JAKARTA - Formula E dalam dua tahun belakangan menjadi isu hangat yang tak henti digunjingkan di Indonesia, khususnya DKI Jakarta. Nama dagang balapan mobil listrik itu dibahas dari berbagai sisi, mulai teknologi, nilai ekonomi, hingga politik dikait-kaitkan dengan rumor kampanye Anies Baswedan sebagai Calon Presiden 2024.
Formula E lahir dari pemberontakan Alejandro Agag. Crazy rich asal Spanyol yang juga mantan pebalap ini adalah pemilik tim balap Addax Racing, yang berlaga di ajang balap GP2 (ajang pendukung balap Formula 1). Lahir di Madrid pada 18 September 1970 Agag berayah Youssef Agag yang berdarah Aljazair, dan ibunya perempuan Spanyol bernama Soledad Longo.
Tahun 2011 Agag sudah kasak-kusuk dengan Jean Todt yang saat itu adalah Presiden Federasi Balap Mobil Internasional (FIA) untuk membuat balapan mobil listrik dengan level tertinggi di dunia. Lantaran kasak-kusuk itu, Agag kemudian disingkirkan oleh godfather Formula 1, Bernie Ecclestone. Tim Addax dibuang dari daftar balapan pendukung Formula 1, yang saat itu terdiri dari Porsche Series, GP3, dan GP2.
Formula 1 musim balap 2012 adalah kali terakhir Addax Racing ikut serta GP2 Series, dengan salah satu pebalapnya adalah Rio Haryanto. Tahun 2013 Addax Racing resmi gulung tikar, tetapi Agag terus melaju dengan proyek barunya: Formula E. Disebut balap formula, karena menggunakan mobil jenis open wheel atau tanpa spakbor dan kokpit yang terbuka.
Debut Balap Mobil Listrik
Ide awal Agag tentang Formula E adalah mengombinasikan balap mobil dengan enerji masa depan yang berkelanjutan. Agag punya idealisme meninggalkan bahan bakar fosil yang dianggapnya kuno. Sikap sinis dan penentangan justru membuat Agag makin nekat, jiwa kewirausahaannya semakin tertantang.
“Sebagai seorang kepala keluarga, saya ingin berkontribusi melestarikan dunia untuk generasi mendatang. Mengingat perubahan iklim, Formula 1 saya pikir tidak lagi sesuai untuk zaman sekarang. Mobilitas elektrik adalah masa depan, dan pada akhirnya saya harus praktekkan apa yang sangat saya yakini,” ujar Agag seperti dikutip dari situs FIA.
Meskipun belum punya peserta, tim, pebalap, dan sirkuit namun Agag terus maju dengan konsepnya. Dia akhirnya mampu menggandeng mitra sebuah bank swasta dari Zurich, Swiss, Julius Baer.
“Sebagai bank swasta terkemuka, kami punya minat besar terhadap investasi yang berkelanjutan dan berdampak positif untuk masa depan. Kami menyadari potensi besar Formula E, sehingga mendukung sejak awal,” kata Gian Rossi, Kepala Julius Baer Swiss.
Julius Baer mendukung Formula E sejak debut seri balap mobil listrik itu, yaitu GP Cina di Taman Olimpik Beijing pada 13 September 2014. Kemitraan mereka masih terus berlanjut hingga saat ini. Dua tahun berikutnya Formula E mendapatkan tambahan sponsor utama yang dijadikan titel seri balap mereka, A SEA Brown Boveri (ABB), sebuah perusahaan patungan Swiss-Swedia yang bergerak dalam industri robot, kelistrikan, peralatan berat listrik, dan otomatisasi. ABB menjadi title sponsor Formula E.
Belum Dapat Laba
Sejak debut balapan pada 2014 hingga musim keenam 2019, Formula E belum menangguk untung. Malah sejak awal banyak pengamat memprediksi bahwa seri balap mobil listrik ini akan tamat hanya dalam hitungan bulan. Ternyata Agag mengandaskan semua prediksi, karena eksistensi Formula E masih terus hingga kini. Berbeda dengan balap A1 GP misalnya. Salah satu seri balap formula yang pernah dibawa ke Indonesia itu bangkrut hanya dalam 3 tahun, 2005-2008.
Dalam wawancara dengan Forbes pada 2019, Agag mengatakan bahwa Formula E yang pelaksanaannya dijalankan oleh perusahaan asal Inggris, Formula E Operations (FEO) merugi dalam enam tahun pertama. Kerugiannya tidak main-main, 155 juta dolar AS atau sekitar Rp2,2 triliun!
