Bagikan:

JAKARTA - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menjadi salah satu fraksi pengusul Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol). Mereka berkeras aturan tersebut segera digolkan. RUU ini jadi kontroversi. Di luar kontroversinya, dalam RUU ini PKS menunjukkan praktik politik yang strategis dan ideal. Ketika banyak partai politik yang landasan kebijakannya tak lebih dari oportunis, PKS menunjukkan konsistensi, setidaknya terhadap konstituen dan ideologi partai.

Sejak awal PKS percaya diri mengusung RUU Larangan Minol. Mereka sadar, sejumlah daerah berhasil memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) terkait larangan dan pengaturan minuman keras atau minuman beralkohol. 

"PERDA [peraturan daerah] yang melarang dan Mengatur Minuman Keras Pelarangan Minuman Beralkohol (Minol) sejatinya sudah lama dan telah banyak diterapkan di berbagai daerah di Nusantara," tulis pernyataan Fraksi PKS DPR lewat akun Twitter @FPKSDPRRI, dikutip Selasa, 17 November. 

Lewat akun Twitternya tersebut, PKS memaparkan daerah-daerah yang telah menerapkan aturan soal larangan miras atau minol. Dalam catatan itu tercatat wilayah yang paling lama sudah menerapkan aturan tentang pembatasan minuman alkohol yakni Provinsi Kalimantan Selatan dengan Perda Nomor 7 Tahun 2008, dan Kabupaten Bone Bolango dengan Perda Nomor 10A Tahun 2008. 

Sementara, yang terbaru, daerah-daerah yang sudah menerapkan aturan tersebut adalah Kabupaten Sragen dengan Perda Nomor 3 Tahun 2018 dan Kabupaten Pulau Morotal dengan Perda Nomor 6 Tahun 2018. Setidaknya, PKS mencatat total ada 13 daerah yang sudah menerapkan aturan serupa.

Membangun kebijakan dari daerah

Bagi PKS, langkah politik partai dalam mendorong aturan larangan minuman beralkohol telah dirintis secara strategis dari daerah. Salah satu daerah yang berhasil PKS dorong untuk membuat Perda tentang larangan minuman beralkohol adalah Kota Banjarmasin. Anggota DPRD Kota Banjarmasin Mathari dari partai PKS adalah orang yang menjadi Ketua Panitia Khusus (Pansus) yang berhasil merevisi Perda Nomor 27 Tahun 2011 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol pada 2017. 

Ia berharap pengesahan perda tersebut dapat meningkatkan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkohol. "Kita harap pemerintah kota dapat segeranya menerapkan peraturan baru tentang peredaran minuman beralkohol di kota ini, agar semuanya dapat terawasi dan terkendali sesuai harapan," kata Mathari dikutip Antara, Rabu, 18 November.

Sikap PKS soal larangan minuman alkohol juga ditunjukkan sejak 2016. Musyawarah ke-4 Majelis Syuro PKS menelurkan rekomendasi yang salah satunya mengapresiasi terbentuknya perda yang melarang minol yang diterbitkan Provinsi Papua.

"Kami sangat mengapresiasi perda-perda tersebut, termasuk yang terakhir perda pelarangan miras yang diterbitkan oleh provinsi Papua," kata Mustafa Kamal yang menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS lewat keterangan tertulisnya.

Bukan hanya bergerilya meloloskan perda di daerah-daerah. PKS juga konsisten mempertahankan peraturan itu tetap ada. Di Pamekasan, misalnya. DPRD Kabupaten itu sempat akan merevisi Perda Nomor 18 Tahun 2001 tentang Larangan Minuman Beralkohol.

Sekretaris Fraksi PKS DPRD Pamekasan Al Anwari terang-terangan menolak merevisi Perda tersebut. Ia beralasan Kabupaten Pamekasan adalah darah yang menganut gerakan pembangunan masyarkaat islami (Gerbangsalam).

"Kami Fraksi PKS akan menggalang dukungan ulama dan tokoh masyarakat untuk menolak revisi Perda anti minuman beralkohol," kata Al Anwari dikutip Kompas.

