Bagikan:

JAKARTA – Euforia penggila bola di tanah air tengah membuncah. Betapa tidak, prestasi Timnas Indonesia di bawah Shin Tae-yong (STY) baik di level senior maupun kelompok usia mengalami peningkatan yang signifikan.

Memang belum ada satu trofi yang berhasil diraih pelatih asal Korea Selatan itu. Tapi dari segi permainan dan hasil di berbagai turnamen sudah cukup membangkitkan optimisme di kalangan pecinta bola Indonesia.

Di level senior, Timnas Indonesia berhasil lolos ke 16 besar Piala Asia dan berpeluang besar lolos ke kualifikasi ketiga Piala Dunia 2026 zona Asia. Terbaru, STY berhasil membawa Timnas U-23 menempati peringkat keempat Piala Asia U-23 yang membuka peluang berkiprah di Olimpiade 2024 jika mampu mengalahkan Guinea di babak playoff 9 Mei.

Peningkatan Timnas Indonesia di bawah STY memang tidak terjadi tiba-tiba. Sejak direkrut oleh Ketua PSSI saat itu, Mochamad Iriawan, Desember 2019 silam, pelatih asal Negeri Ginseng itu berani melakukan gebrakan yang kerap menimbulkan kontroversi.

STY berani memotong satu generasi demi membentuk Timnas Indonesia yang “baru”. Generasi Evan Dimas cs harus rela mengakhiri mimpi membela Timnas karena kebijakan tersebut. STY memilih pemain-pemain muda untuk membela Timnas baik di level U-23 dan di Timnas Senior.

Tak cukup di situ, pelatih Timnas Korea di Piala Dunia 2018 tersebut juga mencari pemain-pemain berdarah Indonesia yang bermain di luar negeri untuk dinaturalisasi. Naturalisasi memang bukan hal yang baru demi mendongkrak prestasi sepakbola Indonesia.

Program naturaliasi pemain telah dilakukan PSSI pada era 1950-an. Ketika itu, mayoritas pemain adalah berkewarganegaraan Belanda semisal Van der Berg, Pietersen, Pesch, Boelanrd van Tuyl, dan Arnold van der Vin. Sayangnya, hanya Arnold van der Vin (berposisi sebagai kiper) yang mempu menembus Timnas dengan menjalani debut pada laga persahabatan melawan Hong Kong, 27 Juli 1952.

Tren naturaliasi pemain berkembang lagi pada era 2000-an. Saat itu, selain pemain berdarah Indonesia, PSSI juga menerima pemain naturaliasi nonketurunan. Pemain itu diberikan status Warga Negara Indonesia berkat karier sepak bola cemerlang bersama klub-klub tanah air.

Sebut saja nama-nama seperti Yoo Jae-hoon, Cristian Gonzales, Ilija Spasojevic, Beto Goncalves, Victor Igbonefo dan Bio Paulin. Bersama nama lain seperti Diego Michels, Raphael Maitimo, Irfan Bachdim, Kim Kurniawan hingga Ezra Walian, mereka diharapkan mampu meningkatkan prestasi Timnas Indonesia saat itu.

Naturalisasi Era STY untuk Kebutuhan Timnas Indonesia

Masuk di era Shin Tae-yong, naturalisasi tetap berjalan. Bedanya, kini PSSI kini lebih memprioritaskan pemain-pemain yang benar-benar memiliki darah atau keturunan Indonesia dan bersedia bermain untuk Timnas.

Ketua Umum PSSI periode November 2019-Februari 2023, Mochamad Iriawan menilai bahwa pro kontra program naturalisasi yang diinginkan STY, sebagai hal yang wajar. Tahun 2021, STY meminta PSSI menaturalisasi empat pemain, yakni Jordi Amat (KAS Eupen), Sandy Walsh (KV Mechelen), Kevin Diks (FC Copenhagen), dan Mees Hilgers (FC Twente).

Timnas Indonesia U-23 saat berlaga di Piala Asia U-23 2024 (dok. PSSI).
Timnas Indonesia U-23 saat berlaga di Piala Asia U-23 2024 (dok. PSSI).

