JAKARTA - Kepala Ombudsman Perwakilan Jakarta Raya, Teguh Nugroho menilai pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta sama-sama gagap menghadapi kerumunan massa yang ditimbulkan oleh pimpinan FPI, Muhammad Rizieq Shihab.
Padahal, pencegahan terhadap berkumpulnya masa dalam sejumlah kegiatan, mulai dari penjemputan Rizieq hingga Maulid Nabi bisa diantisipasi jika pemerintah pusat berkoordinasi lebih baik dengan Pemprov DKI.
"Ombudsman menilai pemerintah pusat dan pemerintah daerah tergagap dalam mengantisipasi kepulangan Habib Rizieq Shibab ke Tanah Air, sehingga berpotensi menjadi sumber klaster-klaster baru dalam penyebaran COVID-19," kata Teguh kepada VOI, Senin, 16 November.
Pada sisi pemerintah pusat, Teguh menyayangkan sikap Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD yang awalnya melakukan pendekatan konfrontasi karena fokus pada penggiringan isu bahwa Rizieq overstay di Arab Saudi.
Semestinya, kata dia, pemerintah bisa fokus pada upaya untuk meredam glorifikasi kepulangan yang bersangkutan, termasuk pendekatan konsiliatif.
"Pendekatan ini, mendorong simpatisan HRS (Rizieq) untuk unjuk gigi menunjukan bahwa HRS merupakan pimpinan dan panutan mereka. Dampaknya adalah terganggunya pelayanan publik di Bandara saat ketika simpatian HRS memenuhi jalan tol dan Bandara," ungkap Teguh.
BACA JUGA:
Lalu, kelemahan koordinasi itu juga tampak ketika BNPB memfasilitasi 20 ribu masker kepada massa pendukung Rizieq. Teguh menilai hal ini bukan merupakan upaya mengurangi potensi penyebaran COVID-19.
"Pemberian masker di saat mengetahui akan dipergunakan untuk pengumpulan masa dalam jumlah yang besar itu bukan mencegah, tapi namanya memfasilitasi," ucap dia.
Sementara, dari sisi Pemprov DKI, Teguh menyayangkan kedatangan Gubernur DKI Anies Baswedan ke kediaman Rizieq ketika harusnya Rizieq mengisolasi diri selama 14 hari.
"Tindakan para pejabat tersebut menjadikan himbauan yang disampaikan oleh Wali Kota Jakarta Pusat pada tanggal 12 November 2020 seperti tiupan angin karena kehadiran mereka tersebut," kata Teguh.
Lambatnya antisipasi tersebut berlanjut, ketika Wakil Gubernur DKI Ahmad Riza Patria justru menghadiri acara Maulid Nabi Jumat, 13 November di daerah Tebet.
"Kehadiran pejabat pada acara yang mengundang masa besar seperti sebuah persetujuan bahwa acara tersebut mungkin dilakukan selama menjalankan protokol kesehatan, padahal tidak akan ada yang mampu memastikan protokol kesehatan di kerumunan massa dengan jumlah sebanyak itu," kata Teguh
Teguh memahami bahwa Pemprov DKI telah berupaya menegakkan aturan dengan pemberina denda pelanggaran protokol kesehatan sebesar Rp50 juta.
Namun, sanksi itu lebih merupakan pemenuhan kewajiban admintrasi bahwa ada upaya pemenuhan prosedur yang dilakukan pemerintah untuk melakukan penenagakan. Namun hal ini dapat berdampak buruk pada persepsi masyarakat.
"Ada pesan yang disampaikan secara tidak langsung, bahwa masyarakat dipersilahkan untuk melakukan pengumpulan massa berapapun jumlahnya, sejauh mampu membayar denda sebanyak Rp50 juta," pungkasnya.