JAKARTA - Galih Noval Aji Prakoso pemilik akun Tiktok Galih Loss, Tiktok yang sedang menanjak karirnya di dunia media sosial harus berurusan dengan kepolisian karena muatan kontennya dianggap telah menimbulkan kegaduhan dan komplain masyarakat, karena dinilai bermuatan penghinaan agama Islam.
Dalam konten video tebak-tebakan nama hewan yang di plesetkan. Hewan apa yang bisa mengaji? tanyanya. Yang kemudian dijawab bersangkutan dengan menyebut hewan Serigala, tetapi suara hewan itu diplesetkan lafal/ bacaan Ta'awudz. Ta'awudz sendiri merupakan doa memohon perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.
Menurut AKBP Hendri Umar Wadir Reskrimsus Polda Metro Jaya, Galih disangkakan dengan sengaja telah mendistribusikan konten yang sifatnya menghasut atau penodaan terhadap satu agama. Dia terancam dengan hukuman 5 tahun penjara. Menurutnya, sejauh ini belum ditemukan motif lain perbuatan itu.
Ia membuat konten itu bertujuan menghibur penontonnya dan ingin mendapatkan endorse. Namun dia tidak berpikir panjang video yang sempat viral itu mendapatkan komplain masyarakat karena menilai konten itu menghina umat muslim.
Kasus serupa Galih Loos itu tak terhitung jumlahnya, baik yang baru berproses hukum, maupun yang telah berkekuatan hukum. Kejadian itu dari waktu ke waktu terus berulang. Seolah kebebasan berekspresi tak bisa disandingkan atau diselaraskan dengan toleransi dan penghargaan kepada agama. Sebab di suatu waktu keduanya kerap berbenturan dengan kejadian pelaporan penistaan atau penodaan agama.
Kasus Galih, serupa dengan kasus TikTok asal Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), Fikri Murtadha, 28 tahun. Dia ditangkap polisi atas kasus dugaan penistaan agama Kristen melalui video yang diunggah di media sosial. Fikri dijerat Pasal 45 A (2) jo 28 (2) UU ITE serta Pasal 156 A Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kemudian kasus, Lina Mukherjee, yang harus kena vonis 2 tahun penjara masih sama menggunakan media Tik Tok.
BACA JUGA:
Lina dituduh menista agama karena unggahan konten video makan babi dengan mengucapkan “Bismillah”, tingkah itu memicu reaksi masyarakat di dunia maya. Hakim menilai Lina Mukherjee terbukti sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan menimbulkan rasa kebencian individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan agama.
Deretan Nama dalam Kasus Penistaan Agama
Pegiat media sosial lain, Ferdinand Hutahaean didakwa melakukan tindak pidana ujaran kebencian hingga penodaan agama lewat akun twitter@FerdinandHaean3 pada 4 Januari 2022. Karena komentarnya "Kasihan sekali Allah mu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allah ku luar biasa, maha segalanya, Dia lah pembelaku selalu dan Allah ku tak perlu dibela."
Ferdinand dilaporkan atas dugaan penyebaran berita bohong atau hoaks yang berpotensi menimbulkan keonaran. Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri memeriksa Permadi Arya alias Abu Janda atas cuitan ‘Islam adalah agama arogan’ yang diunggah di Twitter. Pengaduan dilayangkan oleh Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) dengan Nomor: LP/B/0056/I/2021/Bareskrim tanggal 29 Januari 2021. Permadi dituding melanggar Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2018 tentang ITE dan Pasal 156A KUHP.
Juga ada Meliana yang divonis oleh Pengadilan Negeri (PN) Medan 18 bulan penjara karena, dianggap melarang orang untuk azan di Tanjung Balai. Dan kasus Soni Sumarno yang dianggap melanggar Pasal 45A Junto Pasal 28 UU No 19 Tahun 2016. Hakim akhirnya menetapkan hukuman 2 tahun penjara.
Reza Hazuwen yang divonis dua tahun penjara karena melanggar Pasal 156A tentang penodaan agama. Sebelumnya, dia divonis hukuman 4 tahun kemudian banding. Melalui akun sosial medianya, Reza, di Jambi dianggap menghina Nabi Muhammad dan menghina umat Islam . Ada juga Martinus Gulo yang dihukum empat tahun enam bulan di Medan. Dia dianggap melanggar Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE karena pembuatan lafaz Allah di ornamen natal.
Serta kasus Andri Cahya yang divonis 3 tahun bui karena dianggap melanggar Pasal 110, Pasal 55, dan Pasal 64. Cahya menistakan agama setelah terlibat dalam Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Aking Saputra divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Karawang karena dianggap melanggar Pasal 156A. Dia dianggap menista agama karena menyebut kebanyakan tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah pemuka agama Islam.
Delik-delik apa saja yang berkaitan dan yang sering digunakan polisi dalam proses perkara penghinaan atau penistaan agama? Pada umumnya delik penistaan agama akan dijerat pasal-pasal dari UU 1 PNPS/1965. Penghinaan terhadap agama di Indonesia juga masih mengacu pada Pasal-pasal dalam KUHP: terutama pasal 156a KUHP di atas. Tidak hanya itu, KUHP juga mengatur pasal-pasal yang masih berkaitan tentang delik terhadap kehidupan beragama sebagaimana diatur dalam Pasal 175, Pasal 176, Pasal 177, dan Pasal 503 KUHP.