“Kalau soal perdebatan, pro kontra, itu kan biasa. Ada yang mau naturalisasi, ada yang tidak. Selama untuk kebaikan timnas kita kenapa tidak. Ini yang jadi pertimbangan STY saat itu untuk naturalisasi keempat pemain tersebut,” ujar Iwan Bule (Ibul), sapaan akrab Iriawan, Senin 6 Mei 2024.

Ibul menceritakan, untuk memenuhi keinginan STY tersebut, PSSI membentuk tim khusus yang dipimpin anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI, Hasani Abdulgani. Hasani yang kemudian melakukan komunikasi dengan pemain melalui agennya.

Menurut dia, PSSI mengontak agen pemain untuk meminta bukti darah keturunan Indonesia. Sebab, PSSI tidak ingin empat pemain tersebut hanya mengaku punya darah Indonesia, tetapi tak punya bukti sah. Ibul mencontohkan, proses naturalisasi Marc Klok yang tidak bisa langsung membela Timnas Indonesia setelah dinaturalisasi dan harus menunggu lima tahun karena tak punya dokumen keturunan, jadi pelajaran.

“Selain itu, tim juga berangkat ke Eropa untuk berkomunikasi dengan empat pemain tersebut. Ini bukti PSSI ingin memastikan pemain yang diminta STY benar-benar sesuai aturan. Meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa yang bersedia hanya Jordi (Amat) dan Sandy (Walsh),” tambah Ibul.

Beralih ke era Erick Thohir, PSSI makin gencar melakukan naturalisasi terhadap pemain keturunan yang direkomendasikan STY. Nama-nama seperti Shayne Pattynama, Rafael Struick, Ivar Jenner, Justin Hubner, Jay Idzes, Nathan Tjoe-A-On, Ragnar Oratmangoen, Thom Haye, dan teranyar Maarten Paes menjadi bukti keseriusan PSSI dan STY membentuk Timnas Indonesia yang solid.

Anggota Exco PSSI, Arya Sinulingga bersyukur Timnas Indonesia sekarang ini tidak kekurangan pemain naturalisasi. Sebab, pemain-pemain keturunan Indonesia yang ada di Eropa mulai tertarik untuk pindah kewarganegaraan. Menurutnya, selain STY, faktor Erick Thohir sebagai Ketua PSSI juga memiliki dampak signifikan. Figur Erick yang pernah berkiprah di sepakbola Eropa bersama Inter Milan dan Oxford United membuat pemain-pemain keturunan Indonesia di Eropa optimistis dengan masa depan timnas.

“Kita beruntung punya Ketum eks Presiden Inter Milan, kemudian dia juga punya Oxford, jadi ketika dia cari pemain berdarah Indonesia, itu informasinya akan banyak, dan beliau punya tim juga untuk melihat bagus atau tidaknya itu pemain. Setelah disetujui STY, Pak Erick juga berkomunikasi langsung dengan para pemain incaran untuk menjelaskan target Timnas Indonesia,” terangnya.

“Itu yang terjadi dan dialami semua pemain, jadi jangan heran banyak yang mau, karena Pak Erick langsung turun tangan untuk presentasi soal PSSI dan timnas. Satu lagi, Pak Erick juga menggoda para pemain dengan potensi ketenaran yang meningkat. Seperti memprediksi media sosial pribadi sang pemain akan meningkat jumlah pengikutnya begitu desas-desus tentang dirinya mau dinaturalisasi muncul,” sambung Arya.

Naturalisasi Tidak Mematikan Pemain Lokal

Meski di era STY program naturalisasi berdasarkan kebutuhan dan untuk meningkatkan prestasi Timnas Indonesia, bukan berarti tanpa penolakan. Bagi yang menolak, program naturalisasi dianggap bisa mematikan mimpi pemain lokal memperkuat timnas.

Pengaman sepakbola, Binder Singh meminta seluruh stakeholder sepakbola Indonesia tidak khawatir dengan program naturalisasi. Sebab, hingga saat ini Timnas Indonesia yang di bawah STY sudah berproses dengan baik.

Timnas Indonesia U-23 sudah berlatih di Paris (dok. PSSI).
Timnas Indonesia U-23 sudah berlatih di Paris (dok. PSSI).

