Menyetir Mabuk adalah Kesombongan Umum yang Harus Segera Dihentikan
Ilustrasi foto (Sumber: Unsplash)

Bagikan:

JAKARTA - Selebritas, Edelenyi Laura Anna meninggal dunia. Di masa-masa terakhirnya Laura berjuang dengan kelumpuhan yang terjadi karena kecelakaan yang ia alami bersama mantan kekasihnya, Gaung Sabda Alam atau Gaga. Gaga belakangan ditahan dan telah menjalani beberapa persidangan. Diketahui, saat kecelakaan, Gaga menyetir di bawah pengaruh alkohol.

Pada 2 November lalu Gaga telah ditahan di Rutan Satlantas Polres Metro Jakarta Timur. Hingga 9 Desember kemarin, Gaga telah menjalani tiga kali persidangan. Dalam sidang terakhir yang digelar di PN Jakarta Timur, Jaksa Penuntut Umum Handri Dwi Z membeberkan kronologi kecelakaan yang terjadi di Tol Jagorawi.

Kecelakan terjadi di pagi yang gelap, 8 Desember 2019, sekitar pukul 04.30 WIB. Sebelum kejadian, Laura dan Gaga sempat makan-makan bersama. Keduanya diketahui pulang dalam keadaan mabuk alkohol. Hal itu sempat dikonfirmasi Laura.

“Diakui bawa sedang pengaruh alkohol. Kemarin juga diakui sama Laura di ruang sidang,” kata Handri dalam persidangan itu, dikutip Kompas.com.

Mobil nahas Gaga-Laura (Sumber: Istimewa)

Jaksa juga menjelaskan saat kecelakaan keduanya menggunakan sabuk pengaman. Laura sendiri diketahui dalam kondisi tidur. Laura terbangun di ruang UGD rumah sakit dengan kondisi seluruh badan yang terasa sakit ketika digerakkan. Sementara Gaga mengalami luka lebih ringan.

Seat belt tetap dipakai makanya kemarin ada bekas luka ... Ketika kecelakaan terjadi, Laura dalam posisi tidur. Dia tahu-tahu sadar di rumah sakit. Tahu-tahu (tubuhnya) digerakkan sudah sakit. Gaung luka-luka ringan,” tutur Handri.

Dalam kasus ini Gaga didakwa Pasal 310 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Gaga dianggap lalai hingga menyebabkan kecelakaan yang membuat Laura lumpuh. Gaga terancam hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda Rp10 juta.

Kelumpuhan Laura

Laura Anna (Instagram/@edlnlaura)

Rasa sakit yang diderita Laura pasca-kecelakaan ternyata serius. Ia menderita spinal cord injury, yaitu kerusakan pada sumsum tulang belakang yang terjadi akibat penyakit, degenerasi --biasanya kanker-- atau trauma. Kerusakan yang diderita Laura terjadi akibat yang ketiga.

Mengutip laman World Health Organization (WHO), Spinal cord injury terjadi karena adanya keretakan tulang yang merusak sumsum tulang belakang beserta sarafnya. Dalam beberapa kasus cedera ini bisa benar-benar memutus atau membelah sumsum tulang belakang.

Kita tahu sumsum tulang belakang memiliki peran yang amat penting dalam kerja tubuh, termasuk fungsinya dalam penyampaian pesan antara otak dan berbagai bagian tubuh. Spinal cord injury sendiri memengaruhi beberapa fungsi tubuh, termasuk detak jantung, gerak otot, refleks, sensasi, metabolisme tubuh, usus, kandung kemih dan pernapasan.

Selain spinal cord injury, Laura juga diketahui menderita dekubitus. Kondisi ini adalah cedera pada kulit dan jaringan di bawahnya. Cedera ini terjadi akibat tekanan berlebih pada kulit. Kondisi ini biasanya juga memunculkan tonjolan tulang sebagai akibat dari adanya gaya gesek, peregangan kulit, dan tekanan.

Satu kondisi medis lain yang dialami Laura adalah dislokasi tulang leher. Kondisi ini biasanya menyebabkan penderita mengalami kelumpuhan. Dalam kasus Laura, ini memperparah kelumpuhan yang disebabkan spinal cord injury.

Drinking and driving: angka dan fakta

Ilustrasi foto (Matt Chesin/Unsplash)

Drinking and driving. Mengemudi dalam keadaan mabuk adalah salah satu penyebab utama kecelakaan lalu lintas di dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Data Direktorat Penegakan Hukum Korlantas Polri mencatat jumlah total kecelakaan lalu lintas hingga 121.641 di tahun 2019.

Dari jumlah itu, 0,73 persen diakibatkan pengendara mabuk. Angkanya adalah 888. Seluruh kecelakaan itu mengakibatkan 241 kematian, 195 luka berat, dan 533 luka ringan.

Data tahun 2020, dikutip dari sumber yang sama mencatatkan 101.198 kecelakaan, dengan 0,71 persen atau 726 terjadi karena pengemudi mabuk. Sebanyak 201 orang tewas, 184 luka berat, dan 417 lain luka ringan.