Timbul tenggelam

Secara umum, pembahasan RUU Minol dimulai ketika Mahkamah Agung mengabulkan gugatan Front Pembela Islam (FPI) atas Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol, pada 18 Juni 2013. MA menilai aturan yang ditandatangani Presiden Soeharto pada 12 Februari 1997 itu bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Putusan MA telah menimbulkan kekosongan payung hukum tentang perdagangan miras. Oleh karenanya, DPR mengusulkan RUU larangan minol dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2015.

Namun RUU itu menuai protes karena dinamai Larangan Minuman Beralkohol. Sempat tenggelam pada masa kampanye 2019, kini usulan itu kembali mencuat dalam Prolegnas 2020.

Ilustrasi foto (Waldemar Brandt/Unsplash)

Para pengusul berharap RUU larangan minol yang berjumlah tujuh bab dengan 24 pasal cepat terwujud. Pasalnya, beleid itu dianggap penting karena tak adanya regulasi setingkat UU yang mengatur minuman beralkohol, termasuk keikutsertaan masyarakat dalam pengendaliannya.

"RUU ini bertujuan melindungi masyarakat dari dampak negatif, menciptakan ketertiban, dan ketentraman di masyarakat dari para peminum minuman beralkohol. Adanya RUU ini juga untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya minuman beralkohol," kata salah satu anggota Baleg DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Illiza Sa'aduddin Jamal dikutip dari keterangan tertulisnya, Kamis, 12 November.

Sebagai pengusul, Illiza mengatakan, rancangan perundangan akan tetap menjaga pluralitas masyarakat karena akan ada pengecualian dalam pelaksanaannya. "Larangan mengonsumsi minuman beralkohol dikecualikan bagi kepentingan terbatas seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisata, farmasi, dan tempat yang diizinkan oleh peraturan undang-undang," tegasnya.

Praktik ideologis

Jika RUU Larangan Minol timbul tenggelam, sikap PKS justru selalu sama. Dalam perspektif ini, PKS mempraktikkan fungsi partai yang ideal, bahwa partai harus memiliki ideologi dalam pembentukan sebuah kebijakan.

Bukan perkara utopis. Dalam perspektif lebih dalam, partai politik memiliki tanggung jawab memperjuangkan suara konstituennya --yang memilih berdasar sikap partai-- lewat penegakan ideologi partai.

Di tengah tingginya pragmatisme partai politik hari ini yang sering ujug-ujug menerbitkan aturan, sehingga boro-boro bersifat konsideran, langkah politik PKS dalam RUU Larangan Minol jadi penting untuk dilihat.

"Itu sesuai dengan ideologi partai sebagai partai Islam yang mayoritas pendukungnya Islam. PKS tentu saja punya kewajiban memuat kebijakan yang sesuai niai keislaman," ungkap Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Firman Noor kepada VOI, Rabu, 18 November.

Peluang

Paripurna DPR RI (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Terkait konsistensi ideologis dan langkah politik PKS merintis kebijakan ini dari daerah, pengamat politik dari Universitas Al Azhar, Ujang Komaruddin mengatakan, meski ideal secara praktik, strategi itu tak selalu efektif. Eskalasi politik di tingkat nasional sudah pasti berbeda dengan tingkat daerah, apalagi yang kepala daerahnya ditempati kader PKS.

"Karena bisa saja kepala daerahnya itu PKS ... Namun untuk di DPR kan PKS masih menjadi minoritas. Jadi butuh effort yang kuat," tandasnya," kata Ujang.

Dalam sudut pandang lain, Firman Noor dari LIPI mengatakan, strategi politik PKS dapat jadi tambahan kekuatan dalam perjuangan partai di tingkat nasional. Dalam proses pembentukan kebijakan politik yang normal, dukungan daerah dapat jadi argumen penting kenapa sebuah RUU harus digolkan.

"Kalau kemudian ada endorsement dari daerah, saya kira itu langkah sinergis yang bisa dimanfaatkan PKS, bahwa suara ini tidak cuma disuarakan di nasional, tapi juga di daerah, sehingga langkah itu lebih legitimated. Karena memang harus ada konsideran dalam pemgusulan sebuah kebijakan. Bisa ditambahkan pada pertimbangan bahwa ini sejalan dengan akar rumput masyarakat indonesia, sehingga lebih argumentatif," Firman Noor.