Bagikan:

KALBAR – Sebanyak 14 orang karyawan PT Sumber Rejeki Digital (SRD) ditetapkan sebagai saksi dalam kasus dugaan praktik pinjaman online (Pinjol) ilegal di Pontianak.

Dijelaskan Kabid Humas Polda Kalimantan Barat, Komisaris Besar Polisi Donny Charles Go, perkembangan hasil pemeriksaan bahwa PT SRD tidak menyelenggarakan pinjaman online melainkan lebih fokus melaksanakan penagihan jarak jauh alias desk collection.

"Desk collection itu hampir sama seperti debt collector, di dunia nyata disebutnya debt collector, kalau di dunia maya disebutnya desk collection,” terang Donny mengutip Antara, Rabu 20 Oktober.

Ia juga menjelaskan, tugas desk collection menagih nasabah yang bekerjasama atau melakukan peminjaman dengan 14 aplikasi pinjol yang posisinya tidak berada di Pontianak. Donny mengatakan, ada sekitar 22.530 orang yang menjadi nasabah di perusahaan itu.

"Setelah kami telusuri ternyata 14 aplikasi pinjaman online ini memang tidak memiliki izin yang sah, minimal memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” jelas Donny.

Diketahui, jumlah karyawan di perusahaan itu, beserta pimpinannya sebanyak 65 orang.

"Kemarin yang kami tahan baru 14 orang dengan berbagai posisi masing-masing, yang kini statusnya sebagai saksi," ujarnya.

Sebelum bekerja, mereka akan diberi akses berupa username dan password yang digunakan untuk melihat data nasabah yang melakukan pinjaman dari 14 aplikasi pinjaman online, katanya.

Donny mengurai, mereka memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing, HRD dan assiten HRD yang bertugas melakukan perekrutan karyawan, kapten yang bertugas melakukan pengawasan kepada desk collection, dan desk collection yang bertugas menagih kepada nasabah yang menunggak pembayaran.

Menurut Donny, ada beberapa cara pihak desk collection melakukan penagihan terhadap nasabahnya, yakni pengingat 2 (mengingatkan nasabah tahap 1), yaitu melakukan penagihan dengan cara menelpon langsung dan mengirimkan pesan salinan di WA yang isinya hanya mengingatkan.

Kemudian pengingat (reminder 1, mengingatkan nasabah tahap 2), yaitu menghubungi nasabah dengan cara menelpon langsung dan mengirimkan pesan salinan WhatsApp yang isinya penekanan kepada nasabah untuk segera melakukan pembayaran.

"Dan yang ketiga, S0 (jatuh tempo), yaitu menghubungi nasabah dengan menelpon langsung dan mengirimkan pesan yang sifatnya lebih mengarah kepada ancaman seperti mengirimkan foto KTP dan selfie bahkan sampai memaki dan mengancam agar nasabah menjadi malu dan kemudian melakukan pembayaran," katanya.

Menurut dia, hingga saat ini untuk pinjolnya tidak ditemukan di sini, posisinya memang berada di luar Pontianak, sehingga yang ditemukan hanya badan hukum yang bergerak sebagai penagih jarak jauh ini.

Ia menyebutkan, pihaknya membutuhkan waktu untuk melakukan gelar perkara karena baru pertama menangani kasus seperti ini, setelah dilihat ternyata versi hukumnya terjerat pasal pidana.

Pasal 45B juncto (Jo) pasal 29 dan/atau pasal 48 ayat 2 jo pasal 32 ayat 2 UU Nomor 19/2016 atas perubahan UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan atau denda paling banyak Rp750 juta.

"Ada ancaman pidananya maka itu yang kami pedomani untuk di tindaklanjuti, sebelum sampai kesana kami perlu beberapa keterangan para ahli sambil mencoba menelusurinya,” ujarnya.

Sehingga, menurut dia, butuh waktu untuk mengungkap kasus ini sejelas-jelasnya misal dengan peranan masing-masing orang. Untuk penegakan hukum pihaknya harus mendengarkan keterangan saksi ahli untuk menguatkanya, dan butuh waktu untuk mendapat keterangan saksi ahli guna menguatkan konsumsi hukum yang akan diterapkan nantinya.

“Pastinya ini tetap kami tindaklanjuti walaupun bukan pinjaman online tanpa izin, tapi ini desk collection yang mereka gunakan untuk melakukan penagihan utang terhadap nasabah yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti, kadang sampai mempermalukan para nasabah,” kata Go.