“Kami bisa saja impas tahun ini, tetapi kami memutuskan untuk berinvestasi lebih banyak dalam pemasaran dan promosi. Terserah kami kapan ingin impas atau tidak. Kami bisa berada di titik impas sekarang, kami bisa berada di titik impas musim depan, tetapi kami mungkin memutuskan untuk berinvestasi lebih banyak dalam pemasaran dan promosi,” kata ujar Agag menjelaskan seperti dikutip Forbes pada 24 November 2019.
Pada musim balap 2018-2019 misalnya, Formula E mengeluarkan modal sebesar 171,9 juta dolar AS (sekitar Rp2,5 triliun), namun hanya mendapatkan pemasukan 143,5 juta dolar AS (sekitar Rp2,05 triliun). Mereka rugi 28,4 juta dolar AS atau sekitar Rp406 miliar!
Pada Mei 2018 Agag menawarkan 660 juta dolar AS, atau sekitar Rp9,4 triliun, untuk membeli seluruh saham Formula E. Namun penawaran tersebut ditolak para pemegang saham. Para pemilik saham lebih memilih mencari CEO baru dan akhirnya mendapatkan Jamie Reigle, orang Kanada yang mantan eksekutif senior di klub sepak bola Manchester United.
Agag ditendang dari posisi CEO pada akhir 2019. Dia kini punya mainan baru yang juga masih berkaitan dengan balap mobil listrik, yaitu Extreme E. Ini adalah balapan mobil listrik di medan offroad.
Tugas Reigle tidak mudah, karena harus membangun kembali Formula E yang terimbas pandemi COVID-19 di saat usaha balapan itu belum mengais untung. Belum lagi tiga produsen mobil ternama: BMW, Audi, dan Mercedes Benz sudah mengumumkan bakal meninggalkan seri balap ini seusai musim balap 2022.
Kini hanya tinggal enam produsen mobil yang mendukung Formula E, yaitu Mahindra (India), Nissan (Jepang), Jaguar (Inggris), DS Automobiles (Prancis), Porsche (Jerman), dan NIO (Cina).
Belum Mampu Genjot Perekonomian
Ide pergelaran Formula E di Jakarta muncul dari Anies, saat dia berkunjung ke New York, AS pada 13 Juni 2019. Pada awalnya Gubernur DKI Jakarta ini ingin menggelar balapan pada 2020, namun pandemi COVID-19 membuat rencananya batal. Hingga akhirnya, tahun ini Formula E Jakarta dijadwalkan digelar di Ancol pada 4 Juni mendatang.
Pada 13 Agustus 2019, Anies mengklaim perlu anggaran sebesar 24,1 juta dolar AS atau Rp343 miliar untuk menjadi tuan rumah balapan Formula E. Tak lupa ia juga menegaskan manfaatnya yang besar bagi sisi perekonomian Jakarta yang berpotensi meraup pendapatan hingga Rp1,2 triliun.
Agak susah dipahami, dari pos mana Formula E Jakarta akan mengais keuntungan. Pemilik Formula E sendiri belum merasakan keuntungan. Boro-boro untung, impas pun belum. Hanya satu ajang Formula E yang diklaim menguntungkan, yaitu Formula E London yang digelar 24-25 Juli 2021.
Walikota Montreal, Valerie Plante pada 2017 menegaskan penghentian pergelaran Formula E di kotanya. Formula E Montreal digelar 29-30 Juli 2017 dan diharapkan memberikan kontribusi ekonomi yang bagus untuk Montreal, seperti halnya balap Formula 1 GP Kanada yang digelar sejak 1961 di kota tersebut.
Kenyataan yang dihadapi berbeda 180 derajat, karena Formula E Kanada justru menghasilkan kerugian hingga 35 juta dolar AS atau sekitar Rp501 miliar. Montreal It’s Electric yang diserahi tugas menyediakan kebutuhan listrik untuk balapan Formula E Montreal 2017, justru meninggalkan utang hampir 15 juta dolar AS, atau sekitar Rp214 miliar. Formula E Montreal pun distop setelah hanya sekali digelar.
“Warga Montreal tidak mau uang mereka dibuang-buang untuk sebuah proyek yang direncanakan secara buruk, dan sama sekali tidak bermanfaat,” ujar Plante seperti dikutip dari CBC, 18 Desember 2017.
Formula E Jakarta juga sudah diprediksi hanya akan menghasilkan pemasukan tidak lebih dari Rp600 miliar dari modal yang dikeluarkan sekitar Rp1,6 triliun. Toh, rencana tersebut jalan terus meskipun polemik yang menyertainya tidak kunjung berhenti.