Selain dua sumber hukum rujukan itu, juga pasal dalam UU Baru UU 1/ 2023 : Salah satunya diatur dalam Pasal 304 UU 1/2023 delik-delik yang berhubungan dengan kehidupan beragama juga diatur dalam Pasal 302, Pasal 303, dan Pasal 305 UU 1/2023. Selain itu sekarang ini polisi juga bisa menjerat tersangka penista agama dengan Pasal dalam UU ITE / 2024 : perbuatannya dimaksud berkaitan dengan menyebarkan kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antargolongan (“SARA”) melalui media elektronik.
Kasus penistaan agama telah terjadi di berbagai media dan zaman. Kasus penistaan agama di media pada awalnya melalui media cetak, dimulai pada zaman penjajahan Belanda hingga zaman Orde Baru. Seiring kemajuan teknologi, bersama munculnya media internet dan media elektronik. Saat ini ketika berkembang media internet muncul kasus benturan kebebasan berekspresi dengan penghinaan agama seringkali terjadi. Kasus penistaan sepertinya tak selalu bisa berjalan beriringan dengan semakin banyak pengguna media sosial.
Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat menjadikan komunikasi antarberbagai pihak dapat dilakukan dengan sangat mudah dan cepat. Fenomena ini mendorong setiap orang untuk berbicara dan mengungkapkan pemikirannya kepada publik. Informasi apapun dapat diakses dengan cepat, baik konten informasi bersifat positif atau negatif bahkan kadangkala mengandung unsur provokatif. Hal ini juga menjadi faktor pemicu terjadinya penodaan agama
Benturan Kebebasan Bereskpresi dan Agama
Penodaan agama, terutama di Indonesia, selalu menjadi masalah sensitif yang menarik perhatian masyarakat umum. Hal ini karena berkaitan dengan dasar keyakinan agama dan kepercayaan umat beragama. Ketika masalah penodaan agama muncul di tempat publik, hal itu mungkin menimbulkan keresahan dan bahkan dapat menyebabkan konflik antar umat beragama.
Dalam artikelnya, Mohamad Zaenal Arifin dari Sekolah Tinggi Agama Islam Binamadani, mengatakan bahwa kebebasan berbicara adalah hak dasar setiap orang. Namun, kebebasan tersebut seringkali menyinggung kemurnian dan kesalihan agama. Hal ini bertentangan dengan prinsip keharmonisan dalam hubungan antar pemeluk umat beragama.
Menurutnya, Islam adalah agama yang sangat menghargai kebebasan berbicara. Agama telah menetapkan batas-batas untuk kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat dan pikiran sehingga tidak ada yang dirugikan oleh kebebasan tersebut. Pada dasarnya, kebebasan berbicara tanpa batas tidak boleh ditujukan pada agama dan aturan-aturannya yang fundamental. Menurutnya, ini dilakukan untuk menjaga dan melindungi agama dari kerusakan.
Perundang-undangan mengatur penodaan agama, seperti yang ditunjukkan oleh Pasal 156-a KUHP, yang menyatakan: "Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia", dan Pasal 28 ayat 2 Undang-undang ITE, yang menyatakan: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa tanpa hak menyebarkan informasi yang ditunjukkan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Dia mengakui bahwa, meskipun undang-undang melarang penodaan agama, kasus penodaan masih terjadi. Ini sangat ironis. Selain itu, data digital telah ditemukan yang menunjukkan bahwa pelaku penodaan agama adalah anggota dari agama yang sama. Namun, menurut keyakinan setiap agama, setiap anggota wajib menjaga muru'ah, otentisitas, dan kesucian sebagai simbol dan dasar keyakinan agama.
Menanggapi maraknya kasus pemidanaan seperti Galih Loos dan kasus kasus serupa Ketua Umum YLBHI Periode 2022-2026, Muhammad Isnur mengatakan, para pembuat konten harus berhati hati dalam membuat konten. Terutama yang berisi prank yang kemudian bersifat menghasut atau menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan ini perlu hati-hati. Karena dalam konteks hak asasi manusia kampanye- kampanye yang sifatnya menghasut atau menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan itu dilarang oleh undang-undang atau negara.
Kedua, kita harus hati hati ketika menerapkan pasal, seperti pasal 28 ayat 2 ITE karena isinya tentang menghasut dan mengkampanyekan kebencian. "Bukan dia bagian dari kreativitas yang tidak mengkampanyekan kebencian gitu. Dan ini juga pasal-pasal seperti ini harus berhati-hati karena unsur-unsur sebuahnya itu sudah berubah kontennya 156a di KUHP juga sudah direvisi.," ujarnya saat dihubungi Voi, pekan lalu. Jadi semangatnya dua peraturan itu adalah sejauh mana konten ini mengkampanyekan kebencian. Jika tidak ada kampanye konten kebencian tidak masuk pasal ini. oleh karena itu sebisa mungkin dihindari.
Solusinya menurut Isnur, ada sejumlah cara yang bisa dipakai untuk komunikasi, misalnya kontennya dihapus, konten didrop. Jadi tidak melulu tentang upaya paksa dan penahanan bicara soal penistaan. Jadi perlu dicari, diberikan solusi lain tidak harus semuanya bicara pidana. Ini peristiwa pertama buat dia kan. Harusnya ini diberikan peringatan dulu, dulu oleh Kominfo dan lain-lain tidak melalui langsung dipidanakan.