Bagikan:

JAKARTA - Setelah delapan bulan para siswa dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dasar, dan menengah belajar di rumah akibat pandemi COVID-19, pemerintah menyatakan kegiatan belajar mengajar di sekolah akan kembali di lakukan pada semester genap tahun ajaran 2020-2021 atau tepatnya pada Januari 2021 mendatang.

Keputusan pembukaan kembali sekolah di semester genap ini bukan tanpa alasan. Menurut Deputi Koordinasi bidang Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Sartono, keputusan ini diambil karena melihat berbagai pertimbangan yang ada termasuk dampak negatif dari pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Agus memaparkan, terdapat sejumlah dampak negatif dalam sistem belajar jarak jauh yang selama ini dilakukan guna mencegah terjadinya penularan COVID-19 di sekolah. Salah satunya adalah tingginya angka putus sekolah karena ada siswa yang diminta orang tuanya untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarga yang terimbas pandemi.

Selain itu, perbedaan akses kualitas pembelajaran jarak jauh juga mengakibatkan terjadinya kesenjangan capaian belajar terutama bagi anak-anak yang berbeda secara sosial dan ekonomi. Belum lagi masalah tekanan yang membuat siswa stres dan minimnya interaksi guru dan siswa.

"Tercatat banyak juga anak-anak yang terjebak kasus kekerasan di rumah tanpa terdeteksi oleh guru," kata Agus dalam konferensi pers yang ditayangkan secara daring di akun Kemendikbud, Jumat, 20 November.

Melihat dampak inilah, maka Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengumumkan sekolah diperbolehkan melakukan kembali kegiatan aktivitas belajar mengajar. Pengambilan keputusan pembukaan sekolah juga tidak lagi didasari zonasi penyebaran COVID-19 melainkan diputuskan oleh pemerintah daerah yang diberi kewenangan oleh pemerintah pusat.

"Peta zonasi risiko tidak lagi menentukan pemberian izin pembelajaran tatap muka tapi pemda yang menentukan sehingga bisa memilih daerah-daerah dengan cara yang lebih detail," kata Nadiem.

"Kebijakan ini berlaku mulai semester genap tahun ajaran 2020-2021. Jadinya pada bulan Januari 2021," imbuhnya.

Nadiem lantas menjelaskan, ada tiga pihak yang menjadi penentu dibuka atau tidaknya sebuah sekolah, yaitu pemerintah daerah dan kantor wilayah (kanwil), persetujan kepala sekolah, dan persetujuan perwakilan orang tua melalui komite orang tua. Jika tiga pihak ini kemudian tidak mengizinkan sekolah dibuka, maka sekolah itu tidak diperkenankan dibuka, "tapi kalau ketiga pihak setuju, sekolah boleh melaksanakan tatap muka," ungkapnya.

Selain itu, orang tua siswa juga disebut Nadiem masih memiliki hak untuk menentukan perlu atau tidaknya anaknya untuk belajar di sekolah kalaupun nantinya kegiatan pembelajaran di sekolah telah dilakukan. Sebab, kegiatan belajar di sekolah ini bukanlah menjadi satu keharusan dan penerapannya akan dikembalikan ke orang tua masing-masing.

Kapasitas siswa dibatasi 50 persen

Meski nantinya sekolah diperbolehkan untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun, Nadiem menekankan hanya 50 persen siswa saja yang hadir di dalam kelas. Pembatasan ini, kata dia, perlu dilakukan agar para siswa bisa menjaga jarak di sekolah maupun di kelasnya.

"Kapasitas maksimal itu sekitar 50 persen yang boleh belajar tatap muka dari rata-rata. Jadinya mau tidak mau semua sekolah harus melakukan rotasi atau shifting," katanya.

Dia lantas mencontohkan, untuk peserta didik di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) satu kelas hanya diperbolehkan lima murid dari yang biasanya berisi 15 murid. Pembatasan ini juga berlaku bagi siswa sekolah dasar dan menengah. Jika biasanya dalam satu kelas ada 36 murid, maka pada kegiatan pembelajaran di tengah pandemi COVID-19 jumlah siswanya harus dikurangi menjadi 18 orang.

Begitu juga untuk jumlah siswa sekolah luar biasa (SLB) akan dibatasi dalam satu kelas. Jika biasanya satu kelas diisi delapan orang, nantinya pada semester genap mendatang hanya diperbolehkan diisi lima orang saja.

Adapun kondisi siswa yang boleh datang ke sekolah dan melakukan kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah mereka yang sehat. Sementara siswa dan guru yang sakit tidak diperbolehkan datang ke sekolah.

Larangan serupa juga berlaku bagi siswa maupun guru yang keluarganya mengalami sakit atau bahkan terjangkit COVID-19. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya penularan virus di sekolah.

Selain melakukan pembatasan kapasitas jumlah siswa di kelas, nantinya, sekolah yang sudah melakukan kegiatan belajar mengajar tatap muka juga tidak diperkenankan untuk melaksanakan kegiatan olahraga maupun ekstrakulikuler. Selain itu, nantinya kantin juga akan dilarang beroperasi guna mencegah terjadinya kerumunan.

"Jadi anak-anak yang sudah belajar tatap muka kalau sudah selesai belajar langsung pulang. Orang tua juga tidak boleh menunggu siswa di sekolah. Istirahat di luar kelas, pertemuan orang tua dan murid itu tidak diperbolehkan. Artinya, belajar tatap muka bukan kembali ke sekolah seperti normal," ungkap Nadiem.

Satgas ingatkan hati-hati

Meski mempersilakan sekolah untuk kembali buka tanpa perlu melihat zonasi penyebaran COVID-19, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengingatkan pemerintah daerah untuk bersikap hati-hati dalam memutuskan sekolah mana saja yang boleh dibuka kembali pada semester mendatang. Apalagi, saat ini ancaman COVID-19 masih nyata terjadi.

"Karena ancaman penyebaran COVID-19 ini masih terjadi, diharapkan pemerintah daerah untuk mempertimbangkannya secara matang sebelum memberikan izin pembelajaran tatap muka dan memperhatikan mekanisme pemberian izin dan daftar periksa," kata Doni.

Dirinya juga meminta kepala daerah menyelenggarakan penataran atau pengarahan dalam waktu satu bulan sebelum dimulainya semester genap tahun ajaran 2020-2021. "Diharapkan penataran ini untuk bisa menjadi bagian dari simulasi agar semua aturan yang ada itu diketahui untuk dilakukan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya," ucap Doni.

Selain itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengingatkan agar masing-masing daerah untuk memantau perkembangan risiko penularan COVID-19 di wilayahnya masing-masing.

"Manakala terdapat perkembangan yang menjurus kepada risiko keamanan, terutama menyangkut masalah kesehatan, keamanan dan keselamatan para murid dan juga guru, mohon bisa dilakukan pemberhentian  sementara sampai dengan situasi menjadi lebih baik lagi," pungkasnya.