Demi Misi Sejarah dan Budaya <i>Thrift Shop</i>, Baju Bekas Harusnya Memang Tak Mahal
Ilustrasi foto (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Thrift shop tengah jadi perbincangan di media sosial. Inti perdebatannya adalah banyak harga jual barang thrift shop yang dianggap mahal. Thrift shop seharusnya memang bukan barang mahal. Ada misi sejarah dan budaya panjang yang harus dipertanggungjawabkan para pelaku bisnis thrift shop, terutama yang bergerak di komoditi sandang.

Secara terminologi, thrift shop berarti kegiatan membeli barang bekas. Menelusuri perjalanan sejarah, budaya thrift shop yang umumnya bergerak di komoditi sandang terbentuk sebagai perlawanan terhadap budaya fast fashion yang konsumtif. Budaya thrift shop juga mengusung misi lingkungan untuk menekan limbah tekstil dengan konsep reuse.

Sejarah thrift shop mulai terbangun di rentang 1760-1840-an. Revolusi industri abad ke-19 memperkenalkan mass-production of clothing yang mengubah cara pandang orang-orang tentang dunia fesyen. Saat itu pakaian adalah barang yang sangat murah. Orang-orang akan membuang pakaian yang telah mereka pakai.

Perspektif pakaian sebagai barang disposable atau sekali pakai itu memancing tumbuhnya perilaku penggunaan pakaian bekas yang biasanya masih sangat layak pakai. Perilaku itu berkembang dan meluas sebagai budaya di berbagai negara dunia. Di Inggris, tren pakaian bekas banyak digunakan di era 1980-an dan 1990-an. Di Amerika Serikat (AS), sejarahnya kompleks.

17 Agustus jadi hari di mana masyarakat AS merayakan National Thrift Store Day atau Hari Toko Barang Bekas Nasional. Dilansir Time, Rabu, 18 November, Hari Toko Barang Bekas Nasional akan diperingati oleh toko-toko spesifik di seluruh negeri dengan menawarkan diskon gila-gilaan. Hal itu dilakukan untuk mengingatkan orang tentang budaya ini.

Budaya thrift shop tak meluas dengan mudah di AS. Sebelum abad ke-19, orang-orang tak terbiasa menjual pakaian mereka. Sejarawan, Jennifer Le Zotte, penulis From Goodwill to Grunge: A History of Secondhand Styles and Alternative Economies menjelaskan, tak ada  barang yang terbuang percuma sebelum era thrift shop.

"Jika Anda memiliki gaun dan menjadi usang, Anda akan merobeknya dan membuat pinafore untuk putri Anda. Dan ketika gaun itu hancur, Anda akan merobeknya dan menjejali kursi Anda,” tulis dia.

Era thrift shop dimulai di akhir abad ke-19. Kota tumbuh dengan cepat. Lonjakan historis pendatang baru terjadi selama gelombang imigrasi terbesar di Amerika. Revolusi industri memperkenalkan produksi massal pakaian. Permainan berubah. Seperti dijelaskan di atas, harga pakaian baru semakin terjangkau dan banyak orang yang menganggap pakaian adalah barang sekali pakai.

Ilustrasi (Sumber: Wikimedia Commons)

Le Zotte menjelaskan, seiring pertumbuhan populasi perkotaan, ukuran ruang hidup menyusut, menyebabkan lebih banyak harta benda dibuang. Selain sistem pengelolaan limbah yang lebih baik, pegadaian dan bahan bekas bermunculan selama periode ini sebagai upaya menemukan kegunaan baru untuk barang-barang tersebut.

Namun ada stigma yang melekat dari pemakaian baju bekas milik orang asing. Bukan hanya barang itu sendiri yang merupakan pertanda kekurangan uang, tetapi juga ada bias terhadap orang yang menjualnya. Pakaian bekas sering tersedia dari gerobak dorong yang sebagian besar dimulai oleh imigran Yahudi. Kala itu, pilihan profesi imigran Yahudi amat dibatasi oleh anti-Semitisme. Prasangka itu menular ke barang dagangan mereka.

