JAKARTA - Isu naturalisasi dalam dunia olahraga di Indonesia, khususnya sepak bola merebak lagi. Perekrutan warga negara asing, baik yang berdarah Indonesia maupun bukan, kembali menjadi pusat perhatian.
Nama-nama Elkan Baggott, Sandy Walsh, Ragnar Oratmangoen, dan banyak lagi ramai menghiasi laman-laman media sosial maupun media arus utama. Kehadiran mereka untuk memperkuat tim nasional sepak bola Indonesia digadang-gadang bakal mengangkat prestasi Tim Merah Putih dalam persaingan sepak bola antarnegara.
Seperti yang sudah-sudah, perbedaan pendapat pun bergulir. Pihak yang mengaku progresif, menganggap itu hal lumrah dan berkeyakinan langkah mereka benar. Sementara pihak yang dianggap konservatif tetap setia menggaungkan bahwa pembenahan kompetisi mulai usia dini hingga liga profesional jauh lebih penting dan berhasil guna, meskipun bakal memakan waktu lama.
Bukan Hal Baru
Naturalisasi pemain bukan barang baru dalam dunia sepak bola. Jepang sudah memulai di era 1990-an dengan menaturalisasi Rui Ramos. Pesepak bola asal Brasil itu diharapkan mampu berperan meloloskan Jepang ke Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, namun gagal setelah Tim Samurai Biru gagal mengalahkan Irak dalam babak akhir kualifikasi di Doha, Qatar, 28 Oktober 1993.
Indonesia bahkan sudah memulainya di tahun 1952 ketika menaturalisasi kiper berdarah Belanda, Van der Vin. Naturalisasi pesepakbola semakin menjadi di tahun 2010, ketika nama-nama Irfan Bachdim (Belanda), Cristian Gonzales (Uruguay), dan Greg Nwokolo (Nigeria) menghuni timnas Indonesia setelah mereka menjadi WNI.
Tetapi kehadiran mereka belum mampu membawa timnas senior Indonesia menjadi juara, bahkan di tingkat regional Asia Tenggara sekalipun. Terakhir kali timnas senior sepak bola Indonesia menjadi juara adalah dalam SEA Games 1991 di Manila. Saat itu Indonesia yang dilatih Anatoli Polosin dari Rusia dengan materi pemain asli dalam negeri, menang adu penalti 4-3 atas Thailand.
Perkara Uang
Cina pun sekarang ikut-ikutan memakai cara naturalisasi pemain, demi memajukan prestasi tim nasional mereka di kancah internasional. Presiden Xi Jinping yang konon penggila sepak bola sangat berhasrat Cina mampu lolos ke Piala Dunia Qatar 2022, setelah 20 tahun absen sejak Piala Dunia 2002 di Jepang dan Korea Selatan.
Tak heran di dalam tim nasioenal sepak bola Cina saat ini ada nama-nama asing macam Nico Yennaris dan Tyias Browning dari Inggris, serta Elkeson dan Aloisio dari Brasil. Sebagai warga negara Cina, mereka sudah berganti identitas dengan nama dari etnis Han.
Satu nama pemain asal Brasil yang juga dinaturalisasi tim nasional Cina di era kepelatihan Lie Tie adalah Fernando Henrique, yang sudah berganti nama menjadi Fei Nanduo. Dikabarkan untuk merekrut Fernando berpindah kewarganegaraan disiapkan dana tidak sedikit, mencapai 60 juta RMB atau nyaris Rp 136 miliar. Tapi pemain itu gagal masuk tim nasional Cina karena cedera.
Dituturkan Hasani Abdulgani, anggota Komite Eksekutif PSSI yang mengurusi masalah naturalisasi pemain sepak bola Indonesia, proses peralihan kewarganegaraan para pemain dari luar negeri untuk Timnas Indonesia tidak melibatkan urusan uang.