Laporan World Health Organization (WHO) yang dirilis Juni 2021 memaparkan ada sekitar 1,3 juta orang tewas akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia setiap tahunnya. Ada beberapa penyebab paling umum dalam kecelakaan. Salah satunya mengemudi di bawah pengaruh alkohol dan zat psikoaktif lain nan membabukkan.

Tingginya angka itu menunjukkan masih banyak orang nekat mengemudi dalam keadaan mabuk. Jika kita pikir kita mampu mengemudi dengan baik dalam keadaan mabuk, kita salah. Kesombongan ini harus dihentikan.

Dikutip dari laman Alcohol Rehab Guide, dijelaskan bagaimana pengaruh alkohol mengurangi kemampuan kita dalam berkendara. Saat berkendara, otak manusia harus cepat tanggap. Pengaruh alkohol akan mengurangi konsentrasi kita.

Konsumsi alkohol juga menyebabkan menurunnya ketajaman penglihatan. Selain itu kita juga rentan mengalami penurunan refleks dan memori. Ini penting karena mengemudi memaksa kita membuat keputusan-keputusan cepat. Dan bayangkan apa yang terjadi ketika kita lupa menggunakan sabuk pengaman karena penurunan fungsi memori?

Laporan WHO berjudul Road Traffic Injuries juga menjelaskan risiko kecelakaan lalu lintas dimulai ketika seseorang memiliki angka konsentrasi alkohol dalam darah (BAC) minimal 0,04 g/dl di tubuhnya. Angka ini yang banyak dijadikan acuan otoritas negara-negara dunia dalam mengatur kadar minimun alkohol di dalam diri pengemudi.

Ilustrasi foto (Joyful/Unsplash)

Dan mengemudi dengan kadar alkohol di tubuh kita bukan saja meningkatkan risiko kecelakaan tapi juga berpotensi memperparah dampak kecelakaan terhadap diri kita. Peningkatan kadar alkohol dalam darah dikaitkan dengan bertambahnya tingkat keparahan cedera.

Dalam sebuah kecelakaan fatal, pecandu alkohol memiliki risiko kematian 17 kali lipat lebih tinggi daripada mereka yang tak minum. Zat apapun yang menyebabkan gangguan di sistem saraf pusat berpotensi mengurangi kemampuan seseorang mengantisipasi dampak kecelakaan.

Tubuh, diketahui memiliki reaksi tersendiri yang mampu mengantisipasi dampak kecelakaan. Dan ketika fungsi-fungsi tubuh --disebabkan penurunan fungsi sisstem saraf pusat-- terganggu, maka kemampuannya meminimalisir dampak kecelakaan tak bekerja optimal.

Apa yang bisa dilakukan otoritas?

Dalam dokumen yang sama, World Health Organization (WHO) memberi semacam pedoman yang dapat diterapkan otoritas negara-negara dunia dalam kebijakan dan penegakan hukum lalu lintasnya. Pertama, tentu saja penetapan batas alkohol.

WHO merekomendasikan angka 0,05 g/dl sebagai batas maksimal kandungan alkohol dalam darah. Angka itu dapat diberlakukan secara umum. Sementara, spesifik pada remaja, angka aman yang direkomendasikan WHO adalah 0,02 g/dl.

Perbedaan ini didasari sejumlah studi yang menyimpulkan remaja adalah kelompok yang lebih rentan dalam konteks kecelakaan lalu lintas. Selain batas kandungan alkohol dalam darah, WHO juga mendorong otoritas menggunakan perangkat pengujian napas.

Indonesia telah menerapkan ini. Petugas kepolisian lalu lintas secara umum telah dibekali dengan Drager Alcotest 7510, sebuah alat untuk mengetes kadar alkohol di dalam tubuh seorang pengemudi.

Sementara, tak ada aturan baku terkait kadar toleransi alkohol di tubuh pengemudi dalam aturan dan kebijakan lalu lintas. Adapun aturan yang mengatur larangan mengemudi dalam keadaan mabuk adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tepatnya di pasal 106 ayat (1).

Aturan itu menjelaskan bahwa setiap orang yang berkendara di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. Pengemudi dilarang mengemudikan kendaraan dalam kondisi-kondisi yang dapat menurunkan konsentrasinya, termasuk mabuk.

Ilustrasi foto (Charles Postia/Unsplash)

Konsekuensi pelanggaran pasal di atas diatur dalam pasal 283 UU yang sama. Dijelaskan bahwa "orang yang berkendara secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp750 ribu."

Mengemudi dalam keadaan mabuk juga dapat dijerat dengan pasal 311 UU 22/2009.

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/ atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000,00 (empat juta rupiah).

(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).

(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

(5) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan orang lain meninggal dunia, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

***

*Baca Informasi lain soal PENGETAHUAN atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata

BERNAS Lainnya