Saturday Evening Post terbitan 3 Mei 1884 pernah memuat cerita satire mengenai seorang gadis yang terkena cacar dari gaun yang ia beli di toko penjualan barang bekas milik orang Yahudi. Namun, peluang ekonomi telah terbaca saat itu. Sekelompok orang yang paling depan mengambil manfaat ekonomi dari tren ini adalah kelompok pelayanan Kristen yang mencari dana untuk program penjangkauan mereka.

Di Indonesia, budaya thrift shop juga berkembang. Budaya itu meluas pesat ke berbagai daerah. Bahkan thrift shop memiliki sebutan berbeda di setiap daerah. Seperti orang Bandung yang menyebutnya dengan "cimol" atau "awul-awul" bagi sebagian masyarakat di Jawa Timur. Yang lain, di kalangan orang Hitaan (Tapanuli Utara), thrift shop dikenal dengan istilah "burjer.

Secara bisnis, usaha thrift shop awalnya berkembang di wilayah pesisir laut Indonesia. Wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara tetangga, seperti Sumatera, Batam, Kalimantan, hingga Sulawesi jadi pintu masuk impor pakaian bekas. Semakin lama, bisnis pakaian impor bekas ekspansi ke Pulau Jawa. Semua menjual dengan embel-embel "barang impor" ketimbang melabeli dagangan mereka dengan "barang bekas". Tak seperti Inggris atau AS, di Indonesia, membeli barang bekas adalah penghinaan yang mereka lakukan terhadap gengsi mereka sendiri.

Thrift shop untuk imbangi fast fashion

Dilansir Katadata.co.id, sepanjang kuartal I 2019, industri tekstil dan pakaian mengalami lonjakan signifikan dengan pertumbuhan 18,98 persen. Pencapaian pada kuartal I 2019 ini jauh lebih tinggi dari capaian kuartal I 2018 yang kisaran angkanya 7,46 persen, bahkan melebihi pencapaian sepanjang 2018: 8,73 persen.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan peningkatan 4,45 persen per tahun dalam produksi industri manufaktur besar dan sedang pada triwulan I 2019. Peningkatan itu ditopang produksi sektor industri pakaian jadi yang melesat hingga 29,19 persen. Lonjakan pesanan, terutama dari pasar ekspor jadi pemicu.

Pertumbuhan industri fesyen diikuti dengan ancaman lingkungan akibat limbah tekstil. United Nations Climate Change News memaparkan industri fesyen menyumbang 10 persen emisi gas rumah kaca yang timbul dari rantai pasokan yang panjang dan penggunaan energi dalam produksi yang intensif.

Data 2018 menunjukkan industri fesyen menghasilkan 2,1 miliar ton CO2eq. Ini mewakili 4 persen emisi karbon global, di mana sebagian besar emisi diciptakan tiga negara industri besar, seperti Prancis, Jerman, dan Inggris.

Medio 2000 dan 2014 jadi periode di mana industri fesyen berkembang paling pesat. Pabrik-pabrik memproduksi pakaian dua kali lipat dengan rata-rata konsumen membeli 60 persen lebih banyak pakaian dibanding 15 tahun lalu. Data lain menyebut hampir 20 persen air limbah global dihasilkan industri fesyen.

Industri fesyen juga menggunakan banyak air. Setidaknya 20 ribu liter dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram kapas yang setara dengan satu kaos dan celana jeans. Para petani kapas juga bertanggung jawab atas 24 persen insentisida dan 11 persen pestisida, meski mereka hanya menggunakan 3 persen dari lahan subur dunia.

