JAKARTA - Kalangan pengusaha menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Larangan Minuman Beralkohol (Minol) tidak mendesak dilakukan di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang menekan dan membebani dunia usaha, terlebih karena sudah ada aturan yang berjalan efektif.
Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, selama ini sudah ada Peraturan Presiden No. 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol dan implementasi di lapangan dinilai sudah berjalan efektif.
"Bahkan tahun tahun 2014 Menteri Perdagangan mengeluarkan Permendag No.20/M-DAG/PER/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di mana penjualan minol sudah lebih tertata hanya ditempat tertentu. Dengan demikian sebenarnya urgensi RUU ini tidak mendesak, namun semuanya kembali kepada DPR," katanya dikutip dari Antara, Minggu 15 November.
Sarman menuturkan industri minuman beralkohol juga ikut terdampak pandemi COVID-19 seperti produsen bir sebagai dampak dari pembatasan operasional berbagai hotel, restoran, kafe bahkan di hiburan malam.
"Di Jakarta sudah delapan bulan tutup yang membuat penjualan anjlok sampai 60 persen, namun sejauh ini industri minol masih mampu bertahan dan tidak melakukan PHK (pemutusan hubungan kerja)," katanya.
Ia juga berharap pembahasan RUU yang pernah dibahas lima tahun lalu tapi tidak berlanjut itu sebaiknya dilakukan pada momentum yang tepat, yakni pasca pandemi di mana ekonomi telah berada dalam kondisi normal.
"Di tengah tekanan resesi ekonomi saat ini kurang tepat membahas yang berkaitan dengan kelangsungan dunia usaha khususnya industri minol, mari kita fokus bersama melawan pendemi COVID-19 dan percepatan pemulihan ekonomi nasional," katanya.
BACA JUGA:
Komisaris Utama PT Delta Djakarta itu menuturkan industri minuman beralkohol siap memberi masukan dan pokok pikiran termasuk dari sisi judul. Alih-alih disebut RUU Larangan Minuman Beralkohol, industri mengusulkan agar beleid itu diubah menjadi RUU Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Menurut Sarman, keterlibatan industri minol dalam perekonomian nasional hampir mencapai satu abad dan melibatkan investor asing.
Kontribusi industri minol dari sisi pajak maupun cukai alkohol yang mencapai Rp6 triliun per tahun dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 5.000 orang ditambah industri penunjang seperti pertanian, logistik, industri kemasan, distribusi dan jasa perdagangan, jasa hiburan, rekreasi, pariwisata dan budaya.
"Kami sangat mendukung kalau minol ini di diatur dan diawasi sehingga edukasi dan informasi kepada masyarakat selalu konsisten dilaksanakan akan bahaya penyalahgunaan minuman beralkohol. Jika nantinya dalam RUU ini kesannya melarang maka dikhawatirkan akan terjadi praktik masuknya minol selundupan yang tidak membayar pajak, maraknya minol palsu yang tidak sesuai standar pangan serta maraknya minol oplosan yang membahayakan konsumen," pungkas Sarman.