JAKARTA – Masyarakat dihebohkan dengan kasus penistaan agama yang menyeret nama pemilik akun TikTok @galihloss dan Pendeta Gilbert Lumoindong. Di satu sisi, polisi dianggap tebang pilih, namun di sisi lain ada anggapan penangkapan kasus penistaan agama hanya didasarkan “menjaga kondusivitas”.
TikToker Galih Noval Aji Prakoso atau yang lebih beken dengan nama Galih Loss sempat membuat geram warganet karena konten prank-nya yang dinilai membahayakan pengemudi ojek online beberapa waktu lalu.
Setelah mengunggah video permintaan maaf, ternyata muncul kabar Galih Loss ditangkap. Tapi penangkapannya justru terkait konten yang mengandung penistaa agama. Ia langsung ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Dirkrimsus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak mengatakan Galih Loss ditangkap pada Senin (22/4/2024) malam.
"Mendapati adanya akun TikTok dengan username @galihloss3 yang mengunggah video bermuatan SARA berisikan penyebaran kebencian berbasis SARA melalui media elektronik dan penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia," kata Ade Safri, Rabu (24/4/).
Lain lagi dengan kasus Pendeta Gilbert, yang video ceramahnya viral di media sosial sejak pertengahan April lalu. Dalam video berdurasi kurang dari satu menit itu, Pendeta Gilbert membandingkan zakat umat Islam dan Kristen yang dianggap menyinggung kaum Muslim.
Sadar video ceramahnya menuai hujatan, Gilbert menyampaikan permohonan maaf dan ia pun bertemu dengan Ketua Dewan Masjid Indonesia sekaligus Wakil Presiden ke-10 dan 12 Jusuf Kalla. Tapi sampai sekarang, Nasib Pendeta Gilbert tidak seperti Galih Loss yang harus mendekam di balik jeruji besi.
Penistaan Agama adalah Delik Biasa
Galih Loss dijerat dengan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman enam tahun penjara.
Sedangkan Gilbert, kabar terakhirnya disebutkan polisi akan melakukan pemeriksaan tapi hingga sekarang ia tidak ditahan. Perbedaan sikap polisi dalam menangani kasus yang mirip dari dua orang berbeda ini memantik pertanyaan publik.
Pengamat hukum pidana Masykur Isnan mengatakan, dalam kasus dugaan tindak pidana penistaan agama masyarakat perlu memahami bahwa ini masuk ke dalam delik biasa, bukan delik aduan.
Dalam delik aduan, proses hukum hanya dapat dilanjutkan jika ada pengaduan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan.
“Sementara dalam delik biasa, tanpa adanya aduan pun bisa langsung diproses oleh pihak kepolisian,” jelas Isnan kepada VOI.
“Untuk keberlanjutan delik biasa ini, proses hukumnya yang menentukan adalah aparat penegak hukum untuk menentukan unsur pidana terpenuhi atau tidak,” imbuhnya.
Respons masyarakat terhadap penangkapan Galih Loss terbelah dua. Sebagian menganggap, kasus penistaan agama yang viral di media sosial adalah hal biasa, publik justru meminta aparat penegak hukum lebih berani terhadap koruptor.
Tapi sebagian lain mendukung penangkapan ini, dengan harapan memberi pelajaran kepada pihak lain untuk tidak melakukan penghinaan agama.
Menurut Masykur Isnan, untuk kasus Galih Loss kalau memang secara hukum terpenuhi untuk dilakukan penangkapan, maka apa yang dilakukan polisi sudah benar. Tapi kalau tidak, perlu keterbukaan bahwa kasus ini tidak perlu dilanjuti.
Selain itu, penangkapan kasus penistaan agama juga perlu dilihat bagaimana efeknya di masyarakat. Isnan menuturkan, kalau efeknya sistematis, kultural, menimbulkan kegaduhan publik, maka sebenarnya penambah bagi aparat penegak hukum untuk menindak hal ini.
“Selain itu, ini juga bisa menjadi pendidikan publik. Tak hanya untuk tersangka juga masyarakat luas supaya hal seperti ini tidak terduplikasi atau tidak terjadi kembali,” katanya.
Lebih lanjut Masykur Isnan mengakui, penangkapan Galih Loss menjadi lebih 'menarik' karena kasusnya berbarengan dengan Gilbert, yang dinilai mendapat perlakuan berbeda. Ia menuturkan, adanya perbedaan pendekatan yang dilakukan kepolisian akan menimbulkan pertanyaan di masyarakat, sehingga bisa menganggu trust atau kepercayaan publik.
Kriminalisasi Pasal Karet
Kasus penistaan agama yang juga sempat menghebohkan adalah yang menyeret pengguna TikTok, Lina Mukherjee empat tahun lalu. Ia menggunggah video makan babi dengan mengucapkan Bismillah.
Selain vonis penjara, majelis hakim di Pengadilan Negeri Palembang juga menjatuhkan denda sebesar Rp250 juta kepada perempuan dengan nama asli Lina Lutfiawati itu.
Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengatakan apa yang menimpa Lina adalah bentuk kriminalisasi menggunakan pasal karet yang tafsirannya sering subjektif.
BACA JUGA:
Ia juga mengatakan polisi mestinya tidak perlu mengusut kasus ini sejak awal dilaporkan karena tidak memiliki asas legalitas. Sebab penodaan agama atau penistaan agama di dalam kerangka hukum yang berlaku saat ini, dianggap tidak memiliki definisi dan batasan yang jelas.
“Ini sering kali dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiologis, adanya desakan masyarakat baik secara offline atau online, ada kata kunci yang viral dijadikan landasan oleh penegak hukum untuk memidanakan seseorang atas dasar penodaan agama. Ini sangat rentan karena tergantung siapa yang menafsirkan,” Zainal menuturkan.
"Atas nama kondusivitas sering kali melakukan pijakan untuk mengkriminalisasi orang, mereka berpikir itu akan memenuhi rasa keadilan masyarakat, tapi itu menjadi bola liar bagi orang untuk mengkriminalkan orang lain, membuka ruang lebar untuk memecah masyarakat akibat penistaan agama ini,” imbuh Zainal.