“Mungkin juga nanti akan ada 12-15 pemain keturunan Indonesia. Saya pikir siapa pun pelatih yang akan melatih Timnas Indonesia akan profesional, bukan serta merta memainkan mereka semua. Enggak, harus tunjukin kualitas dong,” tuturnya dalam kanal YouTube Bola Bung Binder.

Dia juga menegaskan bila mantan pelatih Seongnam Ilhwa Chunma itu tidak melupakan pemain lokal yang berkiprah di kompetisi di Liga 1 Indonesia. Pemain-pemain lokal seperti Rizky Ridho, Wahyu Prasetyo, Witan Sulaiman juga tetap diberikan kesempatan membela Timnas Indonesia.

“Artinya, selama pemain lokal itu berkembang dan performanya bagus tentu dipanggil ke timnas. Jadi engga perlu khawatir,” imbuhnya.

Pengamat sepakbola lain, Justinus Lhaksana, juga enggan mempermasalahkan latar belakang pemain timnas. Menurut eks pelatih Timnas Futsal Indonesia ini, seluruh anak bangsa baik keturunan atau tulen memiliki hak yang sama untuk membela Timnas Indonesia.

“Kita tidak boleh terlalu picik mikirin local pride, local pride. Mending kalau local pride hebat tapi faktanya kan enggak, kalo mereka hebat, Shin Tae-yong nggak usah cari naturalisasi,” tukas Koci, sapaan akrab Justinus dikutip dari akun @halfblood_indonesie.

Sementara legenda sepakbola Indonesia, Rully Nere menilai bahwa program naturalisasi pemain secara tidak langsung mematikan motivasi dan mimpi anak-anak lokal yang ingin bermain membela Timnas Indonesia.

Dia khawatir, program naturalisasi tersebut bisa mematikan motivasi para pemain muda yang saat ini tengah dibina untuk bisa menjadi pemain masa depan Indonesia. Sebab, ketika sudah latihan mati-matian, pada akhirnya PSSI justru lebih memilih naturalisasi pemain keturunan.

“Kalau buat saya untuk pembinaan dan buat anak-anak kita yang masih punya masa depan, naturalisasi secara tidak langsung mematikan motivasi mereka. Karena mereka anak-anak sekarang sudah latihan setengah mati, tahu-tahu ada naturalisasi. Mereka pasti kecewa,” tuturnya.

Striker kelahiran Papua ini menyatakan, kehadiran pemain naturalisasi belum menjamin Timnas Indonesia bisa berjaya. Meskipun, dia tetap menegaskan tidak menentang program naturalisasi tersebut.

“Sepakbola kita ini ke depannya bisa bagus, bisa juga tidak. Kalau untuk Piala Dunia, naturalisasi asal pemainnya betul-betul tapi yang kualitasnya dua tingkat. Kalau (kualitasnya) sama saja, ya untuk apa? Ada mereka (pemain naturalisasi) kita juga engga sampai final. Naturalisasi untuk Piala Dunia demi gengsi, mungkin buat saya satu atau dua boleh, tapi terlalu banyak juga tidak boleh,” kata Rully.

Pengamat sepakbola Tommy Welly mengatakan, seharusnya PSSI menjalankan program naturalisasi sebagai sebuah akselerasi dan bukan policy. Sebab, pembentukan timnas juga tidak boleh melupakan kompetisi.

“Federasi tidak cuma (mengurusi) timnas. Federasi juga ada kompetisi, football development, penegakan hukum, internasional, dan lain-lain,” tukas Towel, panggilan akrabnya.

Dia yakin bahwa PSSI bisa memenuhi keinginan STY terhadap pemain-pemain berdarah Indonesia dengan grade A. Tapi di sisi lain, PSSI juga tidak bisa melupakan kompetisi lokal, yang diharapkan sebagai kawah candradimuka talenta lokal sebelum memperkuat Timnas Indonesia, masih kerap berjalan di luar harapan.

Towel menegaskan, program naturalisasi jangan sampai membuat PSSI dan timnas tergantung pada pemain-pemain diaspora, dan melupakan pemain-pemain lokal. “'Pertanyaan kritisnya adalah, akselerasi naturalisasi ini sampai kapan? Kemudian seberapa banyak? Ini yang harus dipikirkan oleh Federasi,” kata dia.