah mengoptimalkan strategi 3T atau tracing (pelacakan), testing (pengujian), dan treatment (perawatan), serta menguatkan pemberlakuan 3M yaitu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun di tengah masyarakat.
Strategi 3T, sambung dia, dirasa perlu dioptimalkan karena dirinya melihat hal ini masih kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
"Testing kita ini kan masih kurang, sudah sembilan bulan tidak setara, tidak rata, apalagi tracing-nya," ungkapnya.
Selain itu, Dicky juga menyoroti diserahkannya pembukaan ini kepada pemerintah daerah. Menurut dia, hal ini tidak sepenuhnya tepat untuk dilakukan karena peran pemerintah pusat tetap diperlukan termasuk untuk memberikan fasilitas dan memenuhi kesenjangan yang terjadi di tiap wilayah. Apalagi, dia melihat masih banyak daerah yang sebenarnya belum paham betul dalam menangani pandemi ini.
"Ini kan penyakit baru, wabah. Jangankan di daerah, di puat pun tidak banyak yang tahu dan paham," ujarnya.
"Tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada daerah, karena harus ada peran pemerintah pusat di tiap sektor," imbuhnya.
BACA JUGA:
Sekolah sebaiknya dibuka setelah ada vaksin COVID-19
Permintaan agar pemerintah tak terburu-buru membuka sekolah untuk kegiatan belajar mengajar juga datang dari Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G). Perhimpunan ini meminta kegiatan pembelajaran tatap muka sebaiknya dilakukan setelah vaksin COVID-19 ada dan diberikan kepada masyarakat.
"P2G pada intinya meminta kepada para Kepala Daerah, agar sekolah jangan dulu dibuka secara nasional, sampai vaksin COVID-19 sudah diproduksi, melalui semua tahapan uji coba, dan terbukti aman dan halal. Setelah prasyarat ini tercukupi, barulah sekolah bisa dibuka secara nasional bertahap," kata Koordinator P2G, Satriwan Salim dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan.
Selain itu, dia mengatakan, P2G memiliki sejumlah rekomendasi dan catatan terhadap keputusan yang diumumkan Nadiem pada Jumat, 19 November.
Rekomendasi pertama, pembukaan sekolah harus dengan persetujuan orang tua tanpa terkecuali. Selain itu, orang tua juga tak boleh dipaksa memberikan izin agar anak mereka belajar di sekolah.
"Seandainya ada beberapa orang tua di sekolah yang tidak mengizinkan anaknya masuk, maka guru dan sekolah tetap wajib memberikan layanan pembelajaran kepada siswa tersebut, baik daring maupun luring," tegas Satriwan.
Kedua, Kemendikbud dan Kemenag yang mengurusi kegiatan pendidikan di pesantren harus turun tangan langsung mengecek kesiapan sekolah tadi, kesiapan infrastuktur sekolah atas protokol kesehatan, kesiapan dan izin orang tua.
Ketiga, P2G menilai pemerintah harus menindak tegas dinas pendidikan atau pemerintah daerah yang melanggar aturan dalam pembukaan sekolah ini.
Keempat, P2G menilai perlu ada uji usap atau swab test bagi guru dan siswa sebelum sekolah kembali dibuka. Hal ini perlu dilakukan agar mereka terbebas dari bahaya COVID-19. Hanya saja, anggaran untuk uji usap ini sebaiknya jangan diambil dari dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Terakhir, perhimpunan ini menilai sebaiknya kegiatan pembelajaran jarak jauh ini sebaiknya dilakukan terus hingga akhir tahun ajaran 2020-2021 atau hingga Juli 2021 tentunya dengan sejumlah perbaikan pelayanan.
Lebih lanjut, P2G menilai, pembelajaran berpotensi tak akan berjalan efektif dan optimal meski pemerintah memperbolehkan kegiatan belajar mengajar di sekolah dilakukan. Karena, terdapat sejumlah kegiatan yang tidak boleh dilakukan seperti kegiatan pelajaran olahraga hingga ekstrakuliker.
"Guru juga tidak akan bisa optimal mengawasi aktivitas siswa setelah keluar dari gerbang sekolah. Mereka main kemana, melakukan apa, bersama siapa, dan mengendarai apa, semuanya di luar pengawasan guru. Di sini juga letak potensi penyebaran COVID-19 yang kita khawatirkan," pungkas Satriwan.