“Dari pengalaman yang sedang saya jalankan sekarang, ternyata sangat berbeda dengan kisah pemain Cina. Empat pemain yang diminta coach Shin Tae-yong, yaitu Sandy Walsh, Jordi Amat, Mees Hilgers, dan Ragnar Oratmangoen tidak satu pun dari mereka yang minta dibayar,” kata Hasani, yang juga Direktur Mahaka Sports.
“Alasan mereka rata-rata adalah ingin membela negara nenek moyang mereka, karena ingin mempersembakan kepada orang tua,” kata Hasani menambahkan.
Dukungan Pemerintah
Meskipun masalah naturalisasi pemain sepak bola ini terus menghadirkan polemik, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) terus mendukung. Kemenpora berjanji untuk membantu proses naturalisasi para pemain, terutama Walsh dan Amat yang hampir pasti karena sangat dibutuhkan Shin Tae-yong untuk timnas.
“Pemerintah akan membantu tentang proses secara administratif, tetapi yang menyiapkan administrasi adalah federasi. Mencari tahu menelusuri tentang benar tidak mereka berdarah Indonesia itu menjadi tugas federasi,” kata Menpora Zainudin Amali.
Selain sepak bola, bola basket Indonesia juga melakukan naturalisasi pemain. Tercatat sembilan pebasket asing yang dinaturalisasi sebagai Warga Negara Indonesia sejak 2015. Mereka adalah: Ebrahim Enguio Lopez (Filipina), Lamarr Jhonson (AS), Anthony Ray Hargrove Jr (AS), Anthony Wayne Carter Jr (AS), Brandon van Dorn Jawato (AS), Lester Prosper (Dominika), Marques Bolden (AS), Dame Diagne (Senegal), dan Serigne Modou Kane (Senegal).
Sama seperti para pemain naturalisasi di sepak bola, pebasket naturalisasi pun belum memberikan kontribusi gelar juara untuk Indonesia di berbagai turnamen internasional. Saat ini dua turnamen sedang dihadapi timnas basket putra Indonesia, yaitu FIBA Asia Cup 2021 dan FIBA World Cup 2023.
Filipina juga merupakan salah satu contoh pemanfaatan pemain naturalisasi secara besar-besaran, namun tak membuahkan prestasi. Pada Piala AFC 2019, Filipina tampil di putaran final di Uni Emirat Arab dengan bermaterikan 19 pemain naturalisasi. Itu berarti 82 persen dari seluruh pemain yang dibawa timnas Filipina yang saat itu ditangani pelatih kelas dunia asal Swedia, Sven-Goran Eriksson.
Tergabung di grup C, kiprah Filipina dengan para pemain naturalisasi mereka hanya finis sebagai juru kunci. Dari tiga kali bertanding, semua berakhir dengan kekalahan Filipina. Masing-masing 0-1 dari Korea Selatan, 0-3 dari Cina, dan 1-3 dari Kyrgyzstan.
Masalah Budaya
Menurut Cameron Wilson, pengamat sepak bola Cina dan pendiri Wild East Football, gelontoran uang berlimpah untuk persepak bolaan negeri itu tidak akan banyak berguna untuk mengangkat prestasi tim nasional. Orang Skotlandia yang tinggal di Shanghai itu memandang, Cina tidak punya budaya sepak bola yang mengakar.
“Mereka hanya tidak merasa memiliki sepak bola, meskipun banyak sekali talenta di Cina. Ini ibarat tambang emas raksasa, tinggal menunggu waktu untuk menemukannya,” kata Wilson seperti dikutip CNN.
Budaya sepak bola menurut Wilson sangat penting untuk memajukan persepakbolaan di sebuah negara, dia mencontohkan Inggris. Semua dibangun dari nol, kecintaan ditumbuhkan, dibina secara berkesinambungan. Bukan jalan pintas, bukan pula melulu karena gelontoran uang, meskipun itu juga penting.
Membungkus naturalisasi atlet dalam kemasan nasionalisme memang terkesan mulia, patriotik. Tetapi apakah itu benar-benar berhasil guna dalam prestasi, dan nasionalisme mereka bakal abadi selamanya? Kita semua menanti hasil akhirnya.