Polusi air di New Delhi, India (Patrick Beznoska/Unsplash)

Mengutip data situs United Nation for Climate Change, konsumen masih terbiasa membuang sepatu dan pakaian dengan angka rata-rata 70 pon per orang di setiap tahunnya. Beberapa pemangku kepentingan dan komunitas membangun program daur ulang tekstil, di mana 85 persen limbah ini masuk ke tempat pembuangan sampah dan menempati sekitar 5 persen dari seluruh ruang di tempat pembuangan akhir.

Secara simultan, tekstil bekas itu akan diolah kembali menjadi pakaian baru. Namun, daur ulang saja tak cukup. Dibutuhkan upaya lain untuk mengimbangi derasnya produksi industri tekstil dan konsumtivitas manusia terhadap item fesyen.

Tren reuse jadi lawan dari budaya itu: fast fashion. Salah satu turunannya adalah thrift shop. Thrift shop memberi ruang bagi berlangsungnya konsep zero waste. Tersedianya barang murah yang layak pakai menarik banyak orang ikut dalam pergerakan ini.

Perputaran itu penting untuk menekan siklus produksi tekstil yang berdampak pada pencemaran lingkungan. Dan lebih dari itu, thrift shop berkembang jadi industri yang menciptakan putaran uang besar di dalamnya.

Harusnya murah atau mahal?

Bayu Randy adalah seorang pengusaha thrift shop. Ia baru saja membuka sebuah toko di wilayah Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Bisnisnya mulai berkembang sekitar 2017, ketika Bayu yang sebelumnya hanya menjual jaket, celana, dan kaos bekas mulai menjual lebih banyak item fesyen, seperti sepatu, topi, hingga skateboard. Ya, bagi Bayu, skateboard adalah item fesyen.

Bayu juga mulai meng-upgrade barang dagangannya, baik secara kualitas maupun kurasi brand. Langkah yang dilakukan Bayu dua tahun belakangan itu meningkatkan daya jual tokonya, 60:40.

"Ini sudah beda sama awal-awal gua mulai. Memang sejak nambah barang, termasuk seleksi yang lebih ketat, gua jadi lebih maju," kata Bayu kepada VOI, Rabu, 18 November.

Ilustrasi foto (Becca Mchaffie/Unsplash)

Bayu menyampaikan perspektifnya kepada kami, tentang kenapa banyak item fesyen berbasis thrift shop yang kini dijual dengan harga mahal. Ia berpandangan, hal itu berkembang alami seiring pendewasaan industri thrift shop, di mana para pelaku usaha mulai menyadari pentingnya menjaga kualitas dagangan.

Ya, meski Bayu juga menyadari banyaknya penjual yang menjual barang thrift shop dengan harga tak masuk akal. Tapi, di mata Bayu, itulah cara industri ini berkembang. "Lagipula, mahal atau murah, relatif enggak, sih?"

Annisa Rahmadhani, seorang penggemar thrift shop mengatakan hal senada. Menurutnya, mahal atau murah barang harus dilihat dari item fesyennya. Apalagi dalam thrift shop. Hal-hal semacam itu justru jadi seni.

"Tergantung barangnya. Tergantung brand, model, keluaran (tahun). Karena bicara thrift shop, kita bicara soal barang-barang yang rare juga. Semakin rare, semakin mahal," kata Annisa.

Meski begitu, Bayu atau Annisa menyadari aspek ekonomi bukan hal utama yang mendasari munculnya budaya thrift shop. Bagaimanapun, thrift shop memiliki misi sejarah dan budaya, bahkan moral --termasuk isu lingkungan, sebagaimana kami paparkan di atas.

"Memang harus dibedain kali, ya. Kalau soal sejarah budaya mungkin harusnya memang enggak mahal," kata Bayu.

"Kalau gua lihat ini untuk nyelamatin bumi juga enggak, sih? Kalau bicaranya soal siklus recycle atau reuse, supaya tetap jalan (gerakan ini) harusnya ya dijual murah. Butuh partisipasi sebanyak mungkin orang kan?